Promosi - 33

145 11 0
                                    

Jam makan siang, para dokter dan juga tenaga medis lain di MIH terbiasa mendapatkan makan siang dari kantin rumah sakit meski pun mereka tetap diperbolehkan makan di luar. Pihak rumah sakit selalu menyediakan menu makan siang seimbang penuh gizi supaya tetap fit dan bugar meski kesibukan para dokter dan tenaga medis sangatlah padat.

Tak berbeda dari para teman sejawatnya, hari ini Felicia dengan sabar mengantre di stall pembagian makanan, membawa tray dari stenlist dan peralatan makan. Nasi satu bakul, sayuran, dan daging tumis paprika menjadi menu mereka siang ini. Mulut Felicia mulai berliur, pasalnya gadis ini belum sempat makan apa pun sejak tadi pagi karena mabuk dan terlambat bangun.

"Makannya banyak banget dok? Macam model budak jaman penjajahan aja." Seorang pegawai kantin memergoki Felicia mengambil nasi sampai setinggi gunung Himalaya. Felicia terkekeh.

"Biar kuat menghadapi kenyataan dan beban hidup." Felicia menyahut susu hangat dari tangan wanita paruh baya itu.

"Dok ... Dok ... kalau saya sih berat menghadapi beban tubuh," tukasnya.

Felicia bergegas mencari bangku kosong dan mulai makan dengan lahap. Lapar sekali rasanya. Apa lagi semalam ia muntah di baju Kaisar. Perutnya benar-benar kosong.

Saat Felicia tengah asyik makan dan menyendok penuh daging masuk ke dalam mulut. Tiba-tiba kedatangan seorang wanita cantik menyita perhatian semua penghuni kantin karyawan.

"Selamat siang, Presdir." Mereka sedikit menundukkan kepala pada wanita berusia dua puluh enam tahun itu.

Wajah rupawan, body bagaikan model internasional, rambut panjang bergelombang indah dengan warna chesnut dan di ikat setengah bagian dengan klip rambut mutiara. Bunyi hentakan kaki saat ujung lancip stilleto-nya beradu dengan lantai menggema ke seluruh ruangan kantin karena semenjak kedatangannya tak ada satu pun yang berani membuka suara. Mereka terkesima dengan pesonanya.

Beberapa dokter terlihat mengikutinya, mereka kaget karena wanita itu tak pernah turun ke kantin sebelumnya. Mereka tergopoh-gopoh mendekat, menanyakan prihal apa yang membuat wanita sibuk sepertinya turun ke kantin karyawan. Sekretaris yang dari tadi terus mengekor mengusir mereka semua. Tak ada yang ia inginkan selain duduk dan mengobrol dengan seseorang.

"Hai."

Wanita itu duduk di depan Felicia tepat saat Felicia menyuapkan masuk sendoknya. Kedatangannya sontak membuat Felicia berhenti mengunyah makanannya. Felicia menelan nasinya bulat-bulat dan mengakibatkannya tersedak.

"Minum dulu!! Kenapa melihatku seperti melihat setan?" tanyanya sembari menyerahkan segelas susu ke tangan Felicia.

Felicia bergegas meminum susu agar makanan yang tersangkut bisa turun dengan segera. Dan setelah rasa tersedaknya hilang. Felicia bergegas merapikan dirinya dan memberi salam.

"Se ... selamat siang, Bu."

"No!! Dont call me 'Ibu' call me Nona atau Presdir. Aku bukan ibumu." Celetukannya membuat nyali Felicia menciut. Bagaimana tidak, apa dia baru saja menyinggung cucu dari pemilik Rumah Sakit tempatnya bekerja?

[Gawat, kenapa tiba-tiba dia duduk di depan gue sih?? Apa dia tahu gue suka bolos belakangan ini jadi marah? Tapi masa sih, hal kecil bisa sampai nyangkut ke telinganya?] batin Felicia.

"Baik, Presdir." Felicia mencoba tenang, tiap kesalahan pasti akan bisa diperbaiki selama ia mau mengakui dan meminta maaf. (Kecuali kasus Reyhan, selingkuh itu tak termaafkan!)

"Nama Ratu Felicia Atmadja, usia 24 tahun, baru saja masuk beberapa bulan, bagian UGD kadang IGD. Lulusan terbaik di universitas A. Tinggi badan 165, berat 55, cup C, 38. Hmm ... not bad. Kamu anak dokter Rangga ya?" Wanita itu membaca data diri Felicia yang disodorkan oleh sekretarisnya. Wajah Felicia merona kemerahan, bagaimana dia bisa sampai tahu ukuran dadanya. Sejauh apa mereka bisa tahu tentang kehidupannya?

"Be ... benar, Presdir." Felicia menghindari tatapan matanya yang tajam dan menusuk, seperti ibu mertua yang baru saja bertemu dengan calon menantunya.

"Apa hubunganmu dengan Kai-ku?" tanyanya to the point, ia menyerahkan tablet pintar pada sekretarisnya kembali.

"Eh?? Kaisar??" Felicia melongo, ternyata bukan karena membolos kerja! Tapi karena Kaisar!! Kaisar hlo!! Si Kuli Bangunan itu?! Ada hubungan apa dia dengan presdir...

"Presdir Hera, sudah waktunya meeting." Sekretaris Hera berbisik pelan, Hera berdecak kesal saat mendengarnya. Kalau saja meeting itu bukan meeting dengan sang Kakek, ia pasti sudah men-cencelnya demi mengintrograsi Felicia.

"Cih, menyebalkan."

"A ... apa hubungan saya dengan Kaisar? Haha ... apa ya?" Felicia tersenyum sumbang, ia juga tak tahu hubungan macam apa yang ia jalani dengan Kaisar. Lagi pula, apa juga hubungan Hera dengan Kaisar?? Apa mereka sepasang kekasih? Bukankah Hera tadi memanggilnya dengan sebutan 'Kai-ku' kalau benar, lalu bagaimana dengan istri Kaisar?? Arg!! Dasar brengsek, pria mesum itu sebenarnya punya berapa kekasih? Sudah berapa banyak wanita yang ia kerjai.

Tapi ada yang aneh, kalau memang wanita secantik dan sekaya Hera bisa menjadi kekasihnya, tentu saja Kaisar bisa hidup enak tanpa harus repot-repot menjadi kuli bangunan.

[Ah, pasti karena Kaisar sudah beristri jadi ia menolak cinta Hera.] pikir Felicia.

"Kita akan bertemu lagi dr Felicia. Kaisar milikku! Ingat itu." Hera bangkit dari tempatnya duduk dan meninggalkan ruang makan. Felicia masih melongo setengah tak percaya dengan indra pendengarannya.

Atmosfir yang tadinya menekan kini kembali normal. Felicia menghela napasnya lega. Begitu pula semua orang yang ada di dalam sana. Seorang perawat mendekati Felicia karena KEPO dengan pembicaraan mereka.

"Presdir sangat menakutkan. Auranya begitu gelap. Padahal masih muda dan cantik. Aku dengar dia akan bertunangan beberapa bulan lagi, Dok. Gaunnya sudah dipesan. Dipesan di perancang busana dari Paris." Ternyata gosip sudah menyebar.

"I ... iya." Felicia mengeryit, sudah mau menikah tapi masih tergila-gila dengan Kaisar. Dasar wanita kaya dan sombong.

"Tak ada yang berani menentangnya, dia sangat cantik, pintar, percaya diri, dan sukses dalam hal bisnis maupun kehidupan." Perawat itu mengaggumi Hera. Melihat tubuhnya menghilang di balik dinding dengan mata berbinar kagum.

"Benar, siapa yang berani mengusiknya?" Felicia mendengus panjang.

Siapa?? Siapa yang berani mengusik Hera?

.
.
.

"Aku mau gaun itu!! Berikan padaku!!" Fiona menunjuk gaun milik Hera. Semua mata langsung menatap ke arah Fiona. Apa mereka tidak salah dengar? Fiona meminta gaun milik Hera? Apa dia ingin menantang Hera?? Lagi pula, apa Fiona tahu berapa harga gaun indah ini?

"Tapi, Madam," pramuniaga berniat mencegah niat Fiona. Tapi Fiona menaruh jari telunjuknya di depan bibir.

"Ssshh!!! Pokoknya aku mau gaun itu untuk pesta pernikahanku, berapa pun harganya!" Desak Fiona.

"Fiona!!" Reyhan melongo, tak percaya dengan permintaan Fiona.

"Nona, masih banyak gaun lain hasil rancangan saya. Dan bila Anda mau saya bisa membuatkan yang baru. Tolong jangan gaun ini."

"Kenapa tidak boleh?? Calon suamiku bisa membayarnya!! Bahkan dua kali lipat, benarkan sayang??" Fiona merenggek pada Reyhan, wajah Reyhan memucat, tapi harga dirinya masih terlampau tinggi.

"Memang berapa harganya??" tanya Reyhan.

"Harganya ..."

********

MI VOLAS VINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang