12. Sang Pengantin 2

373 32 0
                                    

Vote sebelum baca n happy reading!

~•~

Tembok kuning ruang tamu, tembok yang baru saja dicat ulang berlumuran noda merah. Baunya amis. Mengalirlah cairan kental itu dari atas sampai membasahi ubin. Tulisan itu kini dapat terbaca jelas. Mereka, sosok yang harus ditolong. Sosok itu meminta bantuan yang tak jelas. Siapa yang harus dipenjarakan?

Noor dan Tima saling tatap. Nanar menyelimuti otaknya. Guncangan hebat sekaligus mendenyutkan jantung kedua gadis itu. Mata Tima mendelik. Buliran air keluar dari setiap porinya. Tak henti ia mengusap tengkuk dan dahinya yang kini basah.

Tima menarik napas panjang. "Noor, teror mulai datang!"

"Apa kau tahu siapa yang meneror kita?" tanya Noor, kemudian merekatkan jarinya ke jari-jari sahabatnya.

Tima meneguk saliva. "Aku tak sepenuhnya tahu. Warga desa hanya bilang ... desa ini hanya punya 2 peneror utama. Sosok itu adalah andong pocong dan sosok hantu pengantin. Apakah ini hantu jenis yang berbeda? Bagaimana jika aku menghubungi Adam saja hari ini?"

"Kau tak perlu membuang waktu hanya karena pria itu! Kita bisa hadapi bersama." Noor menatap tajam wajah Tima.

Wajah Noor merekah, mengingat sesuatu. "Selendang putih itu?"

Mata Tima berpi-api. "Itu sudah cukup jelas!"

"Kau benar Tima, selendang ini miliknya. Dia sosok pengantin itu. Mengapa dia datang dan meneror kita malam ini? Apa sosok ini tahu tujuanku datang ke mari?" pikir Noor.

"Ketika kita berbicara seperti ini, aku pernah ingat Paman Sam pernah bercerita. Ia menceritakan bahwa sosok yang meneror kita—apalagi ketika meminta pertologan—tandanya sosok itu tahu bahwa ada sang penyelamat yang akan menolongnya kelak. Istilahnya sosok itu berharap agar kita mengungkap peristiwa yang membuatnya meninggal dan asal usulnya. Mengapa ia bisa meninggal dan bagaimana ia meninggal? Ditambah lagi, dengan cara yang tak wajar sehingga arwahnya penasaran sampai saat ini," jelas panjang lebar Tima.

Wajah Noor merekah. "Aku sudah menduganya. Pamanmu berkata benar! Kasihan mereka di sana yang tak bisa tenang sampai sekarang. Mereka—arwah yang penasaran itu—hanya ingin kita membantunya agar jalan mereka semakin lebar."

"Ya. Bu Siti pernah mengajariku bersikap saling tolong menolong kepada sesama manusia. Mengapa tidak dengan arwah ini? Selagi kita bisa membantu, tak ada yang mustahil," balas Tima di sambung senyum merekah.

Semilir angin mengibas rambut mereka berdua. Entah kenapa yang satu ini terasa mendamaikan, menghangatkan tubuh, dan menentramkan jiwa. Hati Noor dan Tima merasa plong karena ini. 

Sekilas sosok berbaju kebaya putih lewat. Mata Tima mendelik. Begitu juga Noor. Bagaimana bisa Tima melihat sosok itu sedangkan tak ada pengliatan istimewa yang selama ini Tima pernah rasakan. Wajar saja jika Noor yang melihat hal ganjil itu karena dari awal, Noor memang terlahir dengan keistimewaan.

Sosok itu berdiri di depan tembok besar bercap darah segar yang hampir mengering. Menyeringai ke arah Tima dan Noor. Entahlah wajahnya yang pecah itu berisyarat baik. Seakan senyuman yang ditujukan itu adalah senyuman terima kasih. Dari sana sudah terlihat mengapa wajah hantu itu bersinar.

Baru kali ini Noor merasakan energi positif. Sepanjang hidupnya, Noor selalu menemukan energi negatif pada setiap hantu yang pernah ditolongnya. Bahkan setelah ditolong pun, energinya tetap negatif.

Berbeda dengan sosok pengantin kali ini. Air mata yang tampak dari kedua bola mata hantu itu, benar-benar sebuah isyarat yang tulus. Seperti pernah merasakan sakit di masa lalu.

Lambaian selendang putih tertuju ke arah Noor dan Tima. Perlahan hantu itu menyamarkan tubuhnya. Semakin tak terlihat. Sampai akhirnya ia hilang dan memberi bekas senyuman indah di tengah wajahnya yang penuh nanah.

Darah-darah di tembok tadi mengering. Anehnya malah hilang tanpa dibersihkan atau dicat ulang. Bukankah ini aneh?

"Wanita itu mengucap terima kasih sebelum ia pergi." Noor menatap wajah Tima. Matanya berkaca. Bulir air mata menetes satu demi satu. Noor merasa terenyuh karena ini. 

Tima mengusap air mata Noor perlahan. "Kita harus membantunya!"

Noor mengangguk yakin.

Noor memecah tangisnya. Tima yang melihat temannya bersedih ikut menatap sahabatnya dengan mata sayu. Noor hanya membayangkan siksaan apa yang didapati hantu-hantu itu sehingga mereka meninggal dunia dengan cara tak wajar. 

"Sekarang kita harus berpikir, bagaimana kita bisa tahu penyebab tante pengantin meninggal dunia," seru Noor.

Tima terkekeh sambil mengusap ingusnya. "WOI LAH, BARU AJA SEDIH UDAH NGAKAK. ENGGAK USAH PANGGIL TANTE PENGANTIN JUGA NAPA?!"

Noor menggelengkan kepalanya. Mungkin mencoba bersikap dewasa.

"WOI GELENG-GELENG MULU. DAH CAPEK!" omel Tima.

Noor menarik napas panjang. "Tima, tolong serius!"

"KAN DIRIMU YANG BERCANDA!" cecar Tima.

Well, tak ada debat yang berlangsung singkat. Butuh waktu dua jam untuk berdebat dengan Tima. Rasanya itu tidak penting. Malam ini Tima pulang ke rumahnya. Merapatkan selimut. Karena jujur, malam ini adalah malam yang dingin dan malam yang terasa melelahkan.

Malam ini malam berselimut kabut. Bertebaran bintang-bintang. Berkelip memamerkan cahayanya yang lembut. Berteman suara jangkrik. Berkicau burung-burung malam—mencoba mencari jalan pulang—jalan untuk kembali.

"Makam siapa ini?" Noor merapatkan pandangannya ke arah kedua makam itu.

Selamat datang di sudut pandangku—Noor. Apakah di sini ada makam yang tak pernah kutahu? Da-dan rumah siapa ini? Tampak tak asing bagiku. Pagar coklat yang masih baru. Kolam ikan yang memancurkan airnya. Rerumputan yang menegakkan dedaunan. Pintu itu? Di baliknya ada sapu lidi.

Wanita itu tak tampak jelas di mataku. Sepertinya tak asing. Wajahnya tertutup kabut. Tak terlihat dari sini. Berusaha kujamah, tapi sepertinya tak terjangkau. Aku masih belum bisa berjalan di sini. Di pintu itu. Perempuan berpakaian panjang.

Wanita itu masih terpaku. Masih belum tampak jelas. Yang kutahu hanyalah bentuk badannya. Gemuk. Rambutnya agak keriting ya, mungkin? Tak tampak jelas. Wajahnya seperti hantu tanpa muka alias datar. Ya, seram tapi tak seram. Tak ada wajah sama sekali! Tampak seperti ibu-ibu yang sudah lumayan tua.

Di balik pagar. Ya, mataku tak salah. Pekikan itu. Suara tapak kaki itu. Pernah kukenal. Mereka seperti ... ya seperti kuda. Ternyata suara kuda yang kudengar tadi tak salah. Kuda itu terikat di balik pagar. Warna hitam. Warna yang gelap. Agak seram. Matanya merah. Punya gelang kaki. Bunyinya 'krincing .... krincing ....'

Tepat di sebelahnya lagi. Ya, itu sebuah andong. Kuda itu mungkin dikhususkan untuk menghibur orang. Membawanya berkeliling desa dan melakukan arak-arakan. Itu persis seperti urband legend di desa ini. Bukankah, andong pocong? Tidak-tidak.

Itu tidak seperti kuda berhantu. Kuda itu tampak bertuan.  Mungkin karena kebersihannya terjaga? Ya, sekarang aku tak peduli dengan semua itu. Sekarang ... mengapa aku ada di sini? Alam yang nyata? Atau ilusi? Asaga Noor, sadar Noor! Kamu  ada di depan makam siapa sekarang? Tempat siapa? Herry? Lila?

Ya, aku menemukan nama itu di nisan mereka. Siapa Herry? Siapa Lila? Apa hubungannya denganku? Rumah ini? Wanita tadi?

~*~

Halo Thor kembali upp!
Vote, share, dan komen ya!

Sidoarjo, 27 Mei 2023

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang