Begitu terkejutnya diriku, melihat sosok yang begitu kukenal, begitu dekat dengan diriku, satu tahun lalu.

"Kamu ... Ardi?" Aku tak percaya. Sungguh, hari ini tidak masuk akal. Kenapa ia bisa di sini? Padahal aku tak pernah memberi tahu alamatku pada sembarang orang.

"Iya. Aku Ardi, gimana kabar kamu sekarang, Na?" tanyanya. Aku masih belum bisa berpikir jernih. Sekarang, aku benar-benar bingung, bahkan sangat bingung.

"A-aku baik. Ke mana aja lo selama ini? Mana janji yang lo ucapin dulu? Mana buktinya?" Amarah tak bisa kutahan, bahkan di saat genting seperti ini.

"Ak–" Ardi berusaha menjelaskan. Namun, tak kuberi waktu untuk penjelasannya, basi.

"Udah, gue gak butuh penjelasan lo. Mending lo sekarang bantuin gue, buruan. Te-temen gue ...." Aku kembali terisak dan berlalu. Tanpa kusuruh, Ardi pun mengikutiku.

"Bantuin gue, cepetan bantu temen gue. Gue bingung, gue takut, gue gak tahu apa-apa. Kenapa tiba-tiba Anik kek gini? Gue bener-bener gak tahu." Tangisku kini semakin menjadi, pikiranku tak tenang, kacau.

Ardi memelukku, dengan segala kalimat penenang yang membuatku tak ingin melepas peluknya. Aku pun tak bisa menolak, situasi ini benar-benar membuatku bingung.

Beralih dari dekapnya,  Ardi mendekat ke arah Anik, menggendongnya keluar. Kuambil tasku dan semua benda milik Anik. Kemudian mengikutinya, menuju mobil putih, yang kini terparkir di depan kosan.

Tak berselang lama, kita telah sampai di Rumah Sakit Medika. Petugas rumah sakit, secara sigap mengurus segala keperluan yang dibutuhkan.

Lagi dan lagi, aku tak kuasa menahan tangis. Melihat sahabatku satu-satunya, terkapar tak berdaya. Terjadi lagi, Ardi mendekapku, mencoba menenangkanku dengan kalimat itu, lagi.

"Udah, Na, ada aku di sini. Aku gak bakal ke mana-mana, aku bakal selalu ada buat kamu." Aku luluh, pun bingung dengan sikapku. Begitu mudahnya hanyut dalam omong kosong lelaki itu. Namun, mau bagaimana lagi? Perasaan tak bisa dibohongi.

Kulepaskan pelukan itu. Terlihat seseorang mengenakan pakaian putih dengan stetoskop di lehernya.

"Bagaimana kondisi teman saya, Dok?" tanyaku dengan wajah begitu khawatir.

Pria itu menghela napas panjang, kemudian berkata, "Teman kamu, sudah tenang di alamnya. Maafkan saya."

Tak mungkin. Apa maksudnya? Aku tak paham. Pasti dokter itu sedang becanda. Kuhiraukan ia. Aku masuk ke dalam ruang ICU, memastikan sendiri bahwa keadaan Anik baik-baik saja.

Kubuka tirai itu, dan .... "Gak mungkin. Gak, gak mungkin. Itu pasti bukan Anik. Dok, di mana Anik? Saya mau ketemu Anik, Dok!"

"I-iya, itu Anik, sahabatmu. Maafkan saya, nyawa Anik tak bisa tertolong."

"Astaghfirullah, Nik. Gak mungkin ... gak mungkin." Kubuka kain putih yang menutupi wajahnya dan benar saja. Bagai sebuah tombak menikam tepat di dada, perih, hatiku hancur berkeping. Bagaimana caraku untuk menjelaskan ke keluarganya? Siapa nanti yang akan menjadi tempat pulangku? Di mana aku akan berkeluh kesah? Argh, sesak yang kurasakan. Aku tak percaya, Anik akan pergi secepat ini. Di mana janjimu? Apa semua orang di dunia ini sama?

_____________________

Satu bulan berlalu setelah peristiwa hebat itu. Aku masih belum sepenuhnya paham, mengenai penyebab kematian sahabatku. Sudah sejauh ini juga, polisi belum mengetahui siapa dalang di balik kejadian, bukti pun sama sekali belum ditemukan.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang