Rambut panjang hitam kecoklatan tertiup angin sabtu siang itu. Ini pertama kalinya Nadhine menaiki motor lagi di Jakarta. Nadhine tak habis pikir Ghifari menjemputnya dengan motor, bukan berarti Nadhine matrealis berharap Ghifari menjemputnya dengan mobil. Tapi acara jalan-jalan berdua mereka setelah delapan tahun lamanya putus terasa seperti acara kencan biasa saat dulu dirinya masih SMA.
Semalam Nadhine memang belum tidur, ia sedang membaca beberapa email sembari menunggu air mendidih karena ia ingin minum susu hangat. Saat akan kembali ke kamar, Nadhine mendapatkan pesan dari Ghifari. Pria itu mengajaknya keluar siang nanti kalau Nadhine tidak keberatan dan disinilah dia sekarang, duduk di belakang Ghifari.
Ghibran berhenti di sebuah cafe yang masih belum sempurna untuk dibuka. Saat mesin motor sudah dimatikan Nadhine masih terdiam di posisinya memandangi bangunan dengan perpaduan warna coklat, creme, dan putih tulang.
"Mau aku gendong?" tawar Ghifari yang sudah berdiri dengan dua kakinya sedangkan Nadhine masih duduk di atas motor
Nadhine memutarkan bola matanya lalu turun perlahan, Ghifari tak begitu saja menbiarkannya, ia membantu Nadhine turun dengan menahan pinggang gadis itu karena memang motornya cukup tinggi. Sebut saja kesempatan dalam kesempitan, lagipula Nadhine tidak protes.
"Kenapa kesini? Ini belum buka." tanya Nadhine sambil membuka kaitan pengaman helm yang dia pakai.
"Emang belum buka" jawab Ghifari. "Tapi kalau aku kesini pasti dilayanin"
Nadhine heran, sambil meletakkan helm diatas motor dirinya mengernyit memandang Ghifari yang sama sekali tak menghilangkan senyumnya. "Kok bisa?"
"Bang!!" panggil seseorang dengan suara yang cukup keras membuat keduanya menoleh
Ghifari meraih jemari tangan Nadhine, mengisi setiap celah di jemari gadis di sampingnya dengan jemari miliknya. Nadhine melirik keabawah melihat tangannya yang tak terlihat di genggaman telapak tangan luas milik Ghifari. Otak Nadhine merasa aneh dengan perlakuan Ghifari, tapi hati Nadhine merasa nyaman saat jemarinya menyatu dengan jemari Ghifari.
Keduanya pun melangkah masuk menghampiri pria muda yang sedang memakai apron dengan berbagai minuman dan makanan tersaji didepannya.
Pria itu melepas sarung tangan dan tersenyum manis menyapa keduanya. Ghifari pun melepas genggaman tangannya, berpindah ke pinggang Nadhine menariknya lebih dekat.
"Ooh jadi ini" ucap sang pria menaik turunkan alisnya. "Kenalin kak, gue Arjuna. Panggil aja Juna. Gue adiknya Bang Ghifari" tangannya terulur menampilkan tato terukir di punggung jari tangannya
Nadhine membalas jabat tangan Arjuna dengan tersenyum. "Nadhine" ucapnya tersenyum kaget.
Untuk apa dirinya dikenalkan ke adik Ghifari?
"Cantik" Arjuna mengedipkan satu matanya kearah Nadhine.
Eh? Nadhine terkesiap.
Ternyata sama saja kakak-adik.
"Mau gue patahin tuh tangan atau mata lo gue colok pake kunci motor?" Ghifari menarik kasar tangan Nadhine dari tangan Arjuna.
Arjuna hanya terkekeh. "Emang bener, Kak Nadhine cantik kan?"
Apa yang dikatakan benar apa adanya. Pertama kali melihat Nadhine, Arjuna terpesona oleh kecantikan Nadhine. Jujur saja Arjuna tau siapa aja yang dekat dengan Ghifari kecuali Nadhine, karena memang Ghifari sering berduaan di club atau cafe. Jadi tanpa sengaja ia akan berpapasan dengan Ghifari dan wanitanya. Berbeda saat Ghifari berpacaran dengan Nadhine, pria itu lebih sering memilih berada di apartemennya. Sebenarnya Arjuna pun tidak tahu jika Ghifari berpacaran dengan Nadhine jika Giska tidak memberitahunya. Menurut penglihatan Arjuna, setelah bertemu dengan Nadhine, semua wanita yang pernah dekat dengan Ghifari terlihat tidak ada apa-apanya dibandingkan Nadhine. Pantas saja Ghifari sedikit tidak waras saat putus.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTART [✔]
FanfictionDisaat Nadhine mengira bahwa dirinya sedang berjalan lurus tanpa harus kembali menengok ke belakang, ternyata jalan yang ia lalui adalah jalan yang mengantarkannya ke masa lalu. 🏅rank 1 #btsvelvet at 220901 vrene lokal • (18+) ©statetruly, 2022.