Bagian 40

12.1K 1K 97
                                    

Anin menyandarkan kepalanya ke kaca taksi yang kini sedang ditumpanginya. Tatapannya tertuju kepada bagian belakang kursi pengemudi sebelum beralih. Dia menatap tangan kanannya miris ketika mengingat kembali apa yang dia alaminya beberapa jam yang lalu.

Langkah kakinya yang tidak seimbang ketika turun tangga membuatnya terhuyung. Anin terjatuh dengan telapak tangan dan lutut kanan yang lebih dulu mendarat ke tanah. Hal itu menimbulkan luka berdarah pada lutut dan sikunya. Sementara pergelangan tangan kanannya terkilir hingga membengkak.

Seharusnya siang tadi dia tidak bertindak gegabah. Emosi yang meledak begitu saja membuatnya mengatakan sesuatu secara berlebihan. Anin pun melupakan hal penting karena terlalu bertindak cepat tanpa berpikir panjang. Karena tentu saja dia tidak akan bisa pergi ke rumah ayahnya tanpa dompet ataupun ponselnya yang ada di rumah Rima.

"Suami kamu pasti panik sekarang. Ketika dia pulang, dia nggak bisa menemukan keberadaan istrinya yang sedang sakit di rumah. Seharusnya ketika kita diperjalanan ke rumah sakit tadi Bunda langsung menghubunginya. Bukannya terbuai dengan kepanikan."

Nada cemas Rima membuat Anin yang awalnya ingin menikmati keterdiaman diantara mereka segera menoleh. Dilihatnya Rima yang kini tengah menatap ponsel yang sudah dalam kondisi tak menyala itu. Rima benar! Kalau Yudha sudah ada di rumah, pria itu pasti sedang panik karena tidak mendapatinya disana. Selain karena kondisinya yang sedang tak sehat, sepertinya baru sekarang Anin pergi keluar tanpa  pemberitahuan pada suaminya itu.

"Sayangnya Bunda juga nggak hafal nomor ponsel ayah. Kalau ingat Bunda pasti sudah menghubungi ayah saat di rumah sakit tadi untuk memintanya mengabari Yudha."

Rima tersenyum, mencoba menarik perhatian Anin yang hanya diam saja sejak mereka pergi. Dia bersyukur Anin menurut ketika dibawanya ke rumah sakit. Dan dia sedikit merasa lega karena Anin belum memaksa lagi untuk dibiarkan pergi ke rumah Ridwan Hartono.

"Dulu ketika kamu dibawa Yudha ke rumah, Bunda memang sudah tau siapa kamu, Nin. Bunda menyambut kamu dengan penuh emosional karena Bunda memang terlalu senang. Seperti kata kamu, Bunda memang senang karena perempuan yang akan dinikahi Yudha adalah anak Pita bukan kakak kamu. Tapi kalau pun kamu bukan anak Pita, Bunda juga akan tetap menyambut kamu dengan baik karena kamu pilihan Yudha."

Rima membawa tangan kiri Anin untuk berpindah ke pahanya. Dia menggenggam tangan yang terasa hangat itu dengan cukup erat. Karena Anin kini mendengarkannya bicara, Rima rasa ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang Anin pikirkan tadi.

"Malam dihari pernikahan kalian, apa kamu ingat bertemu Bunda tepat setelah Bunda dari kamar kalian? Sebenarnya malam itu Bunda meminta Yudha untuk merahasiakan apa yang sudah dia ketahui tentang ibu kamu."

Anin menjilat bibirnya yang terasa kering. Dia memang kesal karena Yudha ternyata sudah lebih dulu mendapatkan informasi yang dijanjikan untuknya namun menunda untuk mengatakannya. Tapi mengingat Yudha sudah memberikan sedikit informasi itu padanya, meskipun terlambat, Anin mungkin bisa memaafkan.

"Apa sejak awal Mas Yudha juga tau kalau wanita itu nggak mau bertemu saya?"

"Awalnya Yudha nggak tau. Dia hanya mendapatkan informasi tentang identitas ibumu. Tapi untuk membuatnya bungkam, Bunda mengatakannya. Karena seharusnya Yudha nggak memberitahu kamu lebih dulu dibandingkan ayah kamu karena takut kamu akan salah memahami informasi."

Rima menatap Anin yang tengah menghela nafas kasar. Kalau kenyataan ini saja sudah berat bagi Anin, bagaimana dengan kebenaran lainnya? Apa Anin benar-benar akan sanggup menanggungnya? Entahlah! Rima mulai pesimis perempuan muda ini akan mampu. Karena seperti yang pernah dikatakan Ridwan Hartono, Anin memang terlihat kuat diluar tapi begitu rapuh didalam.

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang