Setibanya di dalam hotel, kami pun sama-sama memasuki lobby dan ingin memesan kamar. Setibanya di depan resepsionis, dua orang pria tengah menjaga. Lirikan mata mereka seakan tidak biasa, karena sedikit aneh saat ke hadiran kami.
"Selamat malam, Pak. Apa ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang pria itu.
"Saya mau pesan kamar. Apa masih ada yang tersedia," jawabku sekenanya.
"Oh, ada, Pak. Tunggu sebentar," kata mereka.
Salah seorang dari pria itu mencari nomor kamar yang masih tersedia, lalu menentukan pilihan di nomor kamar 225.
"Terdapat kamar yang kosong di nomor 225, Pak. Ini cardnya, dan silakan menikmati fasilitas VIP di hotel kami." Pria berwajah glowing itu menyodorkan card padaku.
Tanpa menunggu lama, aku pun mengambil card dan melanjutkan perjalanan menggunakan lift. Sementara Brama, hanya sibuk pada ponselnya saja sedari tadi. Kami pun menaiki anak lift dan menuju lantai lima hotel.
Setibanya di lantai lima, aku kembali berjalan ke sebuah lorong dengan permadani berwarna merah. Mencari nomor hotel 225 untuk kami tidur dan bermalam. Tibalah kami di kamar dengan nomor tersebut, orang-orang sedang lalu lalang tanpa henti sedari tadi.
Aku membuka pintu kamar dan memasuki ruangan dengan fasilitas lengkap, kemudian menutup pintu. Setelah badan telah tiba di dalam ruangan, aku mendudukkan badan di atas sprei serba putih.
Brama pun masih sibuk dengan ponselnya, membuat diri ini merasa sangat aneh dengannya. Menggunakan tangan kanan, aku menyentuh pundak Brama dan mengambil ponsel itu di tangannya.
"Udah, dong, jangan main ponsel terus," kataku.
"Eh, i-iya, Bang," jawabnya terbata-bata.
Karena ponsel sudah aku letakkan di atas nakas, Brama menatap wajah ini penuh dengan hati-hati. Aku segera membuka kemejaku berserta celana jins. Yang terpakai hanyalah celana dalam saja.
Mendapati hal tersebut, Brama tercengang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Alat perang yang aku miliki telah hidup dan mulai mengeras. Remaja di samping kanan menatap sejurus ke bagian itu.
"Bang, kita mau ngapain?" tanyanya.
"Mau ngapain, ya, yang enak?" Aku malah balik nanya.
"Ditanya malah balik nanya," sergahnya.
Brama pun menarik napas panjang. Lalu, aku mencoba untuk menyeringai lehernya dengan ciuman dan beberapa embusan manja lewat napas. Kemudian bibir ini bergerak menuju bibir lawan main, dia pun memahami akan hal itu.
Kami yang sudah berciuman, membuat nafsu dalam jiwaku semakin memuncak. Andrenalin sangat klimaks, dan ingin segera melucuti lawan kali ini.
Perlahan, aku membuka baju dan celana Brama hingga dia tidak mengenakan sehelai benang pun.
'Gila, manis banget bibir ini anak. Apakah dia masih perawan? Tapi enggak mungkin, dari gaya-gayanya dia adalah barang yang sering dipakai oleh orang lain,' gumamku dalam hati.
Kami pun sama-sama tidak berbusana saat ini, tepat di dalam kamar nomor 225. Semburat lentera yang sangat terang, aku matikan dan tinggallah cahaya seperti dimar ublik di samping nakas.
Permainan malam ini akan segera kami lakukan, aku sudah berada di atas ramaja yang telah merebahkan kedua sayapnya. Brama pun menghisap batang pusaka yang aku miliki, dia sangat lihai dalam melakukan hal itu.
Baru kali ini aku mendapat perlakuan sangat full service, karena jika pada Andrew—anakku, dia tidak mau menghisap bagian vital itu. Napas yang tadinya netral berubah mengerang dan sangat geli.
Kemudian aku mengambil pengaman dan memberikan lubrican pada bagian lubangnya, agar dia tidak terlalu kesakitan. Tepat di daun telinga Brama, aku membisikan kata dengan nada suara lirih.
"Abang masukkan, ya?" tanyaku.
"Pelan-pelan, Bang," jawabnya.
Kemudian aku memasukkan benda pusaka milikku dengan perlahan, terdengar pulalah desahan itu dari mulut Brama.
"Pelan, Bang. Sakit," ucapnya seraya menyentuh perutku.
Setelah semua alat masuk ke dalam, aku tidak lantas melakukan pergerakan, agar elastisitas itu sedikit menyesuaikan dengan benda tumpul yang masuk.
Kami pun memulai dengan ciuman, agar Brama menjadi rileks dan tidak merasa kesakitan. Setelah beberapa menit benda pusaka masuk ke dalam sanubari, barulah aku menggoyangnya perlahan agar lawan dapat merasakan indahnya dunia.
Napas Brama pun mulai netral ketika mengembuskan, dia mengelurkan desahan indah dan aku sesekali mempercepat pergerakan.
Tepat di daun telinganya, aku berkata, "gimana, enak enggak?"
Brama pun membuka mata, lalu dia menatap wajahku dan mengangguk. Bersama senyum simpul yang penuh nafsu, aku pun bergoyang santai dan menciptakan desahan begitu menggema di dalam ruangan.
Tadinya Brama berkali-kali menyuruh agar pelan ketika aku bergerak, sekarang dia sudah bisa terima saat pergerakan itu semakin kencang dan lebih kencang.
Keringat ke luar membasahi badanku, kemudian bergerak sejurus ke badan Brama dan bercampur dalam melodi permainan yang sangat indah. Wajah Brama merasa seperti keenakan, karena hanya menutup bola mata dan merasakan cinta.
"Enak, Bang. Ah-ah," desah Brama.
Setelah beberapa jam aku mengganti gaya, akhirnya cairan itu pun ingin keluar dan malam ini aku tembakkan di luar badan. Basahlah mengenai perut Brama.
Remaja yang tadinya menutup mata, sekarang menatap cairan putih itu dan berkata, "Bang, masukkan lagi. Tapi tembak di dalam."
"Kamu mau nambah?" tanyaku.
Tanpa menjawab, Brama mengangguk.
Karena aku masih tahan untuk melakukan ronde kedua, kami pun bergoyang lagi dan kali ini tanpa pengaman. Tidak lama setelah bergoyang, cairan itu berhasil ke luar di dalam sanubari.
"Gimana, enak?" tanyaku.
Tanpa menjawab, Brama pun hanya mengangguk ditimpali napasnya sangat ngos-ngosan. Ciuman terakhir aku berikan pada remaja di bawah badanku, kami menikmati malam ini dengan penuh cinta.
Setelah lemas, aku membantingkan badan di atas tempat tidur dan menatap cairan yang tumpah di perut serta bagian bawah Brama. Remaja di samping beberapa kali menyentuh cairan itu dan membiarkannya tetap menempel di badan.
Menggunakan tisu, aku pun mencoba membuang yang ada di perutnya. Namun, Brama mencegah pergerakan tangan ini.
"Kenapa, Bram?" tanyaku.
"Yang bawah jangan dilap, Bang," katanya.
"Loh, kenapa emangnya?"
"Biar aku hamil anakmu, pasti anak kita akan ganteng. Sama seperti ayahnya," jawab Brama.
Mendengar hal bodoh itu, aku meringis geli. Karena lawan main sangat menginginkan keturunan yang lahir dari spermaku. Namun, dia adalah laki-laki, tidak mungkin itu bisa terjadi.
Karena kami sama-sama lemas, aku menarik Brama agar dia tidur dipelukan ini. Dengan berselimut sebagai penutup badan, Brama pun membuka mata perlahan.
"Bang," panggilnya.
"Iya, sayang," jawabku, tatapan ini menolehnya.
"Kenapa Abang mau melakukan ini sama aku? Kan, level kita beda jauh," katanya.
"Aku enggak pandang level. Yang penting bisa buat aku puas malam ini," jawabku.
"Sekarang Abang puas atau tidak?" tanyanya.
"Hmmm lumayanlah. Dari seratus dapat nilai sembilan puluh," jawabku.
Tanpa menjawab, Brama pun menyentuh kumisku dan dia senang memegang alat vital milikku yang sudah lemas, berubah bentuk dan ukuran.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Mantan Gay
RomanceNovel 21++ Cerita seorang lelaki gay, menikah dengan wanita pilihan sang ibu. Dengan berikhtiar sepanjang malam, lelaki itu pun akhirnya mengambil keputusan perihal perjodohan tersebut. LGBT Jangan mampir jika tidak suka!!!