01

93 6 0
                                    

Alia turun dari kamarnya. Biasanya di ruang tamu akan ia jumpai sang kakak satu-satunya yang entah sibuk dengan kegiatannya sendiri. Namun, kali ini tidak. Hal itu tentu mengundang rasa penasaran Alia.

Tatkala menginjakkan kaki di ruang tamu, rasa penasarannya sirna seketika. Ada suara Andi di luar sana. Tidak, lebih tepatnya di luar rumah, cukup dekat. Mungkin di halaman.

Tidak ingin keluar, Alia memutuskan untuk menyapa Andi yang berjongkok di tengah rumput-rumput halaman rumah melalui jendela.

"Lagi ngapain, Bang?" sapa Alia yang seketika membuat bahu Andi terangkat seketika. Ia terkejut, detik berikutnya menoleh ke arah Alia yang tersenyum lebar.

"Ejanganlah ngagetin, hampir aja ini kucing kabur," ujar Andi.

"Bukannya Abang yang mau kabur?"

Tak mendapat balasan, entah mengapa Alia bisa menebak apa isi pikiran Andi—yang sedang melihat seekor kucing makan—sekarang.

Apalagi kalau bukan kucing wangy wangy wangy bulunya wangy wangy matanya lucu wangy wangy wangy.

Sepertinya ini yang dinamakan ikatan batin antar kakak beradik.

"Abang, Abang!" panggil Alia lagi.

"Hm,"

"Abang gimana ceritanya, sih. Bisa suka sama kucing? Katanya Abang bikin fanname kucing liar juga biar mereka punya rumah. Kok bisa gitu, Bang?" tanya Alia kemudian.

Andi berdiri, mendekat ke arah Alia lalu duduk di tanah dan bersandar ke dinding. Matanya tak lepas dari kucing abu-abu yang tengah lahap memakan makanan yang Andi berikan.

Tidak biasanya Alia bertanya seperti ini. Yah ... apa boleh buat, karena ia bisa menjawabnya maka akan Andi jawab.

"Kamu ingat gak waktu kita sama yang lainnya ke Jepang? Sekitar seminggu itu pasti Abang ngilang di waktu-waktu tertentu, 'kan?"

Tampak mengingat-ingat, kejadian itu sudah lama sekali. Alia tak bisa langsung mengidentifikasi kejadian yang Andi maksud.

"Ah! Iya, iya, ingat!" ujar Alia akhirnya.

"Kamu gak nanya gitu kenapa Abang suka ngilang?" sambung Andi.

"Nanya tuh, waktu Abang ilang pertama kali," jawab Alia.

Andi mengembuskan napas lalu kembali berkata, "Maksudnya abis itu."

"Nggak, 'kan ujung-ujungnya juga balik," jawab Alia yang seketika membuat Andi membeku. Yah ... memangnya jomblo seperti Andi mau pergi ke mana? Pasti ujung-ujungnya juga pulang, untuk apa dicari-cari?

Namun, merasa sang kakak tertohok hingga diam seribu bahasa Alia buru-buru mencari kalimat lain. "Tapi sebenarnya aku lebih tungguin Abang cerita sendiri waktu itu ke mana."

"Jadi sebenarnya ...."

***

Hari itu salju turun di negeri sakura. Hari di mana Maha5 ID tengah melakukan kunjungan ke Maha5 JP beserta para talent-nya.

Andi berdiri di depan pintu penginapan dengan sebuah payung transparan di tangannya. Ia menatap bulir-bulir salju yang perlahan berjatuhan, lalu membuka payung. Baru satu langkah ia berdiri di bawah hujan salju batinnya berkata, Anjayyy, udah kayak main character di anime-anime ini. Foto bagus, nih.

Baiklah mari skip bagian kenarsisan ini. Andi melanjutkan perjalanannya. Yah ... di Jepang sangat jarang ada tempat makan berkuliner Indonesia, jika ingin makan nasi padang ia harus mencari ke tempat yang jauh, dan itu melelahkan. Karena itu pergi ke konbini adalah satu-satunya jalan di pagi hari ini.

Kamu akan menyukai ini

          

Hitung-hitung membiasakan diri dengan dinginnya musim dingin Jepang. Meskipun Bogor dingin, bagi orang-orang tropis yang tentunya tak terbiasa dengan musim dingin, hal ini tentunya membuat mereka lebih memilih di dalam rumah dan bersembunyi di dalam kotatsu sepanjang hari.

Ya, itulah yang dilakukan Alia ketika Andi pergi tadi. Sementara Nia sedang ... berburu doujin. Zen dan Lumi sedang bergelud seperti biasa. Yah ... pagi yang damai. Memangnya mereka tidak lapar, ya? Andi, sih, lapar. Makanya ia pergi cari makan.

Konbini itu tak jauh, hanya melewati sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat sungai besar. Di sebelahnya terdapat pet shop dan beberapa vending machine. Sejajar dengan toko-toko dan pemukiman warga. Andi semakin bergegas, lama-kelamaan tak tahan dengan dingin yang menusuk hingga tulang.

Beberapa kotak susu titipan Alia, onigiri, dan beberapa makanan serta camilan sudah ada di tangan. Andi keluar dari tempat tersebut dengan secangkir cokelat panas yang mengepulkan uap hangat. Hujan salju sudah berhenti, Andi menenteng payungnya. Lalu berjalan melintasi jembatan dengan bersenandung pelan.

Meow! Meow! Meow!

Suara itu tertangkap begitu jelas di telinga Andi. Refleks pria itu mencari sumber suara tersebut. Di bawah jembatan seekor kucing kecil menggigil, mengeong seperti mencari induknya. Untuk beberapa detik Andi tak mengerti, sampai akhirnya ia kembali berlari naik dan masuk ke dalam pet shop untuk membeli sekotak susu dan makanan kaleng untuk kucing tersebut.

Sekotak susu itu Andi hangatkan di mesin penghangat di antara jajaran vending machine. Ia lalu kembali ke tempat kucing tadi yang suaranya masih juga terdengar.

Kaleng makanan kucing itu dibuka, diberikan kepada si kucing yang ternyata telah kurus kering. Sembari memperhatikan si kucing kecil yang makan dengan begitu lahapnya, Andi mengamati dengan saksama.

Kucing itu sudah kurus kering, makannya sangat lahap, dan saat berdiri tadi pun tubuhnya gemetaran, bulunya yang Andi yakini putih bersih itu sudah kotor dan tampak lusuh. Ditambah lagi ukuran tubuhnya yang kecil, bisa diyakini itu adalah anak kucing. Namun, siapa yang tega membuang anak kucing sekecil ini? Atau jangan-jangan dia terpisah dari induknya?

Tak ingin terlalu ambil pusing, Andi meneguk minumannya yang sudah dingin. Mungkin ia akan pulang lebih terlambat hari ini. Tidak apa, lagi pula hari masih siang.

Tatkala makanan kaleng itu telah tandas tak bersisa, Andi menuangkan sekotak susu khusus kucing yang tadi ia beli. Kucing tersebut menjilatinya beberapa kali. Kemudian mendekat ke kaki Andi, menggosokkan tubuhnya di sana sesekali mengeong. Andi pikir, mungkin itu tanda terima kasih makhluk kecil itu kepadanya.

Untuk beberapa saat mungkin tak ada salahnya mengelus makhluk itu sejenak. Dia pasti kesepian ditinggal cukup lama dan tak bisa mencari makan.

Namun, siapa sangka jika interaksinya dengan makhluk tersebut mengakibatkan ia tak diperbolehkan pulang oleh kucing itu. Setiap kali akan pergi kucing itu mengikuti, ketika dikembalikan ke tempatnya pun sama saja.

Jujur saja Andi tidak bisa membawanya ke guest house yang mereka tempati, karena memang dilarang. Jika tak dilarang pun sama saja tidak bisa, karena bisa-bisa ia terkena masalah. Apalagi mengadopsi, mengadopsi kucing atau hewan peliharaan di Jepang itu sulit, sangat sulit, tidak bisa asal pungut begitu saja.

Andi berjongkok di hadapan kucing tersebut lalu berkata, "Besok gue datang lagi, jadi jangan ikut, ya?" Entah kucing itu akan mengerti atau tidak lantaran ia menggunakan bahasa ibunya. Namun, kucing itu mengeong lalu kembali ke bawah jembatan, duduk sembari menatap Andi yang kini sudah berdiri.

Andi tersenyum. Ternyata kucing bisa ngerti bahasa gue, apa gara-gara gue ganteng, ya?

Andi naik, kembali ke jalan yang menghubungkannya pulang ke penginapan.

"Abang!"
"Andi!"

Baru membuka pintu, tiba-tiba namanya disebut oleh orang yang ada di dalam. Alia, Lumi, Zen, dan Alia lalu tampak setelah terdengar bunyi benda jatuh beberapa kali.

"Abang ke mana aja? Keluar jam sepuluh pagi kenapa baru pulang jam tiga sore begini? Mana gak bawa hp pula, Abang gak nyasar, 'kan? Kalo Abang hilang nanti kita semua yang repot, hueee!" ujar Alia.

Melihat satu per satu manusia di sana. Entah mengapa Andi menemukan beberapa keganjilan. "Elah, bilang aja gak ada yang jajanin kalian kalo gue hilang!"

Ya, camilan dari minimarket tadi. Memangnya apa lagi? Tawa garing terdengar kemudian, akal-akalan mereka tak mungkin bisa ditutupi. Andi kemudian menyerahkan sekantung plastik belanjaannya yang detik itu pulang langsung dibawa kabur oleh mereka ke dalam.

Lihat, apa Andi bilang? Betul, bukan?

"Elah! Kampret betul kalian, nih, ya!"

Our Story [Maha5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang