⚠️JENO HAREM⚠️
JENO UKE AREA
Jika tidak suka Jeno uke, silahkan untuk skip story ini.
⚠️Boys Love/Yaoi⚠️
Homophobic silahkan untuk skip story ini.
⚠️Mature Content⚠️
Berisi kata kata kasar, adegan seks, dan alkohol. Untuk minor diharapkan untuk skip...
Jeno tersenyum senang. Dia baru saja memasang sebuah figura foto besar di ruang tengah—dengan dibantu satu orang. Dia memandang lekat foto yang berhasil dia pajang di dinding putih itu. Foto pernikahannya dengan Mark. Di dalam foto itu dia tampak mengenakan tuxedo putih bersih. Dengan beberapa detail hitam di jasnya. Tangannya menggandeng lengan Mark yang berdiri tegak di sampingnya. Mark sendiri mengenakan setelan tuxedo hitam dengan kemeja putih. Keduanya tampak tersenyum cerah dan bahagia.
Jeno menoleh kearah samping kanannya dimana orang yang tadi membantunya berada. "Terima kasih ya. Maaf merepotkanmu. Ini uang tip untukmu." Jeno memberikan selembar uang 10 ribu won. Lelaki yang membantunya barusan adalah petugas pengantar barang. Yang mengantarkan foto plus pigura yang Jeno pesan dua hari lalu.
Lelaki itu membungkuk dan menerima uang tip itu sambil mengucapkan kata terima kasih. Merasa tugasnya selesai, ia pamit undur diri dan keluar dari kediaman Lee. Jeno kembali mendongak untuk melihat pigura itu. Dia mengambil ponsel dan memotret pigura itu. Lantas mengirimkan hasilnya pada suaminya yang masih bekerja di kantor. Senyuman manis tak luntur dari bibir sewarna buah plum nya.
Netra coklatnya kembali menatap foto pernikahannya. Membuat benaknya memutar kejadian sebelum upacara pernikahan terlaksana. Saat dirinya dan Mark masih ragu untuk mengungkapkan hubungan mereka. Terlebih pada kedua orang tuanya.
Tepatnya di sebuah malam, dua tahun ke belakang. Saat sang mama sudah pulang kembali ke Korea. Jeno memberanikan diri mengenalkan Mark sebagai kekasih, dan calon suaminya. Saat Mark melamarnya secara mendadak, Jeno mengiyakan dan keduanya sepakat untuk menikah. Kini Jeno harus meminta restu dari sang ibu.
Jung Anne, wanita yang dulu bernama asli Rosanne Na atau Na Jangmi. Menatap Jeno yang berdiri di depannya dengan ekspresi terkejut yang sangat kentara. Dia merasa dia salah dengar. Tapi saat Jeno kembali mengatakannya, entah kenapa dia tidak mempercayainya. Dulu dia selalu bertanya pada Jeno, kapan dia akan membawa calon menantu ke hadapannya. Jeno memang mengabulkannya. Tapi bukan ini yang diinginkannya. Anne dulu menginginkan seorang wanita yang Jeno kenalkan. Bukannya sama sama lelaki seperti putranya. Anne belum merespon apa apa saat itu. Dia menoleh pada suaminya dengan tatapan menuntut penjelasan. Jaehyun—sang suami, menjelaskannya dengan lebih pelan. Tepat setelah itu, Anne merasakan hatinya berkecamuk. Perasaannya campur aduk. Antara kaget, dan kecewa. Sangat tampak dari kedua mata coklatnya yang termakan usia.
"Jeno, kamu tidak sedang mengerjai mama kan?"
Jeno hanya bisa terdiam dan menunduk dalam. "Maafkan aku, Ma." Jawabnya. Pertanda bahwa ia tengah serius sekarang.
Anne lantas menghela nafas panjang. Dia menunduk dan menatap kedua tangannya yang terjalin di pangkuannya. "Harapan orang tua dimanapun selalu sama. Menginginkan yang terbaik untuk putra putrinya. Dan juga memberikan yang terbaik. Dalam hal apapun itu. Begitu pula dengan mama. Jeno, ini bukan yang mama harapkan."
Jeno menggigit bibir dalamnya. Dia langsung mendekati sang ibu dan bersimpuh tepat di depannya. Meraih kedua tangan halus itu dan menggenggamnya erat. Jeno mendongak untuk menatap wajah sang ibu. Hatinya terasa teriris saat melihat manik bening ibunya kini tergenang air mata. Dan siap luluh kapan saja.
"Ma, aku benar benar minta maaf karena sudah membuat mama kecewa. Tapi ini pilihan yang Jeno ambil. Aku yakin ini akan membuatku bahagia, karena memang Mark lah orangnya. Percayalah pada Jeno, Ma." Ucap Jeno. Dia tidak bisa mempertahankan nada suaranya yang bergetar. Buah dari rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya. "Jeno sudah besar. Jeno sudah bisa membedakan baik buruk apa yang Jeno lakukan. Aku akan menerima resiko apapun dari keputusan yang kuambil."
Anne tidak segera merespon. Dia menatap netra gelap sang anak yang balas menatapnya penuh harap. Dan itu yang tak bisa Anne hindari. Logikanya masih membantah keinginan Jeno. Tapi hatinya menginginkan Jeno bahagia.
"Keinginan setiap orang tua selalu sama, Jeno. Selain menginginkan yang terbaik, orang tua juga mengharapkan anaknya bahagia. Jika memang kamu yakin dengan keputusanmu, Jeno. Mama selalu ada di pihakmu. Mama akan merestuimu." Finalnya. Senyuman tulus ia sunggingkan. Matanya menatap lekat Jeno yang tercekat. Tampaknya sang putra tidak percaya dengan ucapannya. Namun selang beberapa detik kemudian, Anne merasakan pelukan hangat anak lelakinya. Dan dia membalasnya. Anne dulu selalu memeluk anaknya saat Jeno tengah menangis. Kali ini pun dia memeluk Jeno lagi. Namun sekarang Jeno yang menangis bahagia.
Lamunan Jeno terbuyarkan saat dia mendengar suara dering pendek dari ponsel yang ia genggam. Jeno melihat layar ponselnya. Ada pesan balasan dari Mark.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Jeno kembali tersenyum saat membaca balasan pesan dari Mark. Dia langsung mengetikkan balasan untuk suaminya itu. Jempol rampingnya menari lincah di atas keyboard virtual ponselnya. Lantas mengirimkannya pada Mark.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Mark agak terpaku di tempat duduknya. Jantungnya tiba tiba berdebar saat membaca balasan pesan dari Jeno. Padahal tadi dia merasa senang. Sekarang tiba tiba jantungnya seperti dihantam. Jeno tampak sangat bahagia dengan 'restu' itu. Padahal kenyataannya, ibu dari Mark tidak pernah memberikan restu itu. Mark menatap lekat layar ponselnya. Ingatannya kembali ke kejadian dua tahun lalu. Saat ia dan kedua orang tuanya tengah berkumpul di ruang keluarga sambil menonton tv.
Semenjak kepulangan Mark ke rumah, kesehatan tuan Lee—ayah Mark semakin membaik. Bahkan kini dia bisa berjalan pelan meski harus dipapah perlahan. Tapi itu sebuah kemajuan. Dan kini tuan Lee—Lee Taeyong, sedang duduk di samping sang istri—Lee Jiah. Menyaksikan sebuah reality show yang membuat mereka sesekali tertawa karena terhibur.
Mark tiba tiba teringat soal lamarannya kemarin malam. Dia meminang Jeno dan memintanya menjadi pendamping hidupnya. Padahal dia sendiri belum pernah memberitahu kedua orang tuanya jika ia memiliki kekasih. Apakah sekarang saatnya sudah tepat? Mark sempat ragu. Tapi ia harus memberanikan diri. Jika bukan sekarang, Mark bisa saja tidak akan mendapat kesempatan lagi.