Namanya Bayu

40 2 0
                                    

"Ta, akhir tahun ini aku pasti benar-benar akan melamarmu." Ucap Roy untuk kesekian kalinya.
"Hmmmmm...." Talita memutar bola matanya malas, dan hanya berdehem mengiyakan ucapan Roy.
"Kamu setiakan, Ta?" Tanya Roy kemudian, sedikit ragu karena reaksi yang di berikan oleh kekasihnya itu.
"Hmm.." lagi-lagi ucapan Roy hanya di tanggapi dengan deheman oleh Talita. Roy yang enggan memulai pertengkaran memilih untuk pura-pura tenang. Setelah minuman yang tersaji di meja cafe habis, Roy memilih untuk mengantarkan Talita ke rumahnya.

"Darimana saja kamu Ta?" Tanya Ayah Talita, membuyarkan lamunan Talita ketika anak perempuan satu-satunya itu baru menginjakkan kaki di rumah. Talita melirik ke jam dinding padahal waktu baru menunjukkan pukul 10 malam, pikir Talita.
"Habis jalan sama, Roy. Ayah." Terang Talita, sambil berlalu pergi. Tapi langkah Talita terhenti ketika Ayahnya mencekal tangannya.
"Duduk, Ta. Ayah mau bicara." Titah Ayah Talita. Kedua matanya tajam menyorot, tapi terasa hangat di pandangan Talita.
Talita mengikuti langkah kaki Ayahnya, dan mendudukkan tubuhnya di sofa yang membentuk huruf L di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2x4 meter.

"Ada apa, Ayah?" Selidik Talita. Tidak biasanya Ayahnya bersikap seperti ini. Talita hanya bisa menerka-nerka di balik sikap Ayahnya itu.
"Ta, kapan hubunganmu dan Roy akan di halalkan?" Tanya Ayah Talita, pertanyaan Ayah Talita barusan menggelegar di pendengaran Talita. Bak petir disiang bolong, Talita merasa tidak percaya. Ini kali pertama Ayah Talita menanyakan hal personal seperti ini.
"Ta?" Panggil Ayah Talita, ketika merasa tak kunjung mendapat jawaban dari Talita.
"Roy bilang dia akan menikahi Talita akhir tahun ini, Ayah." Jawab Talita, berharap bisa memuaskan rasa penasaran pria yang duduk di sampingnya.
"Ini baru awal tahun Talita, akhir tahun terasa terlalu lama menurut Ayah." Ujar Ayah Talita. Membuat Talita kembali terdiam.
"Jika Roy terlalu lama membuatmu menunggu, Ayah bermaksud menjodohkanmu dengan anaknya Om Farhan, teman Ayah saat kuliah dulu. Dia anak yang...." Belum selesai bicara, Talita segera memotong ucapan Ayahnya.
"Maksud Ayah apa?" Kesal Talita. Merasa bahwa Ayahnya terlalu ikut campur urusan pribadinya.
"Ayah hanya punya kamu, Talita. Dan kamu hanya punya Ayah. Kalau Ayah tiada, Ayah takut meninggalkanmu sendirian." Ucap Ayah Talita, berusaha menjelaskan ketakutan yang di rasakan olehnya.
"Enggak, Ayah. Ayah akan berumur panjang, Talita akan merawat Ayah dan melahirkan cucu yang rupawan untuk Ayah. Ayah jangan berpikiran negatif soal masa depan." Ucap Talita berusaha menenangkan, sambil mengelus lengan Ayahnya yang mulai keriput dengan pelan.
"Siapa yang bisa menjamin masa depan, Talita? Ibumu bahkan meninggal sebelum bisa melihatmu." Ujar Ayah Talita, sambil sekuat tenaga menahan buliran yang hendak jatuh dari sudut matanya.
"Yah...." Panggil Talita.
"Temui anak teman Ayah. Ayah mohon Talita, ini demi kebaikanmu. Dari dulu kamu hanya membuang waktu bersama Roy. Padahal tidak sedikitpun terlihat keseriusan dari sikap Roy..."
"Baik, Ayah. Aku akan mengikuti saran Ayah. Tapi kalau Talita merasa tidak nyaman, tolong jangan paksa Talita." Potong Talita cepat, tidak sanggup mendengar Ayahnya menjelek-jelekkan kekasihnya. Walaupun sebenarnya perkataan Ayahnya memang benar.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi, tapi Talita masih bergulung dengan selimut di kasurnya. Entah mengapa Minggu pagi ini Talita hanya ingin bersembunyi dari Ayahnya. Beberapa kali Ayahnya memintanya keluar kamar untuk menyantap sarapan, tapi Talita tetap enggan untuk bangun.
Bahkan chat masuk ucapan selamat pagi dari Roy-pun tidak di hiraukan oleh Talita.

Tin..tin..tin...
Bunyi klakson dari halaman rumah Talita sedikit menarik perhatiannya, Talita segera beranjak dari tempatnya.
"Siapa berisik pagi-pagi di halaman rumah orang?" Gerutu Talita sambil mengintip di celah jendela yang tidak tertutup gorden. Dalam diam Talita mengamati aktivitas pria yang baru turun dari sebuah mobil mewah, gayanya sederhana tapi terlihat berwibawa di balut kemeja coklat berlengan panjang, di padukan dengan celana bahan warna hitam dan sepatu pentofel berwarna senada.

"Ganteng." Batin Talita. Kedua matanya berbinar melihat kedatangan pria itu yang di temani dengan wanita paruh baya di sampingnya. Pria itu berjalan tegap menuju pintu rumah Talita, entah mengapa batin Talita merasa sedikit bersemangat setelah melihat pria itu.

Tok..tok..tok.. ketukan di pintu yang pelan bisa terdengar jelas di telinga Talita. Mungkin karena Talita menunggu ketukan itu.
"Iya, Ayah?" Sahut Talita, di dalam kamarnya.
"Keluar, Nak. Ada tamu." Ujar Ayah Talita. Dalam hati Talita merasa kegirangan, degup jantungnya berdetak tak beraturan sama rasanya seperti 7 tahun lalu ketika takdir tidak sengaja mempertemukannya dengan Roy.

Talita merasa ragu untuk keluar kamar,
"Sial! Coba kalau aku tadi bangun lebih cepat terus mandi." Umpat Talita, ketika melihat penampilannya yang tidak karuan di cermin. Talita menyisir rambutnya dengan cepat, mengulas sedikit lipstik pada bibirnya yang mungil. Karena terburu-buru, Talita lupa mengganti piyama yang di kenakannya.

"Talita, perkenalkan ini Tante Ambar, Istrinya Om Farhan. Dan ini Bayu, yang Ayah ceritakan semalam." Ucap Ayah Talita, memulai obrolan.
"Wah, udah gede aja kamu, Nak. Dulu terakhir lihat masih setinggi ini." Ucap Bu Ambar ramah, sambil mengisyaratkan tangannya setinggi 80cm.
"Iya Tante." Jawab Talita sambil mengulas senyum di wajahnya yang cantik tanpa riasan make up.
Talita duduk di samping Ayahnya dengan kikuk, melihat tidak ada satupun senyum dari Pria bernama Bayu itu. Kini Talita mulai merasa canggung dengan suasana yang di hadapinya.

"Proooooooot." Tanpa sadar Talita mengeluarkan gas yang sedari tadi di tahannya. Seperti bom waktu, gas itu memecah keheningan yang sedari tadi tercipta. Karena sembelit yang di alami Talita beberapa hari belakangan, gas itu mengeluarkan bau yang amat busuk. Bu Ambar tidak kuasa menahan senyum di balik wajahnya yang terlihat anggun itu sambil sesekali mengibas-ibaskan tangannya. sedangkan Ayah Talita tampak berusaha menahan malu yang di sebabkan anaknya itu. Talita? Jangan di tanya, ia sekarang sedang berharap bahwa pintu kemana saja milik Doraemon benar ada.
"Mampus aku!" Ucap Talita frustasi. Talita melirik sekilas pada Bayu, tapi kedua netra mereka justru saling beradu. Pria itu tersenyum tipis pada Talita, membuat debaran di dada Talita semakin tidak terkendali.

***

-Jangan lupa rate dan koment yang membangun biar semakin baik dalam berkarya.
-Mampir juga ke profilku dan jangan lupa follow untuk menikmati karyaku yang lain ❤️

Give Me 100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang