ONE: "TEARDROPS ON MY GUITAR"

54.4K 1.5K 48
                                    

ONE—TEARDROPS ON MY GUITAR

“—The only thing that keeps me wishing on a wishing star.

The only one who’s got enough of me to break my heart—”

Lani tersentak bangun dari tidurnya. Diusapnya pelipisnya yang agak berpeluh. Kemudian, ia beringsut mengambil remote AC yang terletak di atas nighstand. Setelah menurunkan suhunya, ia mencoba mengatur napasnya. Setelah tenang, gadis itu berjalan menuju meja rias. Ditatapnya pantulan cermin dirinya. Berdiri di hadapannya seorang gadis yang mengenakan piyama polkadot berwarna merah. Rambut lurus sebahunya di biarkan terurai agak berantakan. Mata hitam bulatnya agak sembab. Bibir peach-nya agak kering. Tak ada yang lebih menyebalkan dari menunggu. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Masih saja belum ada kabar darinya. Ugh! Ia mendesah kesal. Sudah beberapa pesan yang dikirimkannya sebelum ia tertidur seperti tadi, namun sama sekali tidak ada respon dari penerima pesan tersebut.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Tanda sebuah panggilan masuk. Dengan cepat ia meraih ponselnya dan melihat layar ponselnya. Berharap dari dirinya, tapi ternyata...

Manda Calling

Ia segera menekan tombol hijau pada ponselnya itu.

“Iya, Man. Ada apa?” tanyanya.

“Lani, aku liat Nathan jalan sama cewek lain!” katanya dengan suara panik namun tetap mengontrol suaranya agar tidak terlalu kencang.

Deg. Jantungnya berdetak mendengar berita dari Manda. Tapi, ia berusaha tenang menanggapi berita tersebut. “Kamu lihat dimana, Man? Salah lihat kali,”Lani berusaha santai.

 “Di Red White café, Lan,” Ada jeda sebelum ia berkata lagi, “Mereka duduk lima meja dari aku. Tapi Nathan kayaknya nggak memperhatikan aku,” lanjutnya dengan masih berbisik.

“Kamu yakin, Man. Kalau itu Nathan?” tanyanya memastikan.

“Ya ampun, Lan. Yakin banget,” Ia menjawab dengan nada yakin.

“Saudaranya mungkin. Jangan negative thinking dulu, Man,” kata Lani. Sebenarnya ia sendiri sudah berpikiran negatif sejak tadi.

Hell! Ciuman bibir sama grepe-grepe di keramaian kafe itu namanya saudara?” suara Manda sedikit membesar di telinga Lani. Membuat Lani tersentak kaget. Sampai segitunya?

“Manda...” kata-kata Lani tertahan, “Bilang kalau ngerjain aku karena besok ulang tahun aku. Ini nggak lucu, Man,” katanya sambil tertawa garing.

Oh plis, Lani, ini Beneran. Aku nggak bakalan tega ngerjain kamu sampai kayak gini sekalipun besok kamu ulang tahun. Aku laporin ini sama kamu bukan mau kamu berantem lagi sama Nathan. Aku sayang kamu, Lan, sebagai sahabat aku. Aku hanya nggak mau kamu disakitin terus sama bastard kayak dia. It’s not the first time!” kata Manda panjang lebar.

          

 “Makasih ya infonya,” suara Lani bergetar.

“Aku nggak mau kamu mempertahankan hubunganmu dengan orang yang salah, hope you’re okay, be strong, girl.

Thanks.”

Lani menghela napasnya. Ia memang belum mau percaya sebelum ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Tapi Manda itu sahabatnya, ia tidak mungkin berbohong. Dan ni bukan untuk pertama kalinya Lani menerima laporan seperti itu. Dulu, di pertengahan dari dua tahun hubungan mereka. Lani juga pernah menerima kabar bahwa Nathan selingkuh. Sakit hati itu lagi. Saat Nathan meneleponnya dan menanyakan kenapa seharian Lani tidak memberi kabar. Lani hanya diam. Sampai Nathan sendiri yang mengakui bahwa ia selingkuh. Lani sempat pernah berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Nathan. Tapi, rasa sayang yang begitu besar membuat ia memaafkan Nathan.

Lani berjalan lunglai ke arah sudut kamarnya. Mengambil sebuah gitar yang ada di pojok ruangan. Kemudian duduk di tepi ranjangnya, sambil memetik gitar. Ah, air matanya jatuh lagi. Teringat akan sesuatu…

***

Lani menggembungkan pipinya. Sambil menatap langit malam tanpa bintang. Hanya sinar bulan purnama penuh menerangi. Tiga hal yang paling ia benci malam ini. Pertama, udara malam itu dingin, dan ia lupa membawa jaket. Kedua, sudah lima belas menit ia dan Nathan duduk di bangku taman itu, tapi Nathan tidak mengatakan apa-apa. Sedangkan nyamuk-nyamuk sudah melakukan penyerangan. Ketiga, duduk seperti orang bego, di tengah-tengah orang-orang yang sedang berpacaran di kiri dan di kanan, sama sekali bukan sesuatu yang romantis.

Lani mulai gelisah. Ia memandangi arlojinya. Malam sudah semakin larut. Sebenarnya, ia bingung untuk apa Nathan mengajaknya kemari berdua-duaan seperti ini, kalau hanya untuk berdiam diri. Ia memandang ke arah lelaki berperawakan tinggi, bermata sipit dengan wajah oriental. Berbalutkan T-Shirt hitam dan jeans, membuatnya tampak sangat casual. Lelaki itu sedang duduk sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Atau mungkin mencari cara untuk memulai percakapan.

“Lan,” akhirnya Nathan membuka percakapan. Thank God.

“Ya?” jawab Lani.

“Hm,” Nathan tampak berpikir sebelum akhirnya melanjutkan, “Kamu pernah nggak nangis buat seorang cowok?” tanya Nathan.

Pertanyaan Nathan berhasil membuat Lani kaget, “Hah? Ngapain sih tanya kayak gitu?”

“Ya, tanya aja, emang nggak boleh ya?” Nathan menatap ke arah Lani.

“Gimana ya, pertanyaan kamu agak pribadi gitu,” tatapan Lani lurus ke depan. Ia tidak membalas kontak mata dengan Nathan.

“Aku kan pengin kenal kamu lebih pribadi lagi, Lan,” jawab Nathan.

“Hm,” Lani menerawang, “Pernah,” wajah Lani perlahan berubah ekspresi. Kesedihan karena mengingat masa lalunya.

REDजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें