Day 16

3K 332 2
                                    

HARI keenam belas, jadwal bulananku tiba. Ramadhan kali ini target hafalanku benar-benar di luar dari ekspektasiku. Kurasa hingga hari kedua puluh aku belum diperbolehkan menyentuh kembali hafalanku yang kurencanakan amat matang dari awal tahun ini.

Ingin menangis pun rasanya tidak berguna sama sekali. Ini sudah kodrat dari perempuan, jadi aku bisa mewajarkan mana kala seorang perempuan beralasan tidak mampu mengkhatamkan bacaan Al-Qur'annya selama bulan Ramadhan dengan metode 1 Day 1 Juz, karena memang jatah bersih seorang perempuan tidak bisa sempurna 30 hari. Kecuali, si perempuan tersebut mau berusaha mengejar juz yang terjeda selama datang bulan. Tapi bukan apa-apa ya. Aku hanya iseng teringat tentang goal hampir semua muslim di bulan Nuzulul Qur'an ini, jadi sedikit kubahas.

Assalamualaikum, Mbak Mir... beliiii ...” pekik seseorang bertudung sarung bali bercorak zebra di warung depan sana. Kuperhatikan dia sedari tadi celingukan mengelilingi halaman warung.

“Mana sih ini Mbak Mir. Udah tahu puasa, lemes nih lama-lama teriak mulu,” dumel dia sebelum aku juga tiba di sampingnya.

“Mbak Daya?” sahutku, lalu menengoklah dia.

Ck! Kak Habibah ternyata. Kirain Mbak Mirna,” decaknya.

“Emang Mbak Mirna ke mana, Mbak?”

“Nggak tahu! Capek banget aku teriak dari tadi, nggak keluar-keluar. Udah tahu kita puasa, lemes, laper, loyo, letih, semuanya! Pake nggak keluar-keluar. Kenapa nggak ditutup aja sih warungnya kalau nggak ada yang jualan?!!” demonya.

“Sabar, Mbak Daya. Lagi puasa loh,”

“Huft! Astaghfirullah,” Mbak Daya menarik napas sembari menyebut dalam-dalam.

“Mbak Mirnya mungkin lagi mandi atau tidur.  Kita ke toko depan komplek aja yuk, sekalian bareng. Aku juga mau stok pembalut, udah abis soalnya, hihi,” ajakku.

“Yang bener aja dong Kak? Masa ke depan. Ke sini aja aku udah nyaris mati jalannya. Lagi puasa loh aku, Kak Bibah mah nggak puasa. Nggak lemes!”

“Aku juga belum pernah makan minum sama sekali kok, Mbak. Jadi aku bisalah rasain lemesnya Mbak gimana. Berbagi kita, hihi,”

Mbak Daya lalu menatapku intens, sampai ujung matanya sengaja menyipit menyorotku di depan dia.

“Kakak halangan kan ya? Terus belum makan minum juga? Tapi kok Kakak ... malah baik-baik aja sih? Kak Bibah nggak lemes emang halangan sambil ikut puasa gitu, hah? Aku aja yang puasa beneran udah lemes minta ampun!” lenguhnya.

“Mbak Daya mau dikasih tips biar nggak ngerasa laper pas puasa nggak?” tawarku kemudian.

“Apa tuh?”

“Coba deh, Ramadhannya dimaknai sebagai bulannya Al-Quran, bukan justru sebagai bulan nggak makan. Insya Allah efeknya pasti bakal beda. Kalau kita berpikirnya Ramadhan cuman bulannya kita nggak bisa makan, nggak bisa minum, kita jadinya ngerasa berat ngejalaninnya! Tapi coba deh, kita berpikir ini adalah bulannya Al-Quran. Bulan mulia,”

“Mungkin ya kita belum sadar aja sih bahwa apa yang kita lakukan sekarang nih adalah usaha kita pengen jadi mulia juga. Bukankah Mekkah jadi mulia karena jadi tempat Al-Quran turun, Muhammad mulia karena beliau yang menerima Wahyu Al-Quran, Jibril jadi malaikat yang mulia karena dia yang menjadi perantara wahyu Al-Quran, bahkan Ramadhan mulia pun karena menjadi bulannya Al-Quran diturunkan. Iya kan?” terangku panjang lebar. Mbak Daya ikut terpaku mendengarkan.

“Jadi mulai sekarang, mau ya puasanya lebih ikhlas lagi? Biar nggak lemesan mulai sekarang,” lanjutku.

“Yaudah deh, doain aku makanya supaya bisa memaknai Ramadhan lebih baik lagi. Gini-gini pengen jadi mulia juga kali!”

Masya Allah, gitu dong!” pujiku.

“Kakak mau ke toko depan nggak? Aku udah semangat ini, nggak lemes lagi! Kalau perlu kita keliling komplek dulu deh baru keluar! Mau nggak?” tawarnya menegapkan badan bak siap tempur menghadapi lawan terganasnya.

“Ya jangan keliling komplek juga sih Mbak Daya, ini masih hari pertamaku soalnya, entar aku yang lemes lagi keliling-keliling, haha,”

“Yaudah kita langsung ke depan aja kalau gitu. MBAK MIR, PAMIT DULU YA! TOKONYA JANGAN LUPA DITUTUP!!!” pekiknya sebelum menarikku pergi.

Mbak Daya, Mbak Daya, hahah!

Iya, yang tadi itu namanya Mbak Daya. Teman kelas si Salma yang katanya hiperaktif abis di kelasnya. Dia dipanggilnya memang pake embel-embel ‘Mbak’ karena Ayah dan Bang Dayat—kakak lelakinya—memanggil dia seperti itu juga. Katanya dia anak perempuan satu-satunya dalam keluarga makanya dipanggil ‘Mbak’. Dan, sudah menjadi kebiasaan penghuni komplek bahwa kami akan memanggil dengan panggilan dalam keluarga. Supaya rasa kekeluargaannya semakin berasa, hihi. Seperti Abi Barak, Abah Abdullah, Umi Hilda. Tidak ada yang memanggilnya dengan panggilan Om Barak atau Tante Hilda.

Sepulang dari toko depan komplek, aku dan Mbak Daya kini berpisah di depan rumah Salma. Ya, karena rumah mereka kebetulan berhadapan saja, jadi berpisahnya di sini.

“Mampir dulu yuk, Kak ...” ajaknya sebelum masuk.

“Iya, makasih. Salam sama Ayah sama Bang Dayat aja,”

Ck! Lain kali titip salam sendiri atuh, biar Bang Dayat seneng, hihi,” Dia bermain alis menggombal, “Yaudah, Kak, cepetan pulang, jangan lupa inget pesennya Om Tulus. Hati-hati di jalan. Heyaaa,”

Assalamualaikum.”

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh,” jawab Daya lengkap.

“Kak Bibaaaah ...”

Belum sempat mengambil langkah jauh, lengkingan suara berteriak seseorang di balik pagar rumah Abi Barak kembali menahanku lagi. Kulihat ada Salma dan kakaknya sedang bermain badminton di sana.

“Habis dari mana, Kak?” pekiknya lagi.

Hanya kutunjukkan kresek bening berisi pembalut, aku tidak mungkin berteriak memberi tahu Salma mengingat ada Kak Fathar di sana, kalau ditunjukkan saja laki-laki itu mana mengerti kan, hihi.

“Yah, baru ngejer hafalan, udah kedatangan tamu aja. Kak Bibah, Kak Bibah ...”

“Iya nih, tamu spesialnya meresahkan target hafalan banget, Sal, haha,”

“Yah, berarti! nggak bisa ketemu Kak Bibah di masjid lagi dong?!” decitnya menunjuk muka cemberutnya.

“Tuh masih ada Mbak Daya yang bisa diajakin, Sal” usulku yang cepat-cepat dibantah keras Salma, lehernya sampai tegang begitu menggeleng-gelengnya.

“Makasih, Kak. Aku mending sama Kak Fathar aja. Bisa nggak taraweh aku deket dia gibahin jamaah mulu,”

Tunggu. Dia bukannya suka mengibahi jamaah juga ya?!

Ahahaha, Salma ... Salma.

“Yaudah, kalau gitu aku duluan ya, Sal. Assalamualaikum,”

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Salam sama Umah!!!” pekiknya membiarkanku pulang.

Sudah cukup untuk hari ini, kalau sedang datang bulan bawaannya badanku suka pegal-pegal seperti habis kerja bangunan. Padahal hanya berjalan sedikit dari depan sana kok. Huhu.

***
To be continued

Huwaaa, mulai nge-blank bestie :v

Semoga chapter ini bermanfaat daaan semoga bisa nyenengin salah satu secret reader-ku yang kemarin baru banget ngaku lagi baca Ramadhan Tale sekaligus request nama biar ada di salah satu scene, hehehe.

Lunas ya, wkwk.

[Don't forget to read Quran today]

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang