[JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT YA! DAN IKUTI ALURNYA SELAGI ON GOING]
‼️ CERITA INI DIIKUTKAN DALAM CHALANGE MENULIS SELAMA BULAN SUCI RAMADHAN ‼️
[𝐒𝐄𝐑𝐈 𝐏𝐄𝐑𝐓𝐀𝐌𝐀 𝐑𝐎𝐌𝐀𝐌𝐂𝐄 𝐈𝐒𝐋𝐀𝐌𝐈]
Genre : Spiritual-romance
Ditulis pada : 4 Juni 2...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beberapa hal yang haruskamu tahu tentang takdir, salah satunya adalah takdir yang telah tertulis di lauhul Mahfudz-Nya
__________
"Apakah kamu bersedia untuk menikahi Aileen besok?"
Gelas yang sedang di tuangkan air dengan teko oleh Imam mendadak langsung berlumeran di meja. Matanya membulat sempurna, jantungnya seakan berhenti untuk berdetak.
Apakah mungkin ia tidak salah mendengar ucapan Abinya?
"Nak," Rakha memegang teko air agar air tidak lagi tumpah ruah di atas meja.
"Nak, kamu tidak apa-apa?" tanya Rakha, meletakkan teko air itu di depannya.
Imam tersenyum kikuk. "Abi, Imam ke kamar dulu." Izinnya.
Rakha menepuk pundak putranya. "Kamu tidak perlu menghindari ucapan, Abi. Jika kamu merasa belum siap, Abi tidak akan memaksa."
Imam diam saja, hanya senyum kikuk yang tergambar dari wajahnya.
"Abi, hanya ingin menyampaikan pesan Aisyah di telpon barusan.." ujar Rakha.
"Pesan? Pesan Apa, Bi?" ulang Imam penasaran.
Rakha sejenak menghirup napas. "Aisyah, menyampaikan bahwa dia akan pergi ke singapura awal bulan ke tiga."
"Dan, dia ingin ijab kabulnya dilaksanakan besok saja." lanjut Rakha.
Imam manggut-manggut dengan kikuk, mendengar apa yang di ucapkan oleh Rakha.
"Tetapi... Aisyah juga mengatakan bahwa Aileen juga belum siap untuk segera melangsungkan ijab kabul besok."
Imam mendengar penuturan Rakha dengan seksama.
"Aileen, juga tetap dengan keputusan Abi, ia tidak ingin ijab kabulnya besok. Ia tetap dengan pendiriannya, ia ingin tetap di awal bulan tiga." ucap Rakha, menyampaikan seperti apa yang di ucapkan oleh Aisyah padanya di telpon tadi.
Imam menggigit bibirnya. "Abi, jika semisal Imam mengikuti perkataan, Bunda Aisyah, apakah itu tidak terlalu cepat?"
"Karena sebuah hal baik, lebih baik di percepat." lanjut Rakha.
Imam mengangguk membenarkan, apa yang dikatakan oleh Rakha adalah hal yang menurutnya sangat benar.
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
Rakha menebarkan senyum tipis. "Jika kamu belum siap, jangan dipaksakan. Karena sebuah hal yang dilakukan dengan terpaksa adalah bagian dari kesalahan."
"Ya sudah, Abi tidur duluan ya! Kamu jangan begadang, Assalamualaikum." Pamit Rakha lalu kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya
"Waalaikummussalam." balas Imam.
Imam berdiri di tempat, apa yang dikatakan oleh Fatimah dan Rakha merasuk ke dalam pikirannya.
Imam menghirup napas. "Insyaallah, saya akan memikirkannya malam ini, setelah selesai melaksanakan shalat tahajud." Imam melangkah menuju kembali ke kamarnya.
•••
Tok! tok! tok!
"Nak... Kamu sudah tidur?"
Imam yang baru saja menyelesaikan shalat tahajud dan berniat menaiki tempat tidur segera membukakan pintu.
Fatimah tersenyum kecil pada dirinya. Imam mempersilahkan Fatimah untuk masuk ke dalam kamarnya tetapi Fatimah menggeleng.
"Umma, hanya ingin bertanya." ucap Fatimah berdiri di depan pintu kamar putranya. tidak ingin masuk.
"Tanya apa, Umma?" balik Imam.
Fatimah mengulas senyum tipis. "Bagaimana, Nak? Apakah kamu sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan Abimu tadi?" tanya Fatimah dengan penuh rasa penasaran.
"Jika kamu merasa belum siap, maka kita akan tetap melaksanakannya pada bulan ketiga, seperti apa yang telah di sepakati."
"Tetapi jika kamu siap untuk akad nikah besok, kita akan melakukannya besok atau kalo bisa malam ini, kita langsungkan saja malam ini." lanjut Fatimah menggoda putranya.
Imam tersenyum tipis sesaat.
"Tetapi Aisyah mengatakan, bahwa akad nikah akan di langsungkan di sini, jika tetap kalian berdua mau tetap di bulan ke tiga."
"Karena di rumahnya mungkin akan kosong."
Imam mengangguk saja.
"Dan mungkin, Aileen akan tinggal bersama kita beberapa waktu." tambah Fatimah.
Imam membuang napas. "Maaf, Umma, sepertinya Imam mengikuti apa yang dikatakan oleh Aileen."
"Karena Imam, ingin mempersiapkan segala sesuatunya untuk Aileen."
Fatimah menghela napas mendengar jawaban dari putranya. Ia juga tidak bisa memaksa apa yang ia inginkan.
"Ya sudah, jika kedua mempelai ingin seperti itu, maka kami selaku orang tua akan mengikuti." ucap Fatimah pasrah dengan senyuman tipis di sudut bibirnya.
"Maaf jika Imam mengikuti apa yang di inginkan oleh Aileen, Umma. Dan maaf jika membuat Umma berharap." ucap Imam, merasa tidak enak karena melihat raut wajah Fatimah yang lesu setelah mendengar ucapannya.
Fatimah mengusap sekilas kepala Imam—putranya, dengan senyuman kecil. "Nggak papa, Nak. Sekarang kamu tidur ya, Umma juga mau tidur."
Fatimah melangkah pergi, meninggalkan putranya yang menatap kepergiannya.
"Saya akan memikirkannya malam ini." gumam Imam, lalu menutup pintu kamarnya.