Beberapa blok dari rumah Agni, empat orang pria berkumpul di atap gedung. Mereka memakai setelan serba hitam, mulai dari jas hingga kemeja. Memakai perangkat penyuara pada telinga dan membawa senjata api genggam. Satu orang di antara mereka berbicara dengan sang tuan melalui telepon seluler.
"Sekarang kami berada di area target. Kami sedang memantau keadaan."
"Bunuh mereka. Ah ..., tidak, jangan dulu. Aku ingin kalian menakuti mereka lebih dulu."
"Kami mengerti, Yang Mulia." Orang itu kemudian kembali menghadap teman-temannya. "Baginda ingin kita meneror mereka."
"Kita tembak mereka?"
"Tidak. Itu akan membuat mereka waspada. Bagaimana dengan rekan kita yang lain?"
"Mereka ada di bawah." Sosok itu memberi gestur ke bawah dengan kepalanya. Dua orang dengan hoodie hitam tampak berkeliaran di komplek perumahan.
"Biar mereka yang mengurus teror. Tim dua, monitor." Melalui alat komunikasi yang terpasang di pergelangan tangan, pemimpin tim memberikan perintah.
Dona sedang tertawa, begitu puas karena berhasil mencoret wajah Jovan yang kalah permainan untuk kesekian kalinya. Sedangkan Agni berada di belakang Dona sebagai provokator sembari memakan potongan kuenya. Yang lainnya? Mereka berada di sisi lain, juga sibuk menertawakan Jovan.
"Ah, Paman Jo sangat pay–AHH!"
Jeritan nyaring Dona terdengar sesaat setelah bunyi pecahan kaca yang begitu keras. Semua orang terkesiap. Agni membungkuk melindungi kepalanya yang hanya berjarak dua meter dari jendela yang baru saja pecah.
Kaca bening itu berserakan di lantai. Ada sebuah batu besar, sebesar bola kasti tergeletak di dekat kaki Agni. Batu itu yang menghancurkan kaca jendela dan untungnya tidak terlempar mengenai tubuh Agni.
"Agni, menjauh dari jendela!" pinta Kakek Abram.
Sang dara segera menyingkir, tidak lupa menarik sahabatnya menuju jarak aman.
Jovan bergegas mendekati jendela. Kepalanya menyembul keluar di antara puing-puing kaca yang masih menempel pada kayu kusen. Sejauh pengamatannya, tidak ada siapa pun yang terlihat.
"Tidak ada siapa pun di luar."
Kakek Abram mengangguk menanggapi Jovan. Kemudian, menoleh untuk melihat kedua cucunya.
"Tidak perlu khawatir. Mungkin ini perbuatan remaja nakal," ujarnya. "Dona. Kau akan menginap malam ini, 'kan?"
Dona mengangguk. "Iya, kakek."
"Baguslah. Kalian bisa pergi ke kamar sekarang."
PRAAANG!
Dona kembali menjerit menyahut suara pecahan kaca dari arah belakang rumah, Agni dan nenek mendekapnya dengan erat. Jerry segera berlari menuju lokasi, namun sama halnya dengan Jovan, ia tidak menemukan siapa pun.
"Di sini juga tidak ada!" Jerry berseru dari kejauhan.
"Tidak apa-apa. Jangan takut." Agni berbisik menenangkan sang sahabat.
"Kalian tidurlah. Jangan khawatir, kami yang akan mengurusnya," ucap Kakek Abram dengan senyuman lembut. "Selamat malam, anak-anak."
"Selamat malam, Nonno."
"Nenek akan menemani kalian di atas."
Nenek membawa Agni dan Dona ke kamar yang berada di lantai dua. Nenek tidak meninggalkan mereka sampai keduanya tidur. Sementara di bawah, Jerry dan Kakek Abram membersihkan pecahan kaca. Jovan berada di luar rumah, mengawasi keadaan. Mereka tidak bisa memastikan pelaku, karena komplek tempat tinggal ini tidak terpasang CCTV di jalanan.
Waktu berlalu dengan cepat, jam dinding bulat di ruang tamu sudah menunjuk angka 12 tepat. Kakek Abram menyuruh Jovan dan Jerry pulang beristirahat, lalu beranjak menyelimuti sang istri yang tertidur di sofa.
Jika diminta menggendong nenek ke kamar, tentu kakek masih kuat. Tubuh gagahnya masih bugar karena sering berolahraga. Hanya saja, nenek adalah tipe light sleeper yang akan terbangun hanya dengan sedikit gangguan. Kakek tidak ingin mengganggu sang istri.
Kejadian barusan tidak terlalu mengejutkan bagi Kakek Abram. Berprasangka buruk memang salah, tetapi ia tidak bisa berpikir bahwa Kalingga bukan dalang dibaliknya. Ia sudah menduga pria licik itu mulai bertindak. Meski begitu, ia tetap tidak bisa tidur tenang malam ini. Pada akhirnya memutuskan untuk melihat kedua cucunya yang berada di lantai atas.
Dahi kakek berkerut saat melihat pintu kamar Agni yang terbuka sedikit. Saat mengintip ke dalam, gadis itu tidak ada di sana. Hanya ada Dona yang meringkuk di dalam selimut. Ia tidak perlu menebak untuk tahu dimana gadisnya berada. Jika kesulitan tidur, Agni akan duduk di balkon, melihat bintang. Dan, ya, di sanalah ia sekarang.
"Tidak bisa tidur?"
Agni berjingkat mendengar suara kakek. Ia menoleh dengan senyuman kecil melengkung di bibir tipisnya. "Nonno .... Ya, tidak bisa tidur."
Kakek Abram duduk di samping Agni. Menepuk punggung sang cucu dengan lembut. "Jangan terlalu dipikirkan. Beosk, kakek akan melaporkan kejadian ini pada polisi setempat."
Agni menatap lurus ke dalam mata kakek. "Kakek. Sebenarnya ..., ada hal yang ingin aku katakan sejak lama."
"Apa itu?"
"Itu ...." Agni meremat jari-jarinya. "Ada dua orang yang mengikutiku sejak dua minggu lalu, Kakek."
Agni kemudian diam, menunggu apakah Kakek Abram akan memberikan reaksi. Lalu, melanjutkan kembali karena kakek hanya diam menunggunya.
"Mereka muncul di alun-alun, lalu mengikuti kami sampai ke pasar. Awalnya aku berpikir mereka seperti paparazi fanatik yang tidak berbahaya. Tapi, saat di Verona .... Aku juga melihat mereka, Kakek."
Kakek Abram meletakkan tangannya di puncak kepala Agni. "Kenapa kau baru mengatakannya?"
"Aku tidak ingin membuat kakek dan nenek khawatir. Tapi sekarang .... Aku takut, Kakek. Bagaimana jika mereka yang menyerang rumah kita?"
"Terima kasih sudah mengatakannya pada kakek. Masalah ini, biar kakek yang mengurusnya. Kau hanya perlu belajar dengan baik, ya?" Tangan besarnya bergerak perlahan mengusap helaian rambut gelap Agni.
Agni mengangguk. Kakek menyambung kembali kalimatnya. "Sekarang tidurlah. Dona bisa menjerit jika terbangun dan tidak menemukanmu di kamar."
Gadis itu tertawa ringan. Ia mengecup pipi Kakek Abram, kemudian berdiri. Mengucapkan selamat malam dan kembali ke kamarnya.
ஓ
KAMU SEDANG MEMBACA
Madhavi Agni
Fantasy"Demi ayah ibuku, demi Dona dan kakek, aku akan membunuhnya!" ••• Madhavi Agni adalah gadis ceria dengan kehidupan harmonis yang menjadi idaman semua orang. Namun, dunia sempurna gadis itu berubah menjadi pertarungan hidup mati semenjak bertemu pan...