10. Bohong

2 0 0
                                    

Sayup-sayup, Kanaya membuka matanya saat mendengar ponselnya sedari tadi berdering. Wanita itu meraih ponselnya di atas laci meja.

Nomor tidak dikenal. Kanaya mendesis pelan. Mungkin orang salah sambung, batinnya. Ia lalu meletakkan kembali ponselnya dan menjatuhkan kepalanya di atas bantal.

Tak sampai dua detik ia tidur, panggilan lainnya masuk. Mood Kanaya seketika berubah. Padahal ini weekend, dan rencananya ia ingin menghabiskan waktunya hanya di atas tempat tidur saja.

Panggilan dari nomor yang sama. Kali ini Kanaya tak menghiraukannya. Ia memutuskan untuk mengangkat telepon meskipun sangat malas sebenarnya.

"Halo?" lirih wanita itu.

"Ini gue, Kafarel. Gue sekarang ada di depan rumah lo. Lo bisa turun? Gue tahu lo ada di rumah."

Deg. Mata Kanaya langsung terbuka lebar. Jadi sedari tadi Kafarel meneleponnya? Dan sejak kapan laki-laki itu tahu nomor ponselnya?

"Nay?"

Kanaya mengacak sebagian rambutnya frustasi. "Bentar lagi gue turun." Sambungan dimatikan. Dengan enggan, Kanaya turun dari atas kasur menuju jendela. Ia membuka sedikit tirainya dan mendapati mobil Kafarel berhenti di depan rumah. Sial.

***

Kafarel menurunkan kaca mobilnya begitu melihat Kanaya berdiri di sana. "Masuk."

Wanita itu menurut. Ia menarik gagang pintu mobil lalu masuk ke dalam.

"Lo mau ngomong apa?"

Kafarel tak langsung menjawab. Ia juga bingung ingin menjelaskan mulai dari mana.

"Sebenarnya, ini permintaan bokap gue. Dia mau lo bantu dia buat milihin cincin pernikahan buat Mama lo nanti," ucap Kafarel berterus terang.

Kanaya hanya bisa melongo mendengar ucapan Kafarel. "Udah sampai tahap ke situ? Jadi mereka udah siapin tanggalnya?"

"Seharusnya sih, iya. Cuma mereka belum bilang ke kita. Bokap gue dan Mama lo bahkan sepertinya udah persiapkan wedding dress untuk pestanya nanti."

Kanaya sudah tak bisa berkata-kata lagi. "Lo ngga punya ide buat gagalin rencana mereka?"

"Gue punya beberapa ide di pikiran gue, tapi gue ngga yakin itu semua bisa berhasil sama mereka."

"Kita coba aja dulu. Ngga ada salahnya, kan?" Kanaya berusaha meyakinkan laki-laki itu.

"Oke."

***

Kafarel menghentikan mobilnya di sebuah toko perhiasan yang sudah dipilih sebelumnya oleh Ardha. Sepanjang perjalanan, tak ada satupun dari mereka berbicara. Pembicaraan keduanya sudah terhenti begitu Kanaya mendengar ide yang sudah dipikirkan oleh Kafarel.

"Di sini," ucap Kafarel secara tak langsung meminta Kanaya untuk turun. Wanita itu memandang dari luar jendela kemudian turun dari mobil Kafarel.

"Kanaya, kamu sudah datang."

Kanaya tak menyangka bahwa Ardha sudah ada di tempat itu terlebih dahulu. Pria itu mendekatinya. "Kamu ngga keberatan kan, bantu Om?"

"Nggak kok Om," kata Kanaya salah tingkah.

Keduanya lalu masuk ke dalam toko tersebut. Sementara Kafarel diam-diam terus memperhatikan keduanya. Apakah ia bisa membayangkan jika nantinya Kanaya benar-benar akan menjadi adik tirinya?

"Gimana menurut Kanaya?" tanya Om Ardha. Pria itu menunjukkan sebuah cincin berlian yang sangat cantik. Jujur saja, Kanaya sebenarnya sangat kagum dengan selera Om Ardha. Tapi seketika itu juga ia sadar akan rencananya dengan Kafarel sebelumnya.

'Lo pasti lebih kenal Mama lo daripada bokap gue. Sekali lo bohong tentang selera Mama lo, Papa gue ngga akan curiga,' ucap Kafarel dalam pembicaraan keduanya di dalam mobil.

Artinya, Kanaya mau tidak mau harus menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang Mamanya.

"Kayaknya itu ngga cocok sama Mama deh, Om," bohong Kanaya.

"Oh, ya?" Om Ardha tampak sedikit ragu.

Pria itu memandang beberapa cincin lainnya. "Mbak, boleh lihat cincin yang di sana?" Ardha menunjuk salah satu cincin yang menarik perhatiannya.

Pelayan itu lalu memberikan cincin yang dimaksud oleh Ardha. "Cincin yang ini keluaran terbaru, Pak. Modelnya juga tinggal satu. Hanya saja harganya cukup mahal."

"Kalau masalah harga, saya tidak khawatir. Masalahnya calon istri saya suka atau tidak saya belum tahu." Ardha menoleh ke arah Kanaya sekali lagi. "Kalau ini, Mama kamu pasti suka kan, Nay?"

Untuk kedua kalinya Kanaya merasa takjub. Apalagi mendengar ucapan Om Ardha yang tak memedulikan tentang harga membuatnya merasa terenyuh. Om Ardha orang yang baik. Akan lebih baik jika pria itu benar-benar yang akan menggantikan posisi almarhum Papanya. Namun, kenapa ia harus ayah dari Kafarel?

"Nay?" Ardha menyadarkan Kanaya dari lamunan.

"Iya, Om?"

Om Ardha tersenyum. "Om tanya, cincin ini sesuai dan selera Mama kamu atau enggak?"

Kanaya berpikir sejenak. "Selera Mama itu sedikit aneh, Om. Mama nggak suka sesuatu yang sangat feminim. Jadi menurut Kanaya, Mama ngga bakalan suka deh ...," Wanita itu mengalihkan pandangannya ke beberapa perhiasan lainnya. Pandangannya tertarik pada sebuah cincin dengan permata yang sangat besar di tengahnya.

"Ini, mbak. Minta tolong ambilkan ya," ujar Kanaya sembari tersenyum pada pelayan.

"Kamu yakin Mama kamu suka ini?" tanya Om Ardha setelah melihat pilihan Kanaya.

"Mama suka yang seperti ini, Om." Kanaya tak tahu apakah ucapannya cukup meyakinkan atau tidak.

"Om sih, terserah kamu. Tapi omong-omong selera Mama kamu cukup aneh ya." Om Ardha tertawa.

Kanaya tersenyum canggung.

"Tapi, Nay, Om ngga tahu ukuran jari Mama kamu. Kamu tahu, ngga?" Tanya Om Ardha lagi.

"Kayaknya satu ukuran sama jari aku deh, Om." Kanaya memperlihatkan jari jemarinya.

"Kayaknya terlalu kecil deh, Nay. Tangan kamu itu kecil loh," ucap Om Ardha tak yakin.

Kanaya terdiam beberapa saat. Dan beberapa saat setelah itu, terlihat Kafarel masuk ke dalam toko itu. "Papa percaya aja, deh sama Kanaya. Kafarel yakin kok Kanaya lebih tahu tentang Mamanya."

Kanaya menghela napas lega. Awalnya ia sempat takut bahwa ucapannya tak cukup untuk meyakinkan pria itu. Namun kedatangan Kafarel sangat membantunya.

Ardha mengangguk-angguk. Pria itu kemudian tersenyum ke arah Kanaya. "Om, nurut aja sama kamu ya, Nay."

Kanaya tersenyum samar-samar. Wanita itu kemudian meminta agar pelayan memberikan cincin dengan model sebelumnya yang satu ukuran dengan jarinya.

"Makasih ya, Nay. Kamu mau luangin waktu kamu buat bantu, Om. Om sampai ngga enak udah buang-buang waktu kamu." Adha memandang Kanaya tak enak hati.

"Ngga papa kok, Om. Santai aja. Kanaya ngga berpikir kalau Om Ardha ngerepotin Kanaya kok. Malah Kanaya senang bisa bantu, Om."

Ardha beralih menatap Kafarel yang berdiri di sampingnya. "Kamu antar Kanaya pulang, ya."

"Ngga sekalian bareng aja, Pa?" tanya Kafarel bingung.

Ardha menggeleng pelan. "Ngga perlu. Papa ke sini kan juga bawa mobil sendiri. Sekalian Papa masih ada urusan."

Kafarel menghela napas. "Ya udah, terserah Papa. Papa hati-hati, ya."

Ardha menepuk pelan bahu Kafarel pelan. "Kamu juga. Jangan ngebut. Kalau begitu Papa duluan. Jagain Kanaya, ya."

Kanaya menundukkan kepalanya sopan begitu Om Ardha melangkah pergi.

"Lo ngga papa?" tanya Kafarel saat melihat wajah Kanaya yang sedikit lelah.

"Nggak papa, kok. Gue cuma ngga enak aja udah bohong sama Papa lo," akunya jujur.

Kafarel menghela napas. "Gue juga."

***

I Love My Stupid Stepbrother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang