13. Mind Control

1.8K 315 24
                                    

"Sofie, belum tidur, 'kan? Bisa ngobrol sebentar?" tanya Ayah dari balik pintu.

Ada apa Ayah sampai nyari aku ke kamar jam segini?

Aku yang baru saja mau ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur, membatalkan niat itu. Aku segera membuka pintu untuk Ayah dan mempersilakan masuk.

"Ada hal penting apa, Yah?"

"Ya, mau ngobrol-ngobrol aja sebentar. Dua hari lagi kan kamu nikah, Sofie."

Ah, iya. Dua hari lagi. Nggak terasa waktu cepat berlalu.

"Terus, Yah?"

Aku dan Ayah duduk bersisian di tepi ranjang. Telapak tanganku dipegang Ayah, ditepuk-tepuk pelan, lalu cinta pertamaku ini tersenyum. Perasaanku mendadak jadi nggak jelas karena nggak bisa menebak apa yang mau Ayah bilang. Jarang-jarang Ayah kayak gini, maksudnya datang ke kamarku dan bicara tanpa ada Bunda.

"Setelah Oliver menyelesaikan ijab qobul, tugas Ayah pindah ke dia. Ridhomu ada di Oliver, Sofie."

Iya, aku paham itu. Tapi kenapa Ayah membicarakan ini lagi? Kemarin-kemarin Ayah sudah mengingatkan soal itu.

"Sofie."

Kali ini Ayah mengusap kepalaku. Aku menatap Ayah tanpa menjawab, menunggu apa yang mau Ayah katakan selanjutnya.

"Kamu tahu musuh terbesar manusia sebenarnya?"

"Diri sendiri," jawabku cepat.

"Benar. Terutama di bagian ini."

Ayah mengusap keningku selama beberapa detik.

"Apa yang kita pikirkan, bisa jadi itulah yang akan terjadi. Saat kamu berpikir, otakmu juga akan bekerja. Detak jantungmu, tekanan darah, emosimu, bahkan gerakan tubuhmu dan kata-kata yang keluar dipengaruhi oleh otak."

Oke, pembahasan ini membingungkan. Apa korelasi bahasan pernikahan tadi dan otak?

"Saat kamu berpikir negatif, otakmu akan mengirimkan sinyal ke tubuhmu. Hatimu jadi gelisah, pikiranmu bisa jadi malah memikirkan hal negatif lainnya, dan alam bawah sadarmu juga mencerna itu. Tanpa kamu sadari sikapmu yang terpengaruh sama pikiran negatif tadi akan berujung menciptakan situasi di kenyataan yang tadinya hanya ada di kepalamu."

Aku kedip-kedip nggak paham. Ayah tertawa kecil melihat reaksiku.

"Begini. Misalnya kamu berpikir gimana saat lagi nyetir kamu malah tabrakan, karena akhir-akhir ini kamu sering nonton berita kejadian semacam itu. Untuk mengantisipasinya, di jalan kamu akan lebih berhati-hati, bisa jadi kamu sering cek spion kanan kiri untuk menjaga jarak aman dengan mobil lain. Tapi, Sofie, bisa jadi itu malah membuat kamu celaka. Karena fokus memperhatikan mobil-mobil lain, kamu nggak fokus sama mobilmu sendiri. Kamu nggak lihat lubang besar di depan, kamu nggak ngelihat ada orang yang mau nyeberang karena lagi ngelihat spion samping. Itu contohnya."

Jantungku tiba-tiba berdetak nggak normal dan tiba-tiba mual. Ayah benar, itu hal yang bisa terjadi karena awalnya dipikirkan.

"Kamu belum paham maksud Ayah?"

"Iya. Sofie nggak paham hubungan pembahasan ini sama pernikahan."

Ayah itu bukan tipe orang yang mengganti topik secara tiba-tiba. Kalau awalnya Ayah membahas A, lalu ke B, atau C, itu pasti ada hubungannya dengan A. Kalaupun Ayah membahas dua hal yang pure nggak ada kaitannya, biasanya Ayah akan ngasih tanda dengan kata oh, iya, lalu lanjut topik baru.

"Oliver bukan Ayah yang punya punya hubungan darah sama kamu, tapi dia akan jadi orang yang bertanggung jawab lahir dan batin untuk kamu. Tugasnya akan berat."

Full of BetonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang