Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
..
Suara instrumen kotak musik menghiasi kamar minimalis bernuansa biru langit. Rama menatap dirinya di cermin. Ia membetulkan posisi dasi kupu-kupu hitamnya. Terbesit senyum tipis ketika dirinya sudah terkesan rapi. Pria manis itu berjalan menuju pintu dan mengambil jas cokelat yang tergantung di dinding ruangan, lalu mengenakannya. Rama berjalan keluar sambil mengenakan jasnya.
"Mau ke mana?" tanya Noris yang sedang duduk di kursi sambil membaca buku tentang sihir.
Rama tersenyum ramah. "Cuma mau ngucapin salam perpisahan."
Noris menatap tangan Rama yang penuh dengan plester. "Tanganmu?"
Rama menyembunyikan tangannya ke balik kantong celana. "Cuma luka kecil." Ia berjalan keluar.
Noris menatap Arai yang sedang duduk bermain ponsel. "Tak apa membiarkan dia berkeliaran sendirian? Aku pernah mendengar istilah, seorang yang patah hati lebih berbahaya daripada seekor singa kelaparan."
"Biarkan saja. Setiap orang punya caranya sendiri untuk pulih," balas Arai. "Sekarang, aku sedikit berharap Rama bisa meluluhkan gadis itu. Mungkin ia akan berguna untuk kita."
Noris menutup bukunya, ia fokus pada percakapan dengan Arai. "Apa? Kau ingin gadis culun seperti itu menjadi bagian Satu Darah? Tak apa jika tak bisa bertarung, atau menggunakan sihir, tapi dari gelagatnya ia tak bisa apa-apa, Arai."
"Si gadis tak bisa apa-apa ini yang menghabisi Naga, Noris," balas Arai. "Di sana ada Yudistira, mantan Yudistira, para petinggi Dharma, Katarsis, Peti Hitam, sisa Kencana Selatan, dan gadis culun itu yang menghabisi calon bencana kelima."
"Ngomong-ngomong, pasukan Bandung kapan sampai?" tanya Rio memotong percakapan mereka.
"Entah," jawab Arai.
"Menurut infonya, nanti malam mereka sampai," timpal Noris.
Benar saja, tak lama berselang dari pertanyaan Rio, ketukan pintu membuat Noris dan Rio menatap waspada ke arah pintu. "Siapa?" tanya Noris mendekat, tetapi tak ada jawaban.
"Rama?"
Masih tak ada jawaban. Hal itu membuat Rio dan Noris semakin waspada. Rio mengambil pisau di meja makan dan berjalan hingga posisinya lurus dengan pintu. Ia sudah bersiap untuk melemparnya. Noris berjalan ke pintu dan berhenti ketika memegang gagang pintu. Ia menatap Rio.
"Siapa, ya?" tanya Noris lagi sambil mengintip dari balik gorden, tetapi tak ada siapa pun di luar. Ia menoleh ke arah Rio dan memberikan tanda.
Rio mengangguk. Noris langsung membuka pintu. Ketika pintu terbuka, pisau Rio melesat cepat ke arah pria yang bediri di depan pintu. Namun, pria itu menangkap pisau Rio sambil tersenyum.
"Begini caranya memperlakukan tamu?" ucapnya.
Arai menyeringai menatap pria di balik pintu. "Dan apakah begitu caranya bertamu yang baik?"
Pria dengan rambut pirang kemerahan di depan pintu tertawa kecil. Di belakangnya ada tiga orang lagi. Mereka adalah anggota Satu Darah yang sempat menolong keluarga Martawangsa. Delapan orang Satu Darah berkumpul dalam satu rumah. Sesuatu yang besar akan terjadi.
Satu Darah yang baru saja datang langsung masuk untuk beristirahat. Arai, Noris, dan juga Rio menatap seorang pria berpakaian dalang.
"Siapa orang ini?" tanya Arai.
"Panggil dia Khataka," jawab pria rambut pirang.
"Khataka?" tanya Noris.
"Khataka bermakna pencerita. Dia cukup unik, dan aku sudah memberikan tes kecil untuknya. Dia layak berada di kelompok," balas pria pirang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Coffee : Next Generation
ParanormalPernah tertulis sebuah kisah, tentang empat anak indigo yang merantau ke kota yang katanya istimewa, dan membuka coffee shop. Lembaran baru kini telah terbuka. Anak-anak dari mereka, kini menapaki jalan yang pernah ditempuh oleh orang tuanya. Mantra...