02

4 2 0
                                    

It's Only Me - Kaleb J

↻ ◁ II ▷ ↺

"Hai! Kamu Alvin, ya? Aku Rindu."

Ia belum pernah melihat anak perempuan itu sebelumnya. Satu minggu sejak kedatangannya, Alvin bahkan tidak pernah melihat satu pun anak kecil di tempat ini. Entah sebab dirinya yang nyaris tidak pernah keluar rumah atau karena anak perempuan itu bukanlah tetangganya.

"Cuek banget kamu. Tapi gak masalah. Mama bilang aku harus berusaha supaya bisa temenan sama kamu." Rindu merasa sudah dewasa dan anak laki-laki di hadapannya berusia dua tahun lebih muda. Itu artinya ia harus sering mengalah dan bersabar.

"Nih, buat kamu. Aku tadi beli dua." Tangan bergelang manik-manik merah muda menyodorkan segelas es krim berwarna putih ke hadapan Alvin.

Es krim vanila. Alvin ingat, terakhir kali ia memakan es krim ... tidak, ia tidak ingin mengingat. Kepalanya menggeleng. Berupaya menghapus ingatan-ingatan yang ingin ia lenyapkan.

"Kamu gak suka es krim vanila? Atau kamu gak suka es krim sama sekali?" Raut bingung Rindu muncul dalam jarak pendek di hadapan Alvin.

Alvin tidak menjawab. Bocah berusia sepuluh tahun itu memilih untuk kabur. Beranjak dari ayunan besi berwarna putih. Meninggalkan Rindu bersama es krim vanila yang menjadi ingatan buruknya. Alvin benci es krim vanila.


•••


"Sini, buat gue aja."

Es krim itu Vania beli untuk Alvin. Namun, gadis bernama Rindu yang selalu mengaku-ngaku sebagai kakak tersayang Alvin itu malah merebutnya sebelum sampai di tangan Alvin.

"Kak ... itu buat Alvin," kata Vania. Ucapannya terdengar pelan. Tampaknya gadis itu sedikit merasa kurang nyaman jika harus menegur Rindu. Akan tetapi, tidak memperingatkan gadis itu pun rasanya salah. Sebab, rasa kesal sudah mulai hidup di balik dadanya.

"Iya, tau. Alvin gak suka es krim vanila. Lain kali kalo mau beliin apa-apa buat Alvin itu tanya dulu." Rindu menjawab dengan begitu santai. Melihat wajah kesal Vania, membuatnya ingin membuat gadis itu semakin kesal.

"Sorry, Van. Rindu emang agak ngeselin orangnya. Apa perlu gue ganti aja uang lo?" Alvin merasa tidak enak. Gadis bernama Vania itu sudah sering berbaik hati padanya. Ia memang mencintai Rindu. Namun, membiarkan Rindu bertindak seenaknya juga bukan sesuatu yang dapat ia lakukan.

"Eh, gak perlu, Vin. Gue ikhlas, kok." Vania memasang senyum terbaiknya. Melihat Alvin bertingkah seperti itu membuatnya semakin menyukai pemuda berusia dua puluh dua itu.

"Udahlah, Vin. Ayo, pulang." Rindu menggandeng tangan Alvin. Menariknya menjauhi minimarket serta Vania yang berdiri sendiri di depan pintu. Senyum gadis itu perlahan luntur ketika Alvin selesai mengucapkan salam perpisahan.

"Lain kali jangan gitu lagi, Rin. Gue jadi gak enak sama Vania."

"Bodo amat. Gue gak peduli."

Rindu tetap seperti itu. Satu-satunya sifat Rindu yang rasanya ingin Alvin musnahkan kalau ia bisa. Gadis itu tidak peduli dengan orang lain yang tidak dekat dengannya. Ia kerap bersikap semaunya tanpa memikirkan perasaan mereka. Alvin mengerti, Rindu mungkin bermaksud baik menjauhkannya dari sesuatu yang membuatnya trauma. Namun, itu bukan cara yang tepat. Ia masih bisa mengatasinya sendiri tanpa menyakiti perasaan Vania.

"Batu banget, sih." Alvin mulai kesal.

"Lo jangan deket-deket sama Vania, deh. Gue gak suka sama tuh perempuan."

"Kenapa? Cemburu? Tiap ada yang deketin gue pasti gak lo restuin." Alvin menatap mata Rindu setelah mereka duduk di mobil.

"Enak bener mulut lo ngomong. Gue gak ngerestuin ya karena mereka gak baik buat lo. Gue maunya adek gue dapet cewek yang bener." Gadis membalas tatapan Alvin. Detik itu juga, Alvin menerima kembali fakta bahwa Rindu tidak menyukainya. Sebab, Rindu tidak akan berani menatap mata orang yang disukainya.

"Iya, tapi gara-gara restu lo, gue gak pacaran sampe sekarang." Tidak, bukan itu alasan yang sebenarnya. Alvin menolak mereka bukan karena restu dari Rindu. Melainkan karena ia hanya mencintai Rindu.

"Kenapa? Kok cemberut lagi? Gue gak bermaksud nyalahin lo, kok. Bercanda aja tadi." Alvin memang kesal beberapa menit lalu. Namun, melihat wajah cemberut Rindu membuat kekesalan itu hilang entah kemana.

Rindu baru saja sembuh dari demam serta flu. Tiga hari lamanya Alvin berupaya membuat gadis itu senang dengan menuruti semua keinginannya, termasuk hari ini. Rindu berkata ia ingin membeli banyak camilan. Sebab ia sudah tidak lagi sakit. Tidak ada pilihan bagi Alvin untuk tidak menurutinya.

"Sena bilang kemaren dia sakit. Makanya gak bisa dateng. Pantes aja perasaan gue masih gak enak." Rindu memilih menatap layar ponselnya. Tidak lagi memandang Alvin dengan tatapan menantang. Gadis itu kembali kehilangan kekuatannya.

Lagi-lagi Sena. Alvin tidak menyukainya. Pemuda paling tidak tahu diri sebab selalu bersikap semaunya hanya karena Rindu terlalu mencintainya.

"Anterin gue ketemu dia."

Namun, dari semua alasan ketidaksukaannya terhadap Sena, alasan paling menyakitkan yang Alvin sadari adalah Rindu selalu mencintai Sena dan ia tidak akan pernah bisa menjadi Sena.


1 September 2022

Seikhlas Awan kepada Hujan yang Mencintai BumiWhere stories live. Discover now