Gak ada yang lebih manjur jadi obat kecuali musik. Walaupun liriknya membunuh tapi nadanya penyembuh.
Reyna~
--------
Entahlah ini sudah harapan yang keberapa kalinya gue ingin hidup bersama orang tua gue, harapan yang ingin gue miliki ini gak berjalan sesuai keinginan, semua menjadi hilang dengan adanya takdir Tuhan yang sudah menjadi ketetapan.
Harus kembali hidup dengan orang lain, orang yang gak punya hubungan darah sama sekali dengan gue. Yaitu seorang pembantu rumah tangga yang sudah gue anggap sebagai keluarga sendiri.
Cheonsaye eolgullo
Naegero watteon Mystery
Neoran ongi
Ni gyeote meomulmyeo
Neol saranghal geu han saram
narani
Chuun gyeoul achimdo
Jogeum weroun jeonyeokdo
Urin yeogi hamkkera
Eodumeun neoran bicheuro
Bakkwieo Tonight
mideul su eomneun gijeokKembali seperti biasanya, gue akan memutar lagu EXO jika perasaan gue not bad. Lebih tepatnya gue suka semua lagu-lagunya. Selain suka mendengar lagu EXO, gue juga suka mendengar lagu barat seperti lagu-lagu Taylor Swift, Hasley, dan Alan Walker.
Menjadi remaja yang tumbuh sendiri tanpa orang tua memang benar-benar sulit. Sampai tumbuh dewasa pun dunia gue gak akan baik-baik aja. Last broken to my life.
Pyeongsaengeul neoman barabogopa
Modeun ge shwipjin anketji
jikyeo jul kkeoya For life
This love, this love
yeongweonhi kkeunnaji anaLiriknya sangat mewakili perasaan gue saat ini. Gue menghela napas beberapa kali sambil mengikat rambut secara sembarangan.
Hari yang melelahkan akan terus terjadi di dalam hidup ini, gue gak mau terus berharap untuk semua hal yang gak bisa gue wujudkan. Dengan begitu, gue mungkin akan tahu caranya bersyukur.
Alih-alih terus mendengarkan lagu Exo gue turun dari atas ranjang. Kaki jenjang ini berjalan menuju ke arah meja rias kemudian duduk tepat di depan cermin. Gue menatap lekat wajah pucat gue sambil bergeming sumbang.
Ternyata wajah gue ini memiliki magic all. Selama menjalani hidup, orang-orang di sekeliling gue mengatakan kehidupan gue sempurna. Mereka selalu mengatakan kebahagiaan terlihat jelas dari wajah dan senyum gue. Mereka menganggap apa yang mereka lihat adalah suatu kebenaran tanpa mengetahui kebenaran yang lain.
Selain bahagia, orang-orang selalu mengatakan fisik gue adalah fisik yang sempurna. Ya, mereka mengatakan fisik gue ini sempurna, dari rambut panjang sepunggung, mata bulat, alis tebal, bulu mata lentik, hidung kecil, bibir tipis dan senyum manis. Mereka melihat semua itu dari fisik gue dan mengatakan bahwa itu adalah kesempurnaan.
Fisik yang sempurna? Sebenernya gue gak tahu bagaimana definisi sempurna soal fisik yang dikatakan oleh orang-orang, yang gue lihat saat gue bercermin adalah rasa kecewa dan kekurangan, bukan sempurna dalam segala bentuk apapun itu.
"So look a--"
"Non!"
Gue menghentikan nyanyian dan terdiam sejenak untuk kembali mendengar suara barusan. Suaranya 'tak asing.
"Non! Ini Mbak Jihan!" ujar Mbak Jihan lebih lantang dari luar kamar.
"Pagi, Non! Saya khawatir kok dari tadi belum keluar-keluar juga," ucap Mbak Jihan tanpa basa-basi setelah gue menarik kenop pintu. Bener saja gak asing dengan suaranya. Ternyata Mbak Jihan.
"Mbak Jihan, ini 'kan weekend," jawab gue dengan lesu.
"Tapi tetap harus makan, 'kan, Non?" tutur Mbak Jihan dengan gaya khas keibuannya.
"Nanti Reyna makan, tapi sekarang Reyna mau tidur-tiduran dulu di kamar," jelas gue sambil memutar tubuh.
"Loh! Ya gak bisa gitu, dong! Ini namanya melanggar prinsip hidup sehat!" cegah Mbak Jihan sembari mencekal pergelangan tangan gue.
"Nanti kalau sakit siapa yang paling repot?" tanya Mbak Jihan.
"Mbak Jihan," jawab gue.
"Yang paling khawatir?"
"Mbak Jihan," jawab gue datar.
"Nah, itu tahu!" omel Mbak Jihan dengan nada khawatir.
Gue menatap lama Mbak Jihan, kemudian tersenyum simpul padanya. Ini bukan kali pertamanya Mbak Jihan mengkhawatirkan gue. Bahkan untuk gak mengkhawatirkan gue saja, Mbak Jihan hampir gak pernah melakukannya. Apakah seindah dan sesakit ini ketika mendapatkan perhatian yang bukan berasal dari keluarga sendiri? Kenapa perasaan itu begitu melekat saat orang lain perduli dan perhatian kepada gue. Seolah-olah gue ingin mendapatkan rasa itu dari keluarga gue, bukan orang lain.
"Sepertinya, hari ini Reyna ingin makan di--"
TING! TING! TING!
Bell rumah berbunyi. Gue dan Mbak Jihan saling memandang. 'Ini 'kan rumah baru, siapa yang bertamu sepagi ini?" batin gue dengan mimik wajah bingung.
"Biar saya yang buka. Non Reyna cepat keluar menuju ruang makan, ya?" perintah Mbak Jihan. Gue pun mengangguk pelan mematuhi perintah Mbak Jihan.
"Rumah baru, ada tamu?" ucap gue dengan mengerutkan kening.
TOK! TOK! TOK!
"Non, buka pintunya!" seru Mbak Jihan.
"Iya, Mbak. Nanti Reyna keluar buat makan kok. Sekarang Mbak Jihan bisa tunggu Reyna di meja makan dulu!" jawab gue dari dalam kamar.
"Bukan itu, Non!" ucap Mbak Jihan dengan lebih memperkeras suaranya.
Bukan itu? Apa lagi maksudnya? Gue menaruh handphone di atas meja rias kemudian berjalan menuju pintu dan memutar kenopnya.
"Ada apa, Mbak?" tanya gue dengan mengangkat kedua alis.
"Ada yang nyariin," jawab Mbak Jihan.
"Nyari? Nyari siapa?" Gue mengerutkan kening dengan bingung.
"Nyari Non Reyna," jawab Mbak Jihan serius.
"Aku?" Gue membulatkan mata di depan Mbak Jihan.
"Iya, Non!" tegas Mbak Jihan sambil menganggukkan kepala.
"Ta--"
"Katanya temen sekolah Non Reyna," potong Mbak Jihan.
"Temen sekolah?" Gue semakin bingung.
"Temen sekolah?" ucap gue dalam hati seraya mengingat-ingat kembali kejadian sebelum pergi meninggalkan sekolah di Yogyakarta. Perasaan gue gak ada yang tahu sama sekali tentang rumah baru gue di sini dan--
"Sekarang orangnya di mana, Mbak?" tanya gue 'tak mau ambil pusing.
"Ada di depan, Non, lagi ngobrol sama Pak Wito," jelas Mbak Jihan.
Gue terdiam sambil berangan-angan tentang siapa tamunya?
"Ada Apa, Non?" tanya Mbak Jihan.
"Ah, engga Mbak!" Gue langsung memainkan kedua tangan gue di depan Mbak Jihan. "Gak ada apa-apa kok, Mbak."
"Ya udah Kalo gitu Reyna keluar dulu ya, Mbak." Gue meninggalkan Mbak Jihan dan berjalan buru-buru menuju ke depan.
Tampak kedua laki-laki tengah asyik mengobrol di post.
Sementara gue yang melihat dari kejauhan hanya dapat menghela napas berat dengan sedikit mengacak rambut.Perlahan gue berjalan ke arah post, gue sengaja memberi jarak yang lumayan sedikit jauh dari keberadaan dua orang di post untuk berjaga-jaga dan mendengar pembicaraan keduanya.
"Oh, jadi Aden ini rumahnya di gang Melati," ucap Pak Wito.
Perawakan laki-laki itu besar-tinggi membuat Pak Wito 'tak terlihat di mata gue. Tapi dengan begitu, malah membuat posisi gue menjadi aman.
Namun, entah kenapa gue merasa 'tak asing dengan perawakannya tersebut."Apakah firasat gue bener?" kalimat tanya itu terlintas dalam otak gue.
"Kapan-kapan mampir di rumah saya. Rumah saya ada di Gang Anggrek, Den," ucap Pak Wito dengan laki-laki yang mengenakan kemeja warna putih di depannya.
Laki-laki yang diajak bicara oleh Pak Wito pun menganggukkan kepalanya. "Jadi, Bapak sudah lama kerja di sini?" tanya laki-laki tersebut.
"Belum, Den," jawab Pak Wito.
"Sekitaran ...?" tanya sang laki-laki.
"Sekitar satu mingguan ini, orang Non Reyna 'kan barusan pindah," jelas Pak Wito.
"Kalau boleh tahu, kenapa pindah ya, Pak?" tanyanya penasaran.
"Kalau masalah itu--saya juga kurang tahu, Den." Pak Wito menggelengkan kepalanya pelan.
"Pembantu perempuan tadi itu--benar Mbak Jihan, kan, Pak?" tanya sang laki-laki sambil menoleh ke belakang.
"Iya. Itu Mbak Jihan. Katanya pengasuh Non Reyna dari kecil."
Begitu laki-laki itu menoleh ke belakang gue langsung tersentak. Sekujur tubuh gue bergetar hebat. Sakit, sesak, pusing, mual, tiba-tiba gue diserang dengan segala rasa itu.
Kenapa? Kenapa dia ada di sini?
Mata gue dan dia saling beradu dari jarak yang lumayan jauh. Gue berdecih pelan saat melihat dirinya mengangkat bibir hingga membentuk seulas senyum yang lebar. Dia pikir itu sapaan namun menurut gue itu kekacauan. Dia memutar tubuh dan berjalan mendekat ke arah gue.
Apa yang ada di dalam pikirannya, hingga dia mau datang ke rumah gue? Jauh-jauh, dari Jogja ke Lampung.--------
Jangan lupa tinggalkan komentar dan votenya, ya!
Happy reading di part selanjutnya!🤗