27. All Because ILY

521 23 0
                                    


Gadis itu berlari secepat yang ia bisa. Entah bagaimana gaun putih indahnya berubah menjadi hitam seketika. Keringat membasahi sekujur tubuhnya hingga menetes sesekali. Nafasnya tersengal namun masih memaksakan untuk tetap berlari.

Semuanya terasa aneh. Ia terus berlari tanpa arah. Tak mengetahui juga alasan mengapa ia merasa ketakutan oleh sesuatu. Gadis itu tak mengingat apapun, segalanya terasa kosong dalam dirinya.

Benar-benar kosong...

Lebih tepatnya dalam jiwanya, kosong, tak ada detakan kehidupan yang biasa ia rasakan.

Perlahan gadis itu mulai terisak. Hanya bisa melampiaskan rasa kesal, marah, kecewa dan sedih lewat tangisan pilu. Hidupnya begitu rumit dan berada dalam jalan yang salah.

Ia ingin kembali namun segalanya sudah terlambat. Gadis itu menyesali kehidupan singkatnya yang tak berguna akibat ulah keegoisan orang tuanya sendiri.

Tapi tidak apa-apa. Ia tidak akan pernah bisa membenci orang tuanya. Ia menyayangi mereka lebih dari dirinya sendiri. Gadis itu selalu berharap mereka akan bahagia meski ia sendiri menderita disini.

"Kalian baik-baik saja kan? Aku berharap bisa memeluk kalian tapi...aku tak pernah mengetahui kalian dimana sekarang." Chicago bergumam di depan gereja yang dulu pernah didatanginya bersama Travis.

Seulas senyuman terbit di bibirnya. "Sebentar lagi aku akan pergi. Tapi aku punya Travis yang bisa membahagiakan ku...sayangnya dia tak bisa datang bersamaku sekarang."

Chicago datang sejak pukul 4 pagi. Dan ia sudah berada disini selama satu jam lamanya.

Sebelumnya, ia merasa kesepian. Ia juga tak bisa tidur jika tak berada dalam pelukan Travis seperti biasanya.

Genap dua minggu lamanya Cassie tinggal bersama mereka. Entahlah...Chicago tak bisa melakukan segala cara egois untuk menjauhkan wanita itu dari kehidupan mereka.

Karena Chicago tak mampu berbuat apapun saat melihat Travis lebih banyak tersenyum bahagia bersama Cassie.

Namun di sisi lain, Chicago masih merasakan perasaan dendam. Ia masih ingin egois untuk memiliki Travis seutuhnya. Seperti dulu, ia masih menginginkannya...

Tidak. Lebih tepatnya Chicago akan selalu mencintai Travis.

"Aku pulang ya. Travis pasti menungguku pagi ini, dia pasti khawatir aku pergi dini hari tanpa izin." kata Chicago sembari tersenyum. Memandang nanar pada gereja tersebut.

Chicago beranjak dari sana mengendarai motornya membelah jalanan yang masih cukup sunyi.

Ia memperhatikan jalanan yang sesekali terisi oleh pepohonan lebat. Terlihat menenangkan meski perasaannya terasa sebaliknya.

Perasaannya agak tak enak belakangan ini. Seakan sesuatu yang buruk akan menimpanya entah kapan. Chicago biasanya tak memedulikan perasaan seperti ini, namun entah sejak kapan kini, jika bisa ia melenyapkan perasaan ini untuk selamanya.

Motornya berhenti didepan sebuah cafe. Ia singgah untuk membeli beberapa potong kue dan cemilan favorit Travis.

Setidaknya kini ia merasa sedikit senang. Terlebih membayangkan jika Travis akan merasa senang dan menyuapi nya kue itu seperti dulu.

Untuk sesaat Chicago merasa kedinginan. Ia lupa memakai jaket sebelum pergi tadi. Sekarang ia hanya memakai T-shirt lengan pendek dan celana training.

Setibanya di rumah. Chicago dengan senyuman yang terpatri segera membawa paper bag berisi kue itu pada Travis. Ia bisa mendengar suara pria itu di dapur. Namun langkahnya mendadak terhenti.

Disana, Travis tengah memasak bersama Cassie yang sesekali memeluk kekasihnya itu. Mereka tertawa meski tak jauh dari sana lagi-lagi Chicago mengepalkan tangannya kuat.

Chicago merasakan kebencian yang teramat. Tanpa ia sadari matanya berubah kemerahan dan sejak detik itu ia berjanji akan menyingkirkan siapapun yang merebut kebahagiannya.

"Travis!"

ACATHEXIS (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang