Menurut Jiani, keputusan Lea untuk pergi meninggalkan kota ini adalah keputusan yang paling tepat. Pihak yang merasa diuntungkan dari keputusan Lea selain Teresa, adalah Jiani dan Yasha.
Hampir seminggu ini, setiap kali ketiganya berpapasan atau tak sengaja menangkap kehadiran Sajune di area kampus, hal pertama yang menarik perhatian mereka adalah wajah pemuda itu yang kurang bersemangat.
Tak ada garis ceria disekitar wajahnya, bahkan bukan hanya sekali, Jiani melihat Sajune mengacak surai frustasi yang ia pikir pasti tidak jauh akibatnya dari Lea.
Jiani rasanya baru sekali seumur hidup dihadapkan dengan manusia yang tak mudah ditebak seperti Sajune. Selain memiliki sikap manja pada Lea, Sajune juga termasuk orang pemarah. Jiani baru tahu kala ia sadar Sajune tak lagi menatap Lea sebagai seorang teman.
Padahal pemuda jangkung yang satu itu sudah hampir tiga tahun lamanya menjalin kasih dengan adik tingkat mereka, dari fakultas sebelah. Jika dipikir seorang Sajune adalah salah satu dari sekian banyak orang brengsek diluar sana.
Hembusan angin dari arah timur menerpa surai hitam Jiani yang menutupi sebagian dahinya. Berbekal satu buah buku digenggaman dan tas sedang berisi laptop dipundaknya, Jiani memilih duduk seorang diri digazebo kampus.
Fokusnya tak terbantah lagi semenjak ia mulai membuka halaman satu persatu dan menimang setiap baris aksara disana.
Sampai pada lembaran ke lima belas, pusat konsentrasinya teralihkan oleh eksitensi kaki seseorang.
Jiani mendongak untuk melihat siapa pemilik kaki tersebut. Ia lalu menghembuskan nafas jengah.
"Kalau lo mau nyari perkara sama gue, ini bukan saatnya. Gue lagi sibuk!"
Untuk beberapa saat tak ada jawaban dari sana, Jiani mengedikan bahu acuh tak acuh.
"Gue butuh bantuan lo Ji."
Mendelik tajam, pemuda berjaket denim itu memutar bola mata malas. "Tumben banget lo minta bantuan gue. Baru sadar kehadiran gue didunia ini begitu dibutuhkan?"
"Please Ji, gue beneran serius perlu bantuan lo."
"Bantuan apa? bantuan nyariin Lea? Mimpi kali lo, gue juga gak tahu Lea dimana, cari sana sendiri sampe muak."
Sajune memejamkan mata, sejurus kemudian ia duduk disamping Jiani dan merapatkan kedua tangan memohon pertolongan.
"Gue tahu lo hafal betul Lea ada dimana, gue hampir frustasi mikirin dia ada dimana, tolong Ji."
"Baru ditinggalin seminggu doang udah kayak ditinggalin seumur hidup, lagian Lea pasti baik-baik aja dia gak sebodoh itu buat ngeakhiri hidupnya sendiri."
"Nahkan lo pasti tahu Lea dimanakan? lo gak kasihan liat gue frustasi kayak gini?"
Jiani menutup bukunya dan melipat tangan didepan dada. "Giliran gini aja lo ngerengek kayak anak kecil kehilangan ibunya, kemana aja lo waktu Lea masih ada? Lagian dulu lo suka banget nyakitin Lea, nyeselkan lo?!"
"Gue gak butuh bacotan lo Ji, gue butuh informasi Lea ada dimana."
"Gila kali lo kayak yang ketagihan sama kehadiran Lea. Putusin dulu gih pacar lo, baru balik lagi sama Lea!"
Sajune kemudian menggeleng secara refleks dengan apa yang Jiani perintahkan. "Gue gak bisa, gue butuh waktu buat mutusin Angeline."
"Bangsat lo June, kalau sekarang kita gak ada dikawasan kampus udah gue buat babak belur muka lo sampe ancur."
"Asal lo tahu Ji, orang yang udah nyebarin rumor tentang gue dan Lea itu Angeline, gue masih butuh cewek itu sampe dia jujur sama gue."
Jiani terdiam sejenak, ia menoleh dan menatap Sajune sembari mengangkat alis meminta kebenaran.
"Angeline gak sebaik yang lo lihat, gue gak bakal berekspetasi dia bakalan nyebarin itu secepat ini, gue pikir dia cuma nakutin supaya gue gak mutusin dia."
Jiani mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan penuturan Sajune. "Maksud lo apa?"
"Ya maksud gue itu. Angeline yang udah nyebarin beritanya."
"Najis, hidup disekitar lo emang bikin orang lain sial!"
Sajune menurunkan bahu, pasalnya ia juga merasakan perasaan campur aduk yang sama. Tentang hilangnya Lea tanpa kabar, tentang bagaimana menyebalkannya Angeline, dan juga Jiani yang tak mudah ia korek informasinya begitu saja.
"Giliran gini aja lo datang ke gue baik-baik, dulu kemana aja? segala nuduh gue yang enggak-enggak." Keluh Jiani lagi.
"Ayolah Ji, ini bukan waktunya buat bahas apa yang udah terjadi di masa lalu."
Jiani kembali merotasikan bola matanya jengah. "Gue pikir-pikir dulu, dapetin dimana keberadaan Lea gak bakal semudah yang lo pikir, gue gak bakal ngelepasin dia gitu aja."
Sajune menghembuskan nafas syarat akan lelah, hari ini masih sama sialnya seperti hari-hari kemarin. Tak ada satu orangpun yang dapat membantu ia untuk mendapatkan lokasi keberadaan Lea, semuanya masih sama kosong, tak jauh seperti keadaan hatinya yang tak lagi berpenghuni.
Entah apa yang harus ia lakukan setelah ini, Jiani pergi meninggalkannya sendiri tanpa mau memberikan sedikit bocoran atas pertanyaan sama yang menjadi pikiran selama satu minggu belakangan.
Ia sepenuhnya sadar, kata maaf pun tak akan pernah cukup untuk membalas segala perlakuan buruknya kepada Jiani apalagi kepada Lea.
Tapi Sajune bingung sendiri harus bagaimana. Ia kehilangan Lea, sebagian jiwanya seakan hilang tanpa arah. Kehadiran Lea adalah segalanya sekarang, dan Sajune hanya dapat meraba siluet Lea dalam bayangan khayalan malam. Sajune begitu kehilangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love The Heartbreak (SELESAI)
FanfictionLea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama terpaksa hancur begitu saja kala Sajune lambat laun menarik ia kedalam labirin cinta tanpa bisa Lea...