Suara degung memenuhi ruangan luas beratap kubah itu, berisi para Nectaflos yang duduk gelisah di kursi-kursi mereka dari tingkat teratas hingga terbawah. Keempat klan terpisah dan dibedakan oleh warna, dari putih kebiruan yang memberi kesan dingin hingga kuning menyala.
Taeyong melangkah masuk setelah memberi waktu bagi para dewan Nectaflos untuk seru bergunjing. Mereka jelas keheranan mendapati wilayah timur Nectorbis yang mulai memunculkan hawa-hawa takenak. Tempat itu mendadak memiliki sekat, udara di sana pun rasanya menjemukan bukan main. Hal itu sontak membuat mereka berpikir bahwa sesuatu yang buruk kembali terjadi di Nectorbis. Tak heran apabila Taeyong mengajak mereka bertemu di tempat ini.
Melihat sosok sang ketua memasuki ruangan, segala dengung yang sempat tercipta pun padam, digantikan oleh pandangan mata yang seluruhnya menyorot ke arah sang ketua.
Taeyong menaiki podium di tengah ruangan sembari menatap seluruh pasang mata di tempat itu bergantian. "Kuyakin kalian sudah tahu alasanku mengundang kalian kemari dengan mendadak pagi ini. Apa yang terjadi di wilayah timur meresahkan para penduduk," ujarnya.
Takada suara yang terdengar selain desahan napas. Taeyong kembali memperhatikan mereka satu per satu. Ada yang mendelik gusar, saling menyenggol dengan Nectaflos di sebelahnya, atau hanya diam bagai patung.
Usai menarik napas, Taeyong kembali bicara. "Kondisi negeri kita sudah sangat mengkhawatirkan, Saudara-saudara."
"Lalu, apa gunanya dua Nectaflos yang dikirim ke dunia manusia? Mereka tidak bisa memenuhi kewajiban?" tanya seorang wanita paruh baya dari klan Hiems. Wajahnya yang pucat tampak kebiruan, berikut matanya yang hitam bagai kumbang.
"Harap maklum, mereka masih sangat muda, masih belum terlalu cakap untuk mengurus hal seberat ini dalam waktu singkat." Ini adalah suara seorang wanita lain dari klan Aestas, mengeluarkan pembelaan sebab salah seorang anggota klannyalah yang diutus itu.
Merespons hal itu, si wanita Hiems lantas menjawab. "Kalau memang tidak bisa melakukan apa-apa, tarik saja mereka pulang! Anggota klanku akan mengurus situasi ini dengan lebih baik."
"Cukup!" seru Taeyong, sukses membuat kedua wanita itu menghentikan perdebatan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan sedikit kesal. "Aku tidak memanggil kalian ke sini untuk menambah konflik. Aku ingin mengajak kalian berdiskusi, untuk mengetahui fakta yang masing-masing dari kita wajib ketahui."
"Fakta apa itu, Yang Mulia? Dan diskusi seperti apa yang Anda inginkan?" Pihak Aurumn bersuara.
"Ini adalah fakta yang buruk. Manusia, makhluk yang tidak pernah puas itu, akan terus mengembangkan teknologi mereka yang penuh penyakit. Kali ini, mereka akan membuat ras mereka sendiri menjadi mesin. Betapa bodohnya!" ujar Taeyong.
Desas-desus kembali terdengar. Kebanyakan Nectaflos di ruangan itu menggeleng-gelengkan kepala dengan tangan yang menutup mulut, menghalau pekik terkejut dan sentak napas cemas. Mereka tidak menyangka bahwa manusia akan melakukan tindakan sebodoh dan sekeji itu.
"Kalau begitu, kita harus bergerak cepat, Ketua. Lakukan embargo sebagai langkah besar-besaran. Kita nyatakan perang terbuka untuk menghancurkan teknologi mereka saat ini juga!"
"Kita tidak boleh gegabah!" sanggah Taeyong. "Apa yang akan kita lakukan tak hanya akan berdampak pada mereka, kita, atau Nectorbis, melainkan seluruh aspek sistem. Tidak hanya mereka yang akan hancur, tetapi kita juga—apabila kita mengambil tindakan sekonyong-konyong."
Pria Aurumn yang mengusulkan ide cukup anarkis tadi lantas bungkam, sesekali berdeham, mengusir rasa malu atas penolakan itu.
"Ketua, kurasa apa yang dikatakan Aurumn ada benarnya," ujar wanita berkulit gelap di ujung ruangan. "Kita harus mengambil tindakan cepat, terlebih saat bagian timur Nectorbis mulai diserang. Kita dalam bahaya, Yang Mulia, dan keputusan Anda-lah yang akan menyelamatkan kami."
Ucapan itu kontan membuat Taeyong menahan rahang kuat-kuat, terlebih saat seluruh mata kembali mengarah kepadanya, meminta keputusan. Hal ini membebani Taeyong, tentu saja. Keputusan yang harus dikeluarkan sebagai seorang ketua bukanlah keputusan yang mudah. Begitu banyak aspek yang harus dipertimbangkan untuk menghindari kegagalan penuh.
Taeyong akhirnya memutuskan bahwa keputusan paling baik yang bisa ia ambil saat ini adalah, "Kita beri waktu Donghyuck dan Jaemin satu bulan lagi. Kalau mereka tidak menghasilkan sesuatu yang berarti dalam jangka waktu itu, kita cabut kepenugasan mereka untuk digantikan oleh perwakilan dari klan lain. Dengan itu, kita tidak lagi akan menahan tindakan koersif. Hanya itu keputusanku."
Seluruh Nectaflos dalam ruangan seketika mengembangkan senyuman, merasa cukup puas dengan apa yang dicanangkan serta lega bahwa mereka tahu apa yang harus dilakukan.
"Untuk saat ini, aku mohon kepada kalian, terutama kepada Aurumn dan Hiems, jagalah bagian timur seoptimal mungkin. Tingkatkan proteksi portal utama kita."
"Siap, Ketua!"
* * *
"Dari mana saja kau?"
Jeno yang baru melewati pintu utama dan akan menaiki tangga lantas dihentikan oleh suara berat itu. Sadar akan kehadiran sosok di balik punggungnya, ia lantas menghela napas malas sebelum akhirnya memutar tubuh, menghadap pria paruh baya yang kini menatapnya tajam dengan kedua tangan terlipat di dada serta wajah garang.
"Ponsel tidak aktif, tidak juga memenuhi pesanku untuk hadir di resepsi, dan kau baru pulang pagi ini?"
"Berhenti bersikap seolah kau biasa mengurusiku, Ayah. Aku yakin pengantinmu lebih membutuhkan perhatian itu ketimbang aku sekarang," kata Jeno malas.
Ucapan tidak sopan Jeno lantas membuat Lee Donghae mendelik takpercaya. "Siapa yang mengajarimu bicara seperti itu? Ibumu?"
"Kalau tidak ada yang mau dibahas lagi, Ayah, aku pergi." Tanpa menggubris kekesalan sang ayah, Jeno memelesat menaiki tangga. Mengabaikan panggilan Donghae yang memekakkan telinga dan sarat akan kesal, Jeno memilih memasuki kamar, membanting dan mengunci pintunya begitu saja. Menciptakan lingkungan aman bagi dirinya saat ini.
* * *
Mark memutar kepala saat mendengar suara ketukan di balik pintu. Ia baru saja melakukan santap siang di ruang makan dan memilih untuk langsung kembali ke kamar untuk istirahat. Namun, ketukan di pintu mengurungkan niatnya, membuat Mark yang sudah menempati meja belajar dengan laptop menyala pun beranjak demi membuka pintu. Sosok Lee Soohyun tampak berdiri di sana, tersenyum lebar ke arahnya, hal yang sebetulnya jarang Mark temukan.
"Kudengar dari pelayan kau baru pulang pagi ini, Mark. Ke mana saja malam tadi?" tanya Soohyun begitu Mark mempersilakannya masuk.
Pertanyaan itu membuat Mark terkesiap. Ia membuka mulut beberapa kali, hanya demi kembali menutupnya sambil mata melirik ke sana kemari, berusaha mencari jawaban bahkan hingga ke sudut lemari.
"Aku bermalam di tempat teman, Ayah," jawab pemuda itu akhirnya.
Mendengar itu, dahi Soohyun lantas mengeryit. Ia menautkan kedua tangan ke balik punggung, memberi gestur berwibawa yang sedikit penuh akan ancaman. "Teman? Jeno sepupumu, maksudnya?" tanyanya.
Mark menggeleng, sedikit terlalu cepat. Entah apa yang mendorongnya, ia pun taktahu. Namun, fakta bahwa ia akan menceritakan tentang teman yang lain kepada ayahnya membuat Mark bersemangat. Ia senang bahwa ia memiliki teman selain Jeno.
"Kali ini bukan Jeno, Ayah, tapi teman sungguhan."
"Oh, ya?" Soohyun menampilkan gurat penasaran. "Kaubisa punya teman? Orang seperti apa dia?"