6

371 157 49
                                    

"San, gue khawatir sama mereka. Mending lo balik kesana deh, gue takut kalo mereka kalah jumlah sama pasukannya Agas." ucap Reva khawatir.

Sandi menghela nafas berat. "Gue juga khawatir, Va. Tapi mau gimana lagi, gue gak mau Arka marah gegara gue ninggalin lo sendirian disini."

Sandi tidak membawa Reva pulang ke rumah, melainkan ke halte depan sekolah SMA Havesar karena keinginan Reva. Jujur Sandi khawatir dengan keadaan Reva yang baru saja dikeroyok oleh Felix dan dua antek anteknya. Tapi Sandi tidak bisa memaksanya, ia takut membuat Reva sedih dan kecewa padanya.

"Gak usah peduliin gue, lo balik sekarang kesana dan bantu Arka sama yang lain. Tolong, San." pinta Reva memohon pada Sandi.

Sandi berpikir sejenak, lalu cowok itu menggeleng kuat. Ia tidak boleh menuruti permintaan Reva yang satu itu karena bisa saja semakin membahayakan Reva.

"Gak, Va. Gue bakal tetep disini jagain lo. Gue yakin kalo mereka bisa atasin itu semua." ucap Sandi tegas mencoba meyakinkan keresahan Reva. "Oke? Lo tenang. Semua bakal baik baik aja kok. Percaya sama Arka, Chandra dan Harsa."

Reva menghela nafas lalu mengangguk pasrah. "Semoga aja mereka gak kenapa-napa,"

Sandi tersenyum tipis, lelaki itu meraih ponselnya dari dalam saku lalu mencari aplikasi games untuk menghilangkan rasa suntuk. "Mabar, Va?"

"Mobile legend?"

Sandi mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya yang sudah dimiringkan. Jari jemari lelaki itu bergerak lincah menekan tombol energi yang ada pada layar game.

"Login?"

"Enggak ah!" Reva menggeleng pelan, gadis itu meringis sambil mendempetkan pahanya. "San, kayaknya gue kebelet deh."

Sandi menoleh menatap Reva heran. "Kebelet apaan? Pipis? E'ek?"

"Pipis."

Sandi menghela nafas dan menipiskan bibirnya, cowok itu keluar dari playing game dan mematikan ponselnya. "Ayo, gue anterin ke toilet." ucapnya sembari bangkit dari duduknya.

"Gak! Gue bisa sendiri kalik! Lo tunggu disini aja, gue kesana dulu." Reva menunjuk toilet yang ada di dekat halte sekolah SMA Havesar. Tanpa menunggu lama lagi, Reva langsung berlari kearah toilet tersebut untuk melepaskan hajatnya.

"Oke, jangan lama-lama!" teriak Sandi kuat.

Reva tak menjawab, ia hanya membalas dengan acungan jempol. Setelah tiba di depan toilet umum tersebut, Reva melirik kedalam sana lalu melenguh panjang.

"Kenapa pakek gada air segala sih?! Gak tau apa gue udah kebelet banget ini!"

Tidak ada cara lain, Reva bergegas lari untuk mencari toilet umum yang ada di dekat situ. Persetan jika Sandi akan khawatir padanya nanti, tidak ada yang lebih penting saat ini selain melepaskan hajatnya terlebih dahulu.

.

.

Sandi melirik jam tangannya gelisah, cowok itu menjambak rambutnya karena Reva tak kunjung kembali. Sandi juga sudah menelpon gadis itu berkali-kali, tapi tak sekalipun teleponnya diangkat membuat Sandi khawatir jika terjadi sesuatu buruk lagi pada Reva.

"Va, kemana sih lo?" Sandi kembali mencoba menghubungi Reva kesekian kalinya. "Angkat dong, Va."

Sandi berdesis dan mengacak-acak rambutnya, selain takut Reva hilang lagi, Sandi juga takut dengan kemarahan Arka jika tahu dirinya tak bisa menjaga Reva.

          

"Arka pasti marah banget kalo tau Reva ilang lagi. Ya Tuhan, gimana ini..."

"Masih mending kalo Arka cuman marah, gimana kalo gue di hajar? Bisa mati gue!" Arka bergerak kesana kemari sambil menggaruk-garuk kepalanya gelisah.

Sandi terlalu resah memikirkan Reva hingga tak sadar jika di depan halte tempatnya berdiri sudah terparkir tiga motor teman temannya. Arka turun dari motor terlebih dahulu, cowok itu menatap heran gelagat Sandi yang seperti khawatir.

"San," panggil Arka pelan, ia menyentuh bahu Sandi menyadarkan temannya dari lamunan.

Sandi tersentak kaget hingga terlompat keatas kursi panjang didepannya. "Ar!" perasaannya semakin tidak karuan, ia merasa jika nyawanya di ujung tanduk.

"Apaan sih lo?"

Sandi turun dari kursi dan bergelayut di lengan Arka dengan wajah gelisah. "Ar, gue minta maaf."

Arka menepis tangan Sandi dari lengannya, ia merasa jijik jika disentuh seperti itu. "Kenapa lo?"

"San, lo kesurupan hantu penunggu halte?" Harsa menempelkan tangannya di dahi Sandi untuk mengecek kondisi temannya itu.

Chandra mengerutkan keningnya saat tak mendapati objek yang ia cari-cari sejak awal sampai di halte tadi.

"San, Reva mana?"

Deg... pertanyaan yang sangat ia takuti.

Arka tersentak saat menyadari jika tidak ada batang hidung Reva di sekeliling Sandi. Arka menarik kerah baju Sandi dengan perasaan khawatir, ia menatap tajam temannya itu.

"San, mana Reva? MANA REVA?!"

Sandi memejamkan matanya, ia menggeleng lemah. "Reva ngilang lagi, Ar. Tadi dia izin ke toilet tapi udah sejam gue tunggu masih belum balik sampe sekarang. Maafin gue, gue ceroboh."

Arka menghempas tubuh Sandi dan menendang kuat tiang halte itu meluapkan kembali emosinya yang memuncak.

"ANJING! KENAPA LO BIARIN DIA SENDIRI SIH HAH!"

Arka membalikkan tubuh Sandi menghadapnya. "Lo sadar gak kalo kita masih di pekarangan Havesar? Apa lo gak mikir gimana kalo Reva diapa-apain sama orang-orang gila deket sini?!"

Chandra menarik Sandi dari kekangan Arka, ia mendorong Arka untuk menjauh dari Sandi dan menenangkan emosinya. "Kontrol emosi lo, jangan sampai lo khilaf sampe mukul temen lo sendiri."

Arka menjambak rambutnya kasar, ia mengerang kuat dan meninju angin melepaskan amarahnya. Sandi dan Harsa yang melihat itu hanya terdiam, mereka sangat paham betapa sayangnya Arka terhadap Reva, gadis sebatang kara yang menjadi perempuan paling berharga di hidup Arka.

"Lo gapapa?" tanya Harsa menatap Sandi lemah.

"Gue gapapa, sorry gue gagal jagain Reva kali ini."

"Bukan salah lo,"

"Gimana kalo Reva benar-benar diculik lagi?"

Chandra menyentuh pundak Sandi. "Gue gak bakal segan buat bunuh orang itu kalo mereka berani nyakitin Reva lagi."

Arka menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan, ia menoleh ke belakang menatap ketiga sahabatnya yang juga sangat khawatir. Rasa bersalahnya memuncak saat melihat raut wajah Sandi yang tidak karuan.

DEAR, BABU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang