Sebuah Kegilaan

2.5K 211 5
                                    

Wajah Aiden yang lesu dengan bibir kelu sore tadi masih setia bergentayangan di kepalaku. Seharusnya aku tenang mendengar penolakan Mama. Tapi, kejadian tadi sangat tiba-tiba dan tidak terduga. Aku hanya tidak enak dengan Aiden.

Bagaimanapun aku pernah di posisinya, ditolak dan dipaksa mengubur rasa cinta yang telanjur mekar merekah. Sakit. Teramat perih malah.

"Aku tidak rela kalau anak kita menikah dengan orang yang sudah pernah membangun rumah tangga dan punya anak pula. Bagaimana bisa melihat Zila menjadi ibu sambung? Tidak. Itu tidak akan terjadi," ungkap Mama pada makan malam kali ini, walau aku dan Ayah tidak menuntut penjelasan atas penolakannya yang sepihak.

Aku tahu, Mama hanya ingin yang terbaik untukku. Dan aku tidak menyalahkannya. Sementara Ayah melepas pandangan padaku, lantas mendesah pelan. Dia memang kepala keluarga, tapi untuk kasus ini, dia juga tak bisa berbuat banyak.

Selepas kejadian itu aku putuskan untuk berhenti mengajar Vanila. Memang sangat tidak profesional aku ini. Percayalah, selama sebulan aku mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja kala bertemu sosok Aiden. Tapi, lama-kelamaan aku akhirnya tidak enak juga. Lagipula aku sudah telanjur malu dan tidak enak hati dengannya.

****

Setiap selesai tahun ajaran, kami para guru di tempat bimbel berwisata. Anggaplah sebagai bonus kerja dan pelepas penat. Tahun ini pilihan kami jatuh pada Pantai Angsana yang letaknya cukup jauh dari Banjarmasin. Perlu waktu berjam-jam untuk sampai ke tempat itu. Walau badan rasanya capek, tapi semua terbayar dengan segala keindahan yang tersaji.

Pasir putih dan air pantai yang kebiruan menjadi penyambut kedatangan kami. Teman-temanku berhamburan ingin cepat turun. Mereka tak sabar untuk bermain di bibir pantai, bermain air atau berjemur di atas pasir yang menawan.

Aku turun dari bus, menghirup udara sekitar sampai memenuhi paru-paru. Bau alam memang tidak ada duanya. Ini sangat sejuk dan menenangkan bagi kami yang terbiasa hidup di dalam himpitan padatnya jalanan dan perumahan warga kota.

"Nanti kita semua snorkeling, ya," usul Rangga di sela-sela duduk santai kami sembari menikmati es kelapa muda yang dijual penduduk sekitar. "Katanya rugi kalau ke sini tidak menyelami indahnya lautan."

Yang lain setuju dengan usulnya. Sementara aku menimbang, apakah itu tidak berbahaya. Jujur saja, ini pengalaman pertamaku.

"Kamu ikut juga, kan, Zil?" tanya Rangga. Dia menatapku lama, menuntut jawaban.

Dengan gugup aku berkata iya, walau aku sendiri tidak tahu bagaimana nantinya.

Perahu yang mengangkut kami mulai berangkat ke tengah lautan. Orang-orang yang berada di bibir pantai sana terlihat seperti kerikil kecil saja.

"Gak usah gugup," ucap Rangga yang duduk di sebelahku. Dia seperti bisa membaca raut dari wajahku.

"Kalau nanti aku kenapa-kenapa, gimana?"

"Aku jamin aman."

Baiklah, kalau dia yang bicara, aku hanya coba percaya.

Satu persatu temanku turun dengan peralatan snorkeling mereka seperti kacamata renang dan alat bantu bernapas di air (aku tidak tahu namanya). Hanya ada aku di atas kapal. Teman-teman sudah berteriak memintaku untuk bergabung. Dan setelah menghitung mundur, aku beranikan diri. Aku kira perairan di sini cukup dalam. Tapi ternyata, kedalamannya hanya sekitar tiga meter.

Salah seorang temanku menarikku untuk berani menyelam untuk melihat keindahan bawah laut.

Dapat kulihat ikan ramai berlalu lalang di sekitaran kami. Terumbu karang berjejer dengan sangat cantik. Ada beberapa jenis ikan, salah satunya ikan badut, spesies ikan yang pernah aku lihat dalam kartun Finding Nemo. Ah, benar kata Rangga, pemandangan di bawah sini sangat menakjubkan.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang