[ ⋆ ]
Dervy menajamkan penglihatannya saat murid-murid sudah keluar dari area sekolah. Ia tersenyum lebar saat melihat Egy yang tengah berjalan ke arahnya.
Dervy, Egy, dan juga Lui akan pergi ke wahana bermain setelah Egy pulang sekolah, maka itu Dervy mengajukan diri untuk menjemput Egy. Keduanya masuk ke mobil dan mulai membelah padatnya jalan raya.
Siang ini, wajah Egy terlihat tak secerah biasanya. Anak itu juga tak banyak bicara seperti biasanya. Dervy tentu heran dengan hal itu. Lantas, ia bertanya, "Gimana di sekolah?"
"Biasa aja," balas Egy seadanya.
"Beneran? Nggak ada yang mau diceritain, gitu?"
Egy menghela napas. Pasti Dervy sengaja bertanya seperti itu. Egy menoleh ke arah Dervy yang masih fokus menyetir, lalu akhirnya berujar, "Temen-temenku nyebelin."
"Oh, ya? Nyebelin kenapa?"
"Ngajak berantem."
"Terus? Beneran berantem?"
Egy menggeleng. "Hampir."
"Syukurlah." Dervy menghela napas lega. "Jangan berantem sama temen, ya. Apalagi sampai pukul-pukulan. Emang awalnya kenapa?"
"Dia duluan, Mas. Masa dia ngatain aku."
"Ngatain apa?"
Egy beralih menatap ke jendela, mengingat kembali kejadian di kelas tadi. "Katanya aku penyakitan gara-gara nggak diurus Ayah sama Ibu."
Dervy tertegun mendengarnya. Ia tahu, pasti sulit menjadi Egy, dengan kondisi tubuh lemah di antara teman-temannya yang sehat.
"Orang-orang kenapa jahat banget, ya, Mas?"
"Jangan dendam, ya. Biarin aja, jangan didengerin. Anggap aja dia nggak bilang apa-apa. Jangan dipikirin, oke?"
Dari samping, Dervy melihat Egy yang mengangguk. Semoga saja suasana hati Egy cepat membaik. Karena Dervy tak biasa melihat Egy yang hanya diam seperti itu.
Kalau Egy masih diam sampai ke wahana bermain, mungkin akan terasa sangat canggung. Biasanya Egy yang akan membuka obrolan. Kalau Egy diam, lantas Dervy harus bagaimana?
Setelah sampai di rumahnya, Egy segera memanggil sang kakak dan berganti baju. Lui keluar dan menyuruh Dervy untuk makan siang terlebih dahulu bersama ia dan Egy.
Dervy duduk di hadapan Lui, sedangkan Egy ada di sampingnya, dengan seragam yang sudah diganti. Makan siang kali ini ditemani lauk udang asam manis buatan Lui.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Dervy pada Egy dan Lui.
Egy mengangguk. "Boleh. Aku udah siap."
"Ya udah, aku nyiapin mobil dulu, ya," ujar Dervy, lalu ia keluar.
Lui mengambil tasnya di kamar, lalu mengajak Egy ikut keluar dan mengunci pintu rumah. Mereka bertiga pun berangkat menuju wahana bermain. Sepanjang perjalanan, Egy tertidur. Dervy bilang perjalanannya cukup jauh, maka itu Egy memilij menghabiskan waktu perjalanannya untuk tidur.
Mereka sampai di tempat tujuan satu jam kemudian. Lui membangunkan Egy yang terlelap, lalu ketiganya masuk ke wahana bermain setelah Dervy membeli tiket.
"Wah!" seru Egy saat melihat bianglala besar yang ingin dinaikinya sejak lama. "Ayo naik itu!"
Ketiganya pun segera mengantre untuk naik bianglala. Bianglala bewarna putih ini sangat besar, dan pergerakannya pun lambat. Untuk satu putarannya menghabiskan waktu kurang lebih satu jam.
Sampai pada giliran mereka, Egy duduk bersama Dervy, sedangkan Lui di hadapannya. Selama naik, Egy terus-terusan melihat pemandangan yang semakin tinggi akan terlihat semakin indah. Lui mengambil beberapa foto dari atas bianglala.
Tak seperti Egy ataupun Lui, Dervy malah melamun sejak duduk di bangkunya. Ia langsung teringat dengan kejadian beberapa tahun silam, saat Neon meminta Dervy untuk menemaninya naik bianglala.
Lui menyadari raut wajah Dervy yang semakin lama semakin sendu. Namun, ia hanya diam. Ia tak ingin membuat Egy turut memperhatikan Dervy yang saat ini entah kenapa. Lui ingin Egy fokus dengan bianglala yang sedang dinaikinya. Soal Dervy, ia Isa menanyakannya nanti.
"Bagus banget, ya?" Egy bersuara.
Lui melihat Dervy mengusap matanya sebelum menoleh pada Egy. Lui tak salah lihat, Dervy memang menangis. Namun, kini ia berbincang dengan Egy seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Sampai ketiganya turun dari bianglala, Lui masih terus memperhatikan cowok tinggi itu.
"Kak, mau beli itu," kata Egy sambil menunjuk sebuah penjual makanan.
Lui pun memberikan Egy sejumlah uang. "Kakak sama Mas Dervy tunggu di sana, ya," ujar Lui sambil menunjuk sebuah kursi kayu panjang.
Setelah Egy mengangguk, Lui pun mengajak Dervy duduk di kursi yang ia tunjuk tadi. Lui menatap Dervy yang tatapannya seolah kosong. Lui tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Dervy sehingga ia banyak melamun akhir-akhir ini.
"Mas Dervy," panggil Lui.
"Iya?"
"Di bianglala tadi, kamu nangis, ya?"
Dervy menoleh pada Lui yang tengah menatapnya dengan serius. Ia pikir, baik Lui maupun Egy sama-sama sibuk menikmati keindahan pemandangan dari atas bianglala. Ternyata, Lui memperhatikannya, ya?
"Kamu lihat, ya?"
Lui mengangguk pelan. "Maaf, ya, Mas, kalau lancang nanya-nanya begini. Tapi aku khawatir," kata Lui. "Kamu tiba-tiba nangis begitu. Kalau ada yang mau diceritain bisa ke aku atau Egy, ya. Jangan dipendam sendiri. Egy aja apa-apa cerita ke kamu, masa kamu malah mendam masalah sendiri?"
Dervy tersenyum tulus. "Makasih, ya, Lui. Ternyata kamu merhatiin aku, ya?"
Mendengarnya, Lui langsung kelabakan. "Nggak juga, Mas! Aku tuh nggak sengaja lagi ngeliat ke arah kamu gitu, loh. Terus kamu lagi ngusap mata."
Dervy tertawa melihat wajah Lui yang memerah. Ah, suasana hatinya membaik. Walau masih terpikirkan akan Neon, setidaknya kini Dervy merasa lebih baik dari sebelumnya.
Tak lama, Egy datang membawa jajanannya. Sambil makan, ia bertanya, "Aku boleh naik wahana yang lain, nggak?"
Lui menatap wahana di sekelilingnya, lalu menggeleng. "Semuanya nggak baik buat pemulihan kamu. Emang kamu mau masuk rumah sakit lagi?"
Egy menggeleng cepat. "Nggak mau. Tapi kalau biar ketemu Mas Dervy, nggak apa-apa."
"Hush!" sahut Lui cepat. "Jangan ngomong begitu. Mintanya sehat aja terus."
Dervy tertawa, tetapi ikut mengangguk. "Kalau ketemu aku, kan, bisa kapan aja. Nggak harus di rumah sakit. Buktinya, sekarang bisa, kan, ketemu dan ngobrol sama aku?"
Egy terkekeh. "Iya, sih. Mas Dervy, kan, sekarang jadi kakak aku. Gantiin Kak Lui."
Lui memelototi sang adik. "Bener, ya? Kakak pergi lagi, nih. Nanti nggak ada yang masakin kamu, yang antar jemput kamu, yang nyetrikain seragam kamu, yang--"
"Iya, iya! Kak Lui kakak aku sampai kapan pun!" seru Egy sambil memeluk Lui.
Dervy tersenyum melihatnya. Interaksi Lui dan Egy selalu membuatnya merasa iri. Benci tapi sayang, itulah kalimat yang mencerminkan hubungan keduanya. Lui memang suka marah-marah, tapi itu caranya menunjukkan kasih sayangnya pada sang adik. Bukan seperti Dervy, yang marah-marah pada adiknya yang masih kecil karena rasa benci yang sudah mengakar sejak lama.
Dervy tersenyum pahit saat kembali mengingat tahun-tahun paling kelam dalam hidupnya. Namun, ia tetap bersyukur karena Tuhan masih mau membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik di masa sekarang.
[ ⋆ ]
20422
KAMU SEDANG MEMBACA
Stern ✔
RomanceDi hari kelulusannya, Lui mengenalkan kekasihnya, Sean kepada sang ayah. Namun, respons ayahnya tidak seperti yang Lui harapkan. Hubungannya dengan Sean yang sudah berjalan hampir satu tahun, kini berada di ujung tanduk. Sean yang tidak menunjukkan...