Rencana Pengajian

9.1K 862 54
                                    

"Bal, bal!" Sandi membangunkanku. Spontan aku langsung menarik napas panjang. "Kenapa, lu? Mengap-mengap kaya ikan gak ada aer?"

"Se-sak, San," balasku masih mengatur napas.

"Sesak kenapa? Mana itu badan kaya abis lari maraton. Banjir keringet. Basah dah kasur gua."

"Gua mimpi kejempet tembok, terus ada Riana juga."

"Astaga. Dikejer sampe ke alam mimpi juga. Niat banget dia."

"Nggak tau dah, San. Yang jelas sekarang gua haus."

"Tinggal minum. Tuh!" Sandi menunjuk galon air di sudut kamarnya.

"Ambilin dong san."

"Yeee, manja! Ambil sendiri!"

Aku pun bangkit, "Kamar lu panas banget sih kalau siang," ucapku sembari berjalan ke sudut kamar.

"Namanya juga kosan murah. Lagian napa nggak tidur di kosan lu aja. Ada AC plus kamar mandi dalem."

"Iya, tapi ada Riana!" Aku meneguk segelas air.

"Bagus ada yang nemenin pas malem-malem."

"Jangan ngomong gitu, San! Ntar gua suruh dia tidur di sini!"

"Eit, jangan dong."

Aku duduk di lantai, seraya mengambil ponsel di dalam tas selempang yang kubawa. Ternyata ponselku sudah mati, kehabisan beterai. "San, pinjem charger-an dong!"

"Nggak usah ngeledek! Kan lu tau sendiri HP gua bukan Aipun."

"Oh iya. Temen-temen kos lu ada yang punya, gak?"

"Coba lu tanya ke kamarnya satu-satu."

"Kan lu yang ngekos di sini."

"Ya, tapi gua gak merhatiin HP mereka, Iqbal! Dah, mending lu gua anter ke kosan."

"Makan siang dulu, San. Gua laper."

"Makan Sore kali, Bal. Tuh udah mau jam tiga."

"Ya terserah, pokoknya makan, yuk!" ajakku.

"Traktir?"

"Oke."

__________

Setelah makan di warteg langgananku, Sandi pun mengantarkanku pulang ke kosan. "Sampe sini aja, ya?" Ia menghentikan motornya tepat di depan gang.

"Sampe depan kosan, dong. Sekalian gua mau balikin baju lu, nih," sahutku.

"Lu cuci dulu! Laundry! Baru balikin."

"Nasib, punya temen kagak punya empati." Aku pun turun dari motor.

"Nasib punya temen nyusahin," sahut Sandi.

"Dah sono!"

"Ati-ati ada ... hiy." Sandi melajukan sepeda motornya.

Tentu itu yang daritadi kupikirkan. Riana. Semoga saja hari ini ia libur menerorku. Dari kejauhan, terlihat pintu kosan terbuka lebar. Bergegas aku melangkah masuk. Ternyata sudah ada banyak orang di ruang tamu. Salah satunya adalah Petra.

"Lagi pada ngapain?" tanyaku seraya menghampiri mereka.

"Diskusi, Bal," sahut Petra.

"Diskusi masalah apaan?"

Petra mengarahkan telunjuknya ke atas. Sudah pasti ini masalah Riana. Aku pun ikut berdiskusi dengan mereka.

"Rencananya kita mau manggil ustad plus undang warga buat pengajian. Ngedoain Riana, biar dia gak berkeliaran terus di kosan," ucap Amira, salah satu penghuni lantai atas.

"Emang lu diteror juga?" tanyaku.

"Iya, hampir semua penghuni sini diteror."

"Apalagi semalem Mbak Cici kecelakaan," sahut Daniar.

"Kecelakaan? Kapan?" Aku terkejut mendengarnya. Padahal semalam baru saja mengobrol dengannya.

"Semalem sekitar jam sembilanan, Mbak Cici lagi boncengan motor sama temennya di kampus. Terus tiba-tiba pas belokan deket Fakultas Manajemen, ada cewek nyebrang. Mirip banget sama Riana. Temen Mbak Cici kaget, terus banting stir ampe nabrak pohon," jelas Daniar.

"Ya Allah, baru semalem gua ngobrol berdua sama Mbak Cici. Tapi Mbak Cici gak kenapa-napa, kan?" sahutku.

"Nggak apa-apa, cuman ada luka dikit," balas Daniar.

"Lu ngobrolin apa sama Mbak Cici?" tanya Petra, penasaran.

"Si Entu," balasku sambil melirik ke atas.

"Kayanya dia tau diomongin, makanya langsung neror Mbak Cici."

"Gua juga semalem diteror, Pet. Dicegat di koridor kampus."

"Wah, semakin menjadi-jadi. Musti buru-buru diberesin."

"Iya, sebelum penghuni atas pindah semua," sahut Amira.

"Bapak kos udah tau?" tanyaku.

"Udah diizinin, sekarang tinggal kita patungan aja buat siapin makanan buat yang pengajian," balas Amira.

"Gua ngikut aja. Ntar kabarin, ya!" Aku berbalik badan.

"Mau ke mana lu, Bal?" tanya Petra.

"Balik kamar dulu. Belum mandi nih dari pagi." Aku berjalan menuju kamar.

Kunyalakan lampu kamar, sembari mengedarkan pandangan. Kamar masih terlihat rapih. Kemudian, berjalan ke kamar mandi.

Selesai mandi, aku duduk di meja belajar dan menyalakan laptop. Tak lama, Petra masuk ke dalam kamar. "Gimana, Pet?" tanyaku.

"Lu gak baca WA?" sahutnya.

"Astaga!" Aku baru ingat kalau ponselku masih kehabisan baterai.

"Kenapa?" tanya Petra saat melihatku berjalan ke kasur.

Kuambil ponsel di dalam tas selempang, "Handphone gua matek. Belum di-charge." Bergegas kusambungkan kabel charge pada ponselku. "Jadi iurannya berapa?"

"Pengajiannya kan tiga hari. Jadi iurannya 50 ribu."

"Oh oke. Bayar sekarang?"

"Boleh, ntar gua kasih ke Daniar."

Kubuka dompet, lalu menyerahkan uang pecahan 50.000 rupiah. Petra pun ke luar kamar. Sementara aku melanjutkan mengecek tugas laporan.

_________

Terlalu asik duduk di depan laptop, tak sadar kalau hari sudah gelap. "Pet, Petra," panggilku seraya berjalan ke kamarnya.

Krek!

Kubuka pintu kamarnya. Kosong. "Pet?" panggilku, lalu mengecek kamar mandi. Kosong juga. "Ke mana perginya?" batinku seraya ke luar kamar, lalu berjalan ke ruang tamu. Ternyata ia ada di sana duduk sendirian.

"Ngapain lu, Pet?" tanyaku seraya menghampirinya. Ia tak sedikitpun menoleh. Terus menatap ke arah televisi. "Woi! Ngapain lu liatin TV mati." Aku menepuk pundaknya.

Ia langsung menoleh dan memegang tanganku. "Ih apaan sih?" Aku berusaha melepaskannya. Namun, genggamannya begitu kuat.

"Pet! Sadar, oi!" Aku menduga kalau Petra sedang kesurupan. Ia menarik tanganku, mendekati wajahnya. Lalu menjilati punggung tanganku.

"Tolong!" Aku berteriak minta tolong.

Tak lama terdengar suara langkah mendekat. Aku menoleh, terlihat Petra dan Supri berdiri mematung, menatapku dengan wajah ketakutan.

"Loh?" Perlahan aku melirik ke belakang.

"Bal." Riana mendelik. Lidahnya yang menjulur itu terus mejilati punggung tanganku. Seketika itu, tubuhku lemas, lalu tak sadarkan diri.

Brug!

BERSAMBUNG

Riana - Lepaskan Tali di LeherkuWhere stories live. Discover now