Di umurku yang ke 25 tahun, aku mati.
Saat aku membuka mataku yang kulihat pertama kali adalah wajah orang yang begitu aku rindukan.
Aku kembali lagi ke umur 17 tahun.
Kali ini akan aku ubah masa lalu dan hidup berbahagia bersamanya.
Senang berte...
Begitulah hal pertama kali yang aku pikirkan ketika mendengar vonis dokter. Lucu sekali, aku baru saja berusia 24 tahun dan aku akan mati. Setelah itu penjelasan dari dokter tidak ada yang masuk ke telingaku. Aku sibuk memikirkan hari-hariku setelah ini. Kepalaku rasanya kosong hingga aku bahkan tidak mengucapkan kata terima kasih dan berlalu pergi begitu saja.
"ya.. Kanaya!"
Suara Dipta kembali menyadarkanku dari kekosongan panjang. Saat melihat sekeliling aku baru sadar kalau aku hampir saja terjatuh ke jalan raya. Untung saja Dipta dengan sigap menarikku. Tangannya yang hangat sedikit menenangkanku, ia menatapku dengan khawatir dan menuntunku menuju taman Rumah Sakit agar kami bisa berbicara.
"Lo gak apa-apa?" Tanya Dipta, mendengar suaranya aku tahu dia begitu khawatir. Aku tidak bisa menahan air mataku dan kemudian menangis sampai aku tidak bisa bernapas. Dipta kemudian memelukku dan mengelus rambutku. Tindakannya berhasil membuatku tenang, aku menatapnya dan berkata dengan sangat berat.
"Dipta,gue sakit. Sebentar lagi gue mati." Kataku. Dipta tercekat namun buru-buru ia merubah raut wajahnya.
"Enggak, lo bakal sembuh. Percaya sama gue. Gue bakal terus nemenin lo dan ingetin lo buat minum obat. Okay?" Katanya dengan penuh harapan. Aku tersenyum getir melihatnya.
Dipta terdiam menatapku. Aku tahu dia sedih mendengar nama itu aku sebut. Nama orang yang juga ia rindukan. Ia menghembus napas dengan keras. Dipta tersenyum tipis sambil menggenggam tanganku, dan mengangguk.
"Iya, tapi Angkasa juga bakal sedih kan kalau lo nyerah gitu aja? Sekarang kita pulang yuk? Lo harus istirahat."
Dipta membantuku berdiri dan meraih tanganku, ia tidak melepaskan genggamannya sampai kami masuk ke mobil. Aku terdiam sepanjang perjalanan. Aku tidak tahu kalau aku akan sakit parah. Kanker pankreas tidak pernah terpikirkan akan menjangkitiku. Aku merasa kalau hidupku konyol sekali.
Ironisnya, beberapa tahun lalu aku sempat memutuskan untuk mati. Kepergian Angkasa membuatku ingin menyerah menghadapi dunia. Aku rindu Angkasa setiap harinya. Seandainya saja dia ada di sini, mungkin aku akan jadi lebih mudah menerima ini semua. Tapi Angkasa tidak ada di sini. Hal itu justru membuatku lebih sedih dibanding mendengar vonis dokter. Aku tidak bisa menggenggam tangannya dan mendengarnya berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
"Dip, kenapa Angkasa ninggalin gue ya?" Tanyaku. Dipta menghela napas panjang kemudian berkata, "Dia juga pasti gak mau sebenernya kan? Tapi itu semua diluar rencana dia, rencana kita."
Benar. Aku yang terlalu bersedih tidak tahu kalau mungkin saja Angkasa ingin menghabiskan waktunya lebih lama denganku. Pasti ia ingin menggapai mimpinya, memasuki kampus yang sama denganku, bisa terus berteman dengan Pradipta sampai ia tua, dan menghabiskan hari-harinya bersamaku. Mungkin dia juga sama sedihnya ketika menyadari bahwa dia akan mati, dan harinya akan berhenti selamanya.
"Gue kangen Angkasa." Kataku pada akhirnya. Dipta tersenyum getir.
"Gue juga." Balasnya.
Begitulah kemudian hari-hari yang mengharuskanku untuk bertahan dimulai. Aku berhasil bertahan dalam waktu yang lama. Meskipun rasanya memuakkan karena pada akhirnya aku harus tinggal di Rumah Sakit, tapi aku sudah bertahan sejauh ini. Aku bertahan selama kurang lebih satu tahun. Badanku mulai mengurus seperti sebatang kayu. Tapi merupakan sebuah keajaiban bahwa aku bisa bertahan. Aku memutuskan untuk keluar dari dunia hiburan untuk fokus pada pengobatanku.
Aku tidak tahu kapan kematian akan datang, dan aku pikir aku masih mampu bertahan. Tapi aku salah besar. Rasa sakit menyerangku tiba-tiba, dan nyawaku padam begitu saja seperti percikan api yang diinjak-injak.
Aku mati.
Aku harap aku bisa bertemu Angkasa, begitulah harapanku sebelum aku menghembuskan napas terakhirku.
KRIIINGGGG!
Aku terkesiap dan terbangun karena kaget mendengar bunyi bel sekolah. Bukankah aku sudah mati? Atau aku hanya bermimpi? Aku melihat sekeliling dan bukan main terkejutnya aku melihat orang yang duduk di sampingku. Angkasa. Angkasa sedang membaca buku dengan tenang tanpa mempedulikan sekitarnya, ia bahkan tidak menyadari bahwa aku sedari tadi menatapnya dan air mataku sudah berjatuhan. Aku sudah lama tidak bermimpi tentang Angkasa, dan sekarang dia ada dalam mimpiku.
"Lo..gak apa-apa?" Angkasa kebingungan melihatku, ia mengambil selembar tissue dan memberikannya padaku.
"Enggak, aku kangen banget sama kamu dan udah lama aku gak mimpiin kamu." Jawabku sambil menghapus air mataku.
"Hah? Apasih?" Angkasa kali ini benar-benar memasang tampang yang seolah-olah mengatakan kalau aku ini sudah gila. Seluruh teman-teman di kelasku juga kebingungan menatapku.
"Kanaya Gantari." Suara guruku Bu Ira, menggema memenuhi kelasku yang hening karena semua orang sibuk menatapku, "Kamu kalau masih mau mimpi jangan di kelas saya." Sambung beliau. Semua teman sekelasku terkekeh.
"Nah kamu yang di sebelah Kanaya. Perkenalkan diri kamu." Angkasa kemudian berdiri, "Nama saya Angkasa. Angkasa Mahawira." Begitulah perkenalan dirinya, singkat. Namun semua orang terpana menatapnya.
Angkasa kemudian duduk kembali dan melihatku dengan bingung. Namun dia tidak berkata apa-apa dan memilih untuk fokus pada pelajaran hari ini. Aku masih berusaha mencerna ini semua. Apa ini benar mimpi? Kenapa aku bermimpi tentang hari pertama Angkasa pindah? Dari sekian banyak kenangan, kenapa harus kenangan ini?
"Lo gapapa?" bisik Dara dari bangku seberang. Aku mengangguk.
Baik, tenang, Kanaya. Ini hanya mimpi. Mungkin sesi kemoku hari ini terlalu menyakitkan sehingga aku bermimpi tentang kematian dan masa lalu. Mungkin juga aku terlalu merindukan Angkasa sampai Tuhan menjawab doaku dan menghadirkannya meski hanya di dalam mimpi. Angkasa saat masih sekolah, yang bersinar dan disenangi oleh banyak orang. Angkasa yang mewarnai hari-hariku saat aku berumur belasan tahun.
Karena ini hanya mimpi, aku memutuskan untuk fokus pada pelajaran. Di umur 20an aku begitu merindukan sekolah, jadi tidak buruk juga untuk fokus meskipun hanya mimpi. Aku membuka lembaran demi lembaran buku paket dan betapa bahagianya aku bisa belajar lagi. Masa-masa sekolah memang paling indah bagi aku yang berumur 25 tahun.
"Sorry, bukunya boleh bareng?" tanya Angkasa. Aku mengangguk dan menggeser buku ke arahnya. Angkasa tersenyum dan demi Tuhan, air mataku rasanya ingin tumpah lagi.
"Gue Angkasa, tadi udah kenalan sih, tapi berhubung kita bakal jadi temen sebangku selama setahun jadi yah.. ayo kenalan?" Katanya, ia mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya dengan senang hati.
"Kanaya Gantari, panggil gue Kay."
"Oke, Kay."
Aku merasakan kehangatan tangannya menjalar ke kulitku. Angin berhembus melalui jendela kelas dan aku melihat kalender yang tergantung di dinding menunjukkan tahun 2014. Mata Angkasa yang hitam pekat terlihat bersinar. Saat itu aku sadar bahwa kejadian ini pernah terjadi, seperti tersedot masuk ke dalam lubang hitam aku kemudian tersadar bahwa ini bukan mimpi. Tidak mungkin tangan Angkasa terasa hangat jika ini hanya mimpi.
Aku kembali. Di umur 17 tahun. Di hari pertama mengenal Angkasa. Akan aku ubah masa depan dan aku pastikan laki-laki di hadapanku ini tidak akan meninggalkanku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.