"Sofie, belum tidur, 'kan? Bisa ngobrol sebentar?" tanya Ayah dari balik pintu.
Ada apa Ayah sampai nyari aku ke kamar jam segini?
Aku yang baru saja mau ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur, membatalkan niat itu. Aku segera membuka pintu untuk Ayah dan mempersilakan masuk.
"Ada hal penting apa, Yah?"
"Ya, mau ngobrol-ngobrol aja sebentar. Dua hari lagi kan kamu nikah, Sofie."
Ah, iya. Dua hari lagi. Nggak terasa waktu cepat berlalu.
"Terus, Yah?"
Aku dan Ayah duduk bersisian di tepi ranjang. Telapak tanganku dipegang Ayah, ditepuk-tepuk pelan, lalu cinta pertamaku ini tersenyum. Perasaanku mendadak jadi nggak jelas karena nggak bisa menebak apa yang mau Ayah bilang. Jarang-jarang Ayah kayak gini, maksudnya datang ke kamarku dan bicara tanpa ada Bunda.
"Setelah Oliver menyelesaikan ijab qobul, tugas Ayah pindah ke dia. Ridhomu ada di Oliver, Sofie."
Iya, aku paham itu. Tapi kenapa Ayah membicarakan ini lagi? Kemarin-kemarin Ayah sudah mengingatkan soal itu.
"Sofie."
Kali ini Ayah mengusap kepalaku. Aku menatap Ayah tanpa menjawab, menunggu apa yang mau Ayah katakan selanjutnya.
"Kamu tahu musuh terbesar manusia sebenarnya?"
"Diri sendiri," jawabku cepat.
"Benar. Terutama di bagian ini."
Ayah mengusap keningku selama beberapa detik.
"Apa yang kita pikirkan, bisa jadi itulah yang akan terjadi. Saat kamu berpikir, otakmu juga akan bekerja. Detak jantungmu, tekanan darah, emosimu, bahkan gerakan tubuhmu dan kata-kata yang keluar dipengaruhi oleh otak."
Oke, pembahasan ini membingungkan. Apa korelasi bahasan pernikahan tadi dan otak?
"Saat kamu berpikir negatif, otakmu akan mengirimkan sinyal ke tubuhmu. Hatimu jadi gelisah, pikiranmu bisa jadi malah memikirkan hal negatif lainnya, dan alam bawah sadarmu juga mencerna itu. Tanpa kamu sadari sikapmu yang terpengaruh sama pikiran negatif tadi akan berujung menciptakan situasi di kenyataan yang tadinya hanya ada di kepalamu."
Aku kedip-kedip nggak paham. Ayah tertawa kecil melihat reaksiku.
"Begini. Misalnya kamu berpikir gimana saat lagi nyetir kamu malah tabrakan, karena akhir-akhir ini kamu sering nonton berita kejadian semacam itu. Untuk mengantisipasinya, di jalan kamu akan lebih berhati-hati, bisa jadi kamu sering cek spion kanan kiri untuk menjaga jarak aman dengan mobil lain. Tapi, Sofie, bisa jadi itu malah membuat kamu celaka. Karena fokus memperhatikan mobil-mobil lain, kamu nggak fokus sama mobilmu sendiri. Kamu nggak lihat lubang besar di depan, kamu nggak ngelihat ada orang yang mau nyeberang karena lagi ngelihat spion samping. Itu contohnya."
Jantungku tiba-tiba berdetak nggak normal dan tiba-tiba mual. Ayah benar, itu hal yang bisa terjadi karena awalnya dipikirkan.
"Kamu belum paham maksud Ayah?"
"Iya. Sofie nggak paham hubungan pembahasan ini sama pernikahan."
Ayah itu bukan tipe orang yang mengganti topik secara tiba-tiba. Kalau awalnya Ayah membahas A, lalu ke B, atau C, itu pasti ada hubungannya dengan A. Kalaupun Ayah membahas dua hal yang pure nggak ada kaitannya, biasanya Ayah akan ngasih tanda dengan kata oh, iya, lalu lanjut topik baru.
"Oliver bukan Ayah yang punya punya hubungan darah sama kamu, tapi dia akan jadi orang yang bertanggung jawab lahir dan batin untuk kamu. Tugasnya akan berat."
"Sofie tahu."
"Jadi, jagalah juga perasaannya."
Aku mengerutkan kening.
"Jangan lukai hatinya dengan pemikiranmu yang belum terbukti, Sofie. Bicarakan dan jujur aja kalau ada hal yang mengganggu kamu, tapi pakai kalimat yang santun. Biarpun laki-laki sering dibilang makhluk kurang peka, tapi hatinya juga bisa terluka. Dan Ayah nggak mau kamu melukai suamimu dengan omongan atau sikapmu yang kadang nggak terkontrol."
Aku mau ngejawab, tapi aku nggak bisa ngomong. Pikiranku sesaat kosong dan nggak tahu gimana mengeluarkan kata demi kata yang sebenarnya bersarang banyak banget di kepalaku. Karena aku mulai paham apa maksud Ayah. Selain Ayah dan Bunda, aku yakin nggak ada lagi yang lebih memahami baik dan burukku. Ayah khawatir aku menyakiti Oliver dengan pemikiranku sendiri, apalagi Ayah juga tahu kalau aku masih curiga dengan Oliver yang tiba-tiba kembali.
"Usiamu emang udah dewasa, tapi di beberapa situasi sikapmu masih sering kekanak-kanakan."
Wajahku berasa kaku dengar Ayah ngomong gitu.
"Iya, Ayah tahu, kamu juga sering bersikap dewasa dan hati-hati saat bicara. Tapi Ayah khawatir saat berhadapan dengan Oliver, kamu melupakan kesopanan karena terpatok pada pemikiran dia pernah ninggalin kamu, jadi kamu bebas mau bersikap gimana. Kamu harus lebih hati-hati dengan isi kepalamu, Sofie. Hormati dan hargai Oliver, seperti kamu memperlakukan orang-orang yang kamu sayang."
Percakapan dengan Ayah kembali terputar di kepalaku. Aku yang tadinya mau marah-marah lagi sama Oliver malah jadi terisak-isak. Aku begini bukan lagi karena curiga sama Oliver, tapi aku kesal dengan sikapku yang tadi nggak terkendali. Terus juga gimana aku bisa ngelupain nasihat Ayah beberapa hari lalu?
"Kalau nangis bisa memperbaiki sedikit suasana hatimu, nggak apa-apa. Tapi aku tetap bilang kalau aku sama sekali nggak tahu siapa pengirim bunga itu."
Rasanya sesak saat aku mendengar Oliver bicara dengan nada rendah. Dari dulu kesabarannya nggak pernah habis buat aku. Aku yang masih curiga dengannya padahal dia berani bersumpah atas nama Allah, tapi dia tetap bersikap selembut ini sama aku.
"Olv."
Aku berusaha menghentikan Isak tangis. Pas begini, kenapa aku cengeng banget, sih?
"Ya? Kamu butuh apa?"
Saat aku menurunkan kedua tangan, wajah lesu Oliver yang pertama kulihat. Dia terluka, karena tuduhanku, karena aku nggak percaya sama dia.
Oliver menarik beberapa helai tisu dari nakas, lalu mengeringkan wajahku yang basah karena air mata. Lagi, hatiku nyeri.
"Cantikan aku apa Monic?"
Oliver berhenti menekan-nekan tisu di wajahku, lalu senyum lebarnya muncul.
"Cantikan kamulah, Sayang."
Dan aku ikut tersenyum, bahkan tertawa kecil dengan beberapa tetes air mata yang kembali meluncur.
Iya, pasti lebih cantik aku daripada si Monic itu.
Mungkin hampir dua puluh menit aku menenangkan diri dibantu Oliver. Dia nggak pindah-pindah posisi, tetap duduk di dekat kakiku sambil megang tanganku.
"Ada yang sengaja manas-manasin hubungan kita."
Oliver mengangguk atas pernyataanku. Setelah tenang, aku baru bisa berpikir jernih. Tadi pas emosi kebodohanku meningkat 500% kayaknya. Memalukan banget kalau diingat. Pantas juga Ayah ngingetin aku soal menjaga pikiran, soalnya Ayah paham aku memang kadang-kadang kehilangan kendali.
"Dia tahu pernikahan kita nggak perfect."
Kali ini pun Oliver mengangguk.
Kalau dia memang pacar gelap Oliver, nggak ada untungnya buat dia mempublikasikan hubungan dengan cara seperti ini. Kalau mau menunjukkan diri dan membuktikan Oliver nggak setia, aku yakin dia bisa pakai cara yang lebih berani. Langsung datang ke sini dan nyari aku, misalnya. Orang ini sengaja menimbulkan kecurigaan antara aku dan Oliver. Kalau aku nggak salah prediksi, setelah ini kurasa dia akan bertindak lagi.