"Sya, maaf, ya. Kita masih bisa berteman. Tapi mulai sekarang, kita enggak bisa deket-deket lagi kayak kemarin-kemarin. Kamu tahu sendiri, kan, kalau sekarang kita udah beda frekuensi? Kita enggak bisa terlalu akrab lagi."
Beberapa kalimat itu menyapa indra pendengaran begitu aku memasuki area sekolah. Para sahabat sudah menunggu di sisi pintu gerbang, tetapi bukan untuk menyambut kedatanganku lantas mengajak memasuki kelas bersama-sama seperti hari yang lalu, melainkan untuk menyampaikan berita duka itu.
"Anin bener, Sya. Kita udah beda circle. Jadi maaf, dengan terpaksa kamu harus keluar dari geng kita." Rosa menambahkan.
"Maaf, Sya. Sebenernya aku masih mau berteman sama kamu. Tapi kalau keputusan Anin sama Rosa kayak gitu, aku enggak bisa bantu." Tania yang paling baik pun menimpali dengan kata-kata yang sejatinya tidak ingin kudengar. Sungguh.
Ya, rasanya memang pantas jika aku menyebutnya dengan berita duka. Tiga sahabatku secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak bisa lagi dekat denganku.
Aku belum sempat mengatakan apa pun ketika tiga gadis itu berlalu dari hadapan. Sedih? Jangan ditanya. Aku terlalu dekat dengan mereka sampai mengabaikan yang lain, menyebabkan aku tidak memiliki teman selain mereka.
Ingatan lalu tentang kebersamaan kami lantas terputar dengan sendirinya dalam memori otakku. Aku mengukir senyum tipis di wajah.
Tidak apa. Sepertinya mereka telah mendengar kabar buruk mengenai kedua orang tuaku.
Bagaimana tidak? Kabar meninggalnya kedua orang tuaku secara tragis akibat kecelakaan di tengah lilitan utang sudah tersebar luas di saluran televisi nasional. Siapa saja yang melihat tayangan itu sudah pasti akan mengetahui kebangkrutan yang menimpa perusahaan kedua orang tuaku.
Sudah beberapa hari aku mencoba menguatkan hati, tetapi pada akhirnya, tetap saja aku harus merasakan pedihnya luka. Namun, setidaknya aku tersadar. Dari kejadian nahas yang menimpa keluarga, aku jadi tahu bahwa mereka yang mengaku sahabat, tidak lebih dari sekadar gadis-gadis bertopeng yang hanya baik di saat ada maunya saja.
Kalau sudah demikian, aku bisa apa? Rasanya bingung saat pihak bank hanya memberiku waktu satu minggu untuk mengemasi barang-barang pribadi. Sisa harta yang dimiliki orang tua bahkan belum cukup untuk membayar utang perusahaan hingga rumah yang biasa kami tinggali pun harus menjadi korban.
Niat untuk meminta pertolongan pada para sahabat pun menguap begitu saja seiring dengan pedih yang perlahan menyusup ke dalam hati. Tidak apa. Sepertinya Tuhan memang sengaja mengirim ujian ini padaku. Karenanya, aku harus bisa lebih kuat. Ya, aku pasti bisa menjadi pribadi yang lebih kuat meski rasanya tidak mudah untuk dijalani.
Di kejauhan, kulihat Rendi muncul dengan motor sport-nya. Tangan kananku sudah siap mengayun ke udara untuk menyapa, tetapi urung ketika kudapati tatapan dingin dari kedua netra milik Rendi.
Senyum miris kembali terlukis di wajahku. Kejutan yang harus kuterima di hari yang sama, benar-benar di luar dugaan.
Bagaimana bisa Rendi turut bersikap demikian? Sedangkan beberapa hari yang lalu, saat berita buruk tentang keluargaku tersebar, dia masih bersikap baik-baik saja dan masih memanggilku dengan sebutan 'sayang'.
Sudahlah. Tidak ada gunanya aku terlalu memikirkan apa yang terjadi. Fokus utamaku hanya tertuju pada satu hal. Ke mana aku harus mencari tempat tinggal baru? Bagaimana pula dengan sekolahku yang hanya tinggal beberapa bulan lagi? Tekad untuk lulus dengan nilai bagus pun sudah tidak terpikirkan lagi.
Rasanya percuma saja. Lulus sekolah atau tidak, pada kenyataannya, aku tidak akan bisa melanjutkan untuk belajar di bangku kuliah karena uang tabunganku pun ikut lenyap.
Bel tanda masuk berbunyi bersamaan dengan jemariku yang berulang kali menekan rasa nyeri yang hinggap di pelipis. Ditambah lagi, aku harus melihat Rendi yang tidak menyapaku sama sekali, justru menggandeng lengan Anin menuju kelas kami. Sungguh, aku harus benar-benar bersabar dalam menghadapi cobaan yang bertubi-tubi.
Mata pelajaran di jam pertama masih berlangsung. Akan tetapi, rasanya aku tidak kuat lagi. Berat di kepala memaksa kedua mataku untuk terpejam, hingga suara yang terdengar lirih menyapa gendang telinga.
"Syafea, ada yang cari kamu. Bisa ikut saya ke ruang guru sebentar?"
"Syafea, Fe, Fea ...."
"Ya?" Aku terkesiap dan buru-buru menyahut. Entah sudah berapa lama panggilan itu tidak kuhiraukan.
"Sampean kok ngelamun wae, to? Apa sing ganggu pikiranmu? Cerito wae. Sopo ngerti aku bisa bantu."
Aku menoleh ke sana-kemari, lalu mendesah lelah. Ah ... sepertinya aku terlalu mendramatisasikan keadaan sampai-sampai cerita menyedihkan satu tahun silam kembali berputar dalam ingatan tanpa aku sadar.
"Fea, sampean iki denger aku ngomong apa enggak to?"
Kedua netraku tertuju pada Santi yang tengah menatapku dengan raut bingung. Alih-alih menjawab, aku justru mengangkat bahu.
"Kalau ada keluh kesah mbok yo cerita gitu lho, Fe. Aku ki ora popo je. Sampean juga tenang wae, aku enggak bakal cerita ke bulikmu."
"Maaf, San. Tiba-tiba aja aku ingat mendiang orang tuaku. Makanya jadi kurang fokus." Hanya sebatas itu saja yang kukatakan pada Santi.
Aku hanya merasa, tidak ada gunanya berbagi cerita yang lebih dari itu. Jika para sahabat yang telah lama kukenal saja tega membiarkanku sendiri berada dalam dekapan luka dan cacian hina, bagaimana dengan Santi yang belum lama kukenal?
Bukannya tidak mau berteman dengan siapa pun, tapi kisah lalu yang menyedihkan itu membuatku terus merasa waswas jika Santi menunjukkan perhatiannya padaku. Aku hanya tidak ingin kisah lama kembali terulang.
"Sampean yang rajin kirim doa aja, biar mereka tenang di sana."
Aku mengangguk samar. "Pasti, San."
"Yowis, nek ngono sampean bisa pulang sekarang. Wis jam setengah limo."
Aku mengangguk samar untuk yang kedua kalinya. Mengingat di mana keberadaanku sekarang, aku tidak habis pikir. Bisa-bisanya aku mendadak teringat dengan kejadian satu tahun silam.
"Kamu tahu enggak, Santi? Kira-kira, Bulik mau ke sini jam berapa?"
"Wis, enggak usah mikir bulikmu. Yang penting, kalau udah waktunya pulang ya pulang aja sampean itu. Lagian juga sudah ada aku sama Yanto neng kene yang jaga toko."
"Makasih, ya, San?"
Apa lagi yang bisa kukatakan kepada Santi selain itu? Selama menumpang hidup di keluarga Bulik, tidak ada yang sebaik Santi. Entahlah, mungkin karena aku tidak begitu bisa membuka diri pada yang lain.
Seperti biasa, aku bergegas menuju pantai untuk mengejar asa. Bagaimana tidak? Hanya dari hasil menulis aku bisa mendapat apa saja yang kuinginkan. Sedangkan keberadaanku di swalayan Bulik, masih saja dihitung sebagai pelunasan utang, entah sampai kapan.
Pandanganku menyapu sekitar pantai. Secara tidak sengaja, tatapanku tertuju pada sebuah balkon penginapan yang terletak tidak jauh dari tempatku duduk, mengingatkan tentang seseorang. Entah kenapa, jemariku tergerak untuk membuka lembar halaman baru dan mulai mengetikkan beberapa kalimat di sana.
Ombakmu memercikkan air.
Tidak hanya tubuhku yang basah, tetapi juga kenangan.
Senja kala itu, membawa seorang pengembara yang entah dari mana.
Kehadirannya mencuri pandangku, membuka ide cerita yang sedang kosong sebelumnya.
Tidak adakah tanda-tanda kedatangannya lagi?
Meski berwujud bajak laut, kurasa dia memang sudah merompak hati.
Jangankan asal, namanya saja tidak tertinggal.
Akankah dia kembali datang?
Bibirku terkembang bersamaan dengan kedua netra yang memandang riak di kejauhan. Bahkan aku bingung mendeskripsikan apa yang kurasakan sekarang. Apa mungkin, aku jatuh hati padanya pada pandangan pertama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bawah Langit Senja (SUDAH TERBIT)
RomanceSenja kala itu mengantarkan pertemuan antara Syafea dengan Fabian secara tidak sengaja. Pertemuan singkat yang menjadi candu pada akhirnya. Siapa sangka, jika pertemuan pertama yang tidak disengaja itu membuat keduanya merasa penasaran dengan satu s...