Bagian 1

20 6 2
                                    

Aku tidak ingat kapan tepatnya kegilaan ini dimulai. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu, saat umurku berada pada kisaran sebelas. Suatu pagi, ketika aku terbangun, aku merasakan ada yang salah, seakan-akan aku telah melupakan sesuatu yang penting. Dan ketika aku hendak beraktivitas seperti biasanya, aku menemukan sebuah kekosongan di balik cermin. Aku tidak dapat menemukan bayanganku di dalamnya.

Ketika pertamakali aku menyadarinya, aku merasa panik dan menghampiri orang tuaku. Mereka berpikir bahwa aku telah mengalami mimpi buruk. Mereka mengantarku kembali ke kamar sambil menunjukkan bayanganku tidaklah hilang. Dan saat itu aku menyadari bahwa akulah satu-satunya yang tidak dapat melihat bayanganku sendiri.

Aku terus berusaha meyakinkan orang tuaku bahwa aku tidak bisa melihat bayanganku di cermin hingga hal itu membuat mereka gelisah. Mereka mulai membawaku ke berbagai psikiater. Para psikiater silih berganti, namun diagnosa mereka selalu sama. Mereka mengatakan aku membutuhkan perhatian orang tuaku. Bahwa aku sedang berbohong demi mendapatkannya.

Hingga akhirnya aku berpikir bahwa semua yang kulakukan ini sia-sia. Aku pun menyerah dan mengikuti apa-apa yang dikatakan oleh para psikiater. Sebagian dari diriku berharap bahwa hal itulah yang sebenarnya terjadi dan mungkin, jika aku menghabiskan waktu lebih lama bersama mereka, keadaan akan kembali seperti semula.

Ketika aku mengakuinya, tampak kesedihan di dalam kedua orang tuaku, seakan-akan aku telah mengalami sebuah tragedi yang memilukan dan hal itu membuatku tidak enak. Pengakuan itu kemudian berdampak pada hari-hari selanjutnya yang kuhabiskan bersama mereka dengan penuh kegembiraan. Kami menghabiskan waktu lebih lama bersama, pergi ke berbagai tempat, melakukan piknik sembari memperkuat ikatan orang tua dan anak. Aku mendapatkan perhatian berelebih dan jujur saja, aku tidak membencinya. 

Namun benar saja, hal itu bukanlah pokok dari masalahku sebab setiap kali aku memandang ke arah cermin, aku tetap tidak dapat menemukan bayanganku. Malahan, aku merasakan kekosongan yang sangat tidak mengenakkan setiap kali aku memandangnya. Hal itu membuatku menghindari cermin. Kusingkirkan semua cermin yang ada di kamarku. Setiap kali aku berjalan melewati sebuah cermin, aku akan memalingkan wajahku. Dan hal itu berdampak pada penampilanku yang kacau.

Dan ketika aku berpikir hidup ini tidak bisa menjadi lebih buruk, beberapa minggu yang lalu, gadis kecil ini tiba-tiba muncul di dalam kamarku, seorang gadis tomboy dengan rambut pendek dan kulit kecokelatan. Ia selalu memandang ke arahku dengan raut wajah bosan. Umurnya berada pada kisaran sebelas, tiga tahun lebih muda dariku. Ketika ibuku datang ke kamarku dan bersikap seolah gadis itu tidak ada, aku menyadari bahwa akulah satu-satunya orang yang dapat melihatnya. aku pun berusaha untuk tidak menghiraukannya.

Ia terus saja menatapku dan hal itu membuatku terganggu. Ketika aku menanyakan perihal identitasnya, ia mengeluarkan desahan panjang.

"Kau bahkan tidak mengenaliku?" katanya.

Aku yakin sekali seumur hidupku, aku tidak pernah bertemu dengannya . Ia terus saja menatapku dengan raut wajah bosan, seakan-akan aku adalah seorang yang lambat dalam menangkap sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan tidak mendapatkan respon darinya, sehingga aku mulai mengabaikannya. Selain tatapannya padaku, aku tidak begitu terganggu olehnya. Gadis itu hanya menatapku sembari duduk di kursi belajar. Setiap kali aku hendak menggunaknnya, ia akan berpindah ke kasur kemudian duduk dan kembali menatapku dengan tatatapn bosannya.

Hingga pada suatu malam, ketika aku hendak tertidur, gadis tomboy itu mulai berbicara.

"Apa kau tidak bosan seperti ini terus?" tanyanya dengan nada ketus, "Kau tahu? Aku benar-benar kesal menunggumu!"

Ucapannya membuatku bingung. Belum sempat aku mencerna ucapannya, ia menggenggam tanganku dan kemudian menarikku ke luar, menuju gudang yang berada di belakang rumah. Di dalam gudang, terdapat sebuah cermin besar, yang sebenarnya merupakan bagian dari lemari baju milikku dulu yang kini telah usang. Aku melihat ke arah cermin dan mendapati bahwa bayangan kami tidak ada di dalamnya. Ia terus saja menarikku dan tanpa kusadari aku telah berada di sisi lain dari cermin. Kemudian gadis itu membawaku ke luar gudang dan sedetika kemudian kami area di luar gudang tersebut berubah menjadi sebuah waterpark.

Matahari tiba-tiba bersinar di arah timur dan hal itu membuatku lebih bingung lagi. Pertama-tama, aku tiba-tiba tengah berada kawasan kolam renang, dan sekarang, matahari tiba-tiba besinar walaupun hari sudah malam. Gadis itu akhirnya melepaskan genggaman tangannya. Kemudian ia menunjuk ke arah seorang bocah yang sedang menangis sesenggukan di pinggir kolam dengan.

"Minta maaf padanya!"

Tanpa sadar aku menunjuk diriku sendiri.

"Aku?"

Gadis itu kemudian menyilangkan tangannya. Sekali lagi, ia membuat tatapan seakan-akan aku adalah orang yang lambat dalam menangkap sesuatu. Kakinya terus saja berderap, layaknya seorang bos yang sedang mengawasi karyawannya yang lamban. Hal itu membuatku berpikir bahwa aku sebaiknya menuruti permintaannya.

Aku bergegas menghampiri bocah itu. Ia tampak tidak menghiraukan keberadaanku. Kepalanya terus saja tertunduk dan menangis. Aku mulai memberanikan diri dan menyentuh pundaknya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku membunuhnya!" jawab bocah itu sambil menunjuk ke tengah kolam. Tangisannya kemudian semakin menjadi-jadi. 

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang