Kagum, suka dan cinta adalah suatu proses yang menentukan perasaan seseorang. Namun juga memilih makna yang berbeda.--------------
Doble up
..•🌾🌾•..
30 menit berlalu tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut kedua pria yang dipertemukan di taman rumah sakit pada bangku yang sama kemudian membentang jarak. Seolah mulut terkunci rapat atau merasa egois memecahkan keheningan diantara mereka, lebih memilih mengarungi lautan pikiran masing-masing.
Hembusan napas beradu dengan angin lembut di ruang terbuka yang juga terdapat beberapa pasien dan pengunjung sekedar melenyapkan penat dalam ruang inap dengan bau obat-obatan yang menyengatkan Indra penciuman.
"Kenapa menyembunyikannya?" Tanya Erwin pada akhirnya mengalah untuk menyangkal keheningan yang tercipta cukup lama. Karena merasa asing dengan situasi saat ini jika menunggu Afkar yang memulai pembicaraan itu terasa cukup mustahil.
"Lo kira semudah itu?"
Erwin menegagkan tubuhnya pada sandaran kursi, merenungi ucapan bos sekaligus sahabatnya itu.
Antara kebahagiaan dan kewajiban. Kebahagiaan dengan pilihan sendiri atau kewajiban sebagai kepala keluarga karena atas landasan paksaan.
Dan itu tak mudah!
Erwin melirik melalui ekor matanya tatapan kosong Afkar pada rerumputan yang mulai memanjang melauni taman rumah sakit. Ada rasa belum percaya jika lelaki yang ada disampingnya telah melepas masa lajangnya karena perjodohan, dan naasnya lagi dengan perempuan yang awal ia kenal dengan anak pembantu. Perempuan yang mengingatkannya pada masa lalu beberapa tahun yang ia coba untuk mengiklaskan. Perempuan pemilik bola mata dengan tatapan hangat yang sama. Tetapi belum tentu dengan orang yang sama.
"Bagaimana jika Lyra tahu. Lo nikah tanpa sepengetahuannya dan bagaimana jika Nayra tahu kamu menjalani hubungan dengan perempuan lain."
Afkar mengacak rambutnya hingga sampai berantakan. Jujur masalahnya kali ini jauh lebih berat daripada memenangkan tender proyek yang besar. Dalam otaknya muncul beban pikiran jika perempuan memang sumber masalah.
"Aku akan menceraikan Nayra."
"Lo sampai lakuin itu tandanya lo benar-benar berengsek, Afkar." Geram Erwin melayangkan tatapan tajam penuh amara.
Afkar tersenyum miring memindai cahaya berwarna jingga karena sang matahari telah berakhir kepelabuhanannya menyisahkan cahaya indahnya yang mampu membawa daya tarik berlama-lama menganguminya.
"Pernikahan bukan permainan, setidaknya pikirkan perasaan perempuan itu."
"Kalau lo diposisi gue apa yang bakal lo lakuin?" Erwin bungkam.
"Gue sangat mencintai Lyra, gue sudah berjanji akan menikahinya sebelum perjodohan konyol ini berlangsung. Sedangkan Nayra sendiri adalah wanita asing bagi gue. Lo paling tahu bagaimana menderitanya Lyra sedari kecil. Dan gue sudah berjanji akan menjaganya, bagaimana mungkin gue menyakitinya hanya karena lebih memihak perempuan asing seperti Nayra."
"Bagaimana wedding agreement yang kamu buat sendiri." Tanya Erwin setelah meredakan emosi. Ia tahu bahwa Afkar melakukan perjanjian diatas namakan pernikahan mereka. Lelaki itu begitu handal menguliti informasi, termasuk dengan menguping pembicaraan Nayra dan Afkar tadi.
"Nayra sudah menyanggupinya. Dan gue kepastian dia akan menyerah. Waktu dia cuma 182 hari."
"Kenapa begitu yakin?" Erwin sendiri tidak tahu harus bersikap dengan perasaannya saat ini. Ingin memilih usulan Afkar agar tidak berakhir menyakiti Lyra namun ia kasihan dengan Nayra.
"Waktu yang sedikit tidak memungkinkan perempuan itu menyanggupinya ....,"
"Juga, perempuan itu terpaut 8 tahun denganku, usianya baru memasuki 19 tahun pikirannya masih labil. Dan aku tidak percaya jika perempuan itu benar-benar mencintaiku seperti perkataannya."
Afkar menoleh ke arah samping terlihat Erwin sibuk dengan pikirannya sendiri. "Win?"
"Terpaut 8 tahun, seperti perbedaan usiaku denganya." Erwin mencoba lebih mengingat bagaimana bentuk wajah Nayra yang terlihat dari jauh namun ia tak bisa melihatnya dengan jelas.
Tepukan di bahu menyadarkannya dari lamunan, menoleh ke arah Afkar yang menapikkan wajah kesal karena telah diacuhkan. "Sorry, lo omong apa tadi?" Tanyanya kikuk.
Afkar kembali mengulangi ucapannya dengan mimik wajah datar dan Erwin meringis melihatnya, tatapan tajam yang biasanya dilayangkan Afkar pada saingan bisnisnya.
Afkar mengangkat telpon yang bergetar di saku jasnya ternyata orang suruhannya, membawa pakaian gantinya dan Nayra. Ia cukup sadar akibat Nayra sakit juga karena kesalahannya, dan ancaman Alvan akan memberitahu semua yang terjadi ke Tania dan Brian jika Afkar tidak menjaga Nayra.
Saat ini Afkar tengah memikirkan sesuatu. Apa bisa dibilang jika sikap posesif adiknya membuat Afkar berfikir lain, tidakkah remaja itu menyukai kakak iparnya sendiri.
Afkar meraup wajahnya sembari terkekeh. "Apa yang aku pikirkan."
Afkar berdiri dari duduknya, tak lagi memikirkan pendapat dari Erwin karena laki-laki itu sendiri tengah melamun lagi. "Apa kamu akan melamun sampai penghuni rumah sakit sendiri yang menyadarkanmu,"
"Apalagi ini menjelang malam."
Erwin tersentak dari lamunannya memandang dengan mata jengah mendengar guyonan Afkar yang sama sekali tidak membuatnya takut.
"Afkar. Seandainya lo tahu, gue pernah tidak sengaja menabrak Nayra. Dan gue minta maaf soal itu."
"Kapan?"
"Saat acara keluarga Meliano."
Afkar memutar ingatannya beberapa hari lalu, ia ingat. Saat itu juga ia baru saja sampai di Jakarta setelah melakukan perjalanan bisnis di luar kota. Karena terlalu kecapaian membuat kesehatannya menurun. Afkar baru tersadar ada yang berbeda dari cara berjalan Nayra, ternyata perempuan itu tengah menahan sakit ditubuhnya apalagi membopong Afkar menuju kamar dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
Afkar berjalan pergi tak memperdulikan tanggapan Erwin.
Sedangkan Erwin sendiri menundukkan kepalanya. Ternyata dugaannya salah dia pikir Afkar akan merah, "Lo benar-benar tidak peduli."
Erwin menegakkan tubuhnya, ia rasa sahabatnya itu akan menyesali perbuatannya, mungkin.
"Nayra sebenarnya kamu siapa?" Ucapnya entah kepada siapa sembari memandangi pundak Afkar yang semakin mengecil dari pandangannya hingga tertelan oleh jarak.
..•🌾🌾•..
Afkar membuka pintu berwarna coklat yang berbeda dengan pintu ruangan pasien lainnya. Decitan pintu yang Afkar buka mengalihkan atensi penghuni didalamnya.
"Mau kemana?" Tanyanya dingin melihat Nayra turun dari atas ranjang bertumpuh pada besi ranjang prasakitan.
"Akh," Jerit Nayra karena tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya hingga ia berakhir terjatuh dan jarum infus di tangannya ikut tertarik mengakibatkan tusukan jarum tersebut mengeluarkan darah.
Afkar berlari menahan tiang infus yang hampir jatuh karena tarikan selang yang berhubungan dengan punggung tangan gadis itu.
"Dasar ceroboh." Hardik Afkar.
Afkar menyelipkan tangannya dibawah lekukan kaki dan tengkuk Nayra menggendong perempuan itu ala bridal style membawa tubuh mungilnya kembali ke atas bed rumah sakit. Keluar menganggil dokter agar menghentikan darah yang terus keluar dari punggung tangan Nayra dan jarum infus tak lagi menetaskan cairan melainkan menarik darah merambat naik ke atas selang infus.
Sedangkan Nayra masih terdiam cukup terkejut antara perlakuan Afkar yang sukses membuat tubuhnya keringat dingin atau masih syok dengan kondisi punggung tangannya yang bercucuran darah.
Setelah perawat memperbaiki infus yang melekat pada punggung tangannya, menghentikan pendarahan, menganti cairan yang kosong karena salah satu alasan itulah yang membuat darah naik ke atas selang infus. Suster tersebut berbicara sejenak dengan Afkar sebelum dia meninggalkan ruangan.
"Selalu saja ceroboh,"
"Bilang jika ada perlu." Ucap Afkar hendak berbalik.
"Hm i-tu."
"Apa?" Tanya Afkar datar membuat nyali Nayra menciut. Afkar menghembuskan napas gusar melihat perubahan mimik wajah Nayra, berusaha mencoba merubah nada suaranya "Bilang?"
"Nayra, mau ke kamar mandi." Cicitnya menunduk. Padahal Afkar sendiri yang bilang jika ada perlu bilang, namun hembusan napas yang terdengar gusar seolah laki-laki itu tidak ikhlas membantunya.
Tubuh perempuan itu seketika menegang kala Afkar menggendongnya lagi membawanya ke dalam kamar mandi dengan kaki menggeser tiang infus.
"Bisa sendiri?"
Nayra kemudian mengangguk menyembunyikan sesuatu dibalik wajahnya yang tercipta semburat kemerahan.
"Saya tinggal, jika selesai panggilan saja. Saya akan menunggu didepan pintu." Tanpa persetujuan Afkar segera berlalu menuju pintu dan Nayra memang mengharap itu.
"Kak Afkair." Panggil Nayra membuka pintu kamar mandi mendapati lelaki itu juga melayangkan jemarinya di udara sepertinya hendak membuka pintu namun Nayra terlebih dahulu membukanya.
Afkar menarik uluran tangannya.
"Kita solat jemaah ya!"
Afkar berdehem menimpali mengambil air wudhu kemudian membopong tubuh Nayra kembali ke atas ranjang. Walau terkesan tidak ikhlas membantu Afkar tetap melakukannya.
Afkar menggelar tikar, di atas ranjang Nayra sudah siap menjadi makmum untuk pertama kalinya diimani Afkar. Tubuh yang masih lemas tidak memungkinkannya untuk solat sembari berdiri.
Islam adalah agama yang tidak memberatkan umatnya. Jika sedang sakit namun tidak bisa solat sambil berdiri maka diperbolehkan duduk, jika tidak mampu maka solatlah dalam keadaan berbaring.
Afkar merenung sejenak, kapan terakhir kali ia melakukan ibadah yang wajib lagi utama ini. Kehidupan dunia begitu melalaikan hingga ia terlupa kewajibannya.
Nayra menunggu dengan sabar Afkar yang berdiri namun belum juga melakukan takbir.
Allahu Akbar
Lelaki itu mengangkat kedua tangannya melakukan takbiratul Ikhram. Ada ketenangan jiwa mengucapkan firman Allah dalam alunan kekhusyukan.
Innaka hamidun majiid'a
Diakhir dengan salam, zikir dan doa.
"Kak Afkair." Panggil Nayra melihat lelaki jangkung itu melipat sajadah yang memang di sediakan sebagai fasilitas kamar VIP.
Kerutan di kening Afkar mendapati Nayra mengulurkan tangannya. "Kamu butuh uang?"
"Berapa?"
"Ha?" Sontak saja Nayra melongo dengan bibir yang terbuka sedikit. Sedetik kemudian ia menggeleng. "Mau salim."
Afkar mengusap tengkuknya karena terlihat bodoh didepan perempuan itu walau demikian ia menyambut uluran jemari Nayra yang langsung di salimi.
---SeeYouNextPart---