36

13 5 0
                                    


©©©

Nessi berjalan santai menuju kelasnya. Lalu saat ia hendak masuk, ia justru melihat keributan tak jauh darisana. Ada apa?

Karena keinginan tahunya lebih tinggi, Nessi berjalan melihat keributan hal itu. "Wah, kayaknya ada yang berantem. Seru nih!" Nessi tersenyum licik.

Nessi berhenti, saat melihat Jeno juga ikut menyaksikan keributan itu. "Ngapain lo disini?"

Jeno diam. Ia hanya menatap dua orang yang berkelahi itu. "Ada tontonan seru pagi ini," ucapnya.

Memilih tidak peduli dengan Jeno, Nessi berjalan lebih dekat, melihat siapa yang tengah menjadi biang keributan saat ini.

Namun saat Nessi tau kalau itu Jirrel, ia mendadak melunturkan senyumnya. "Jirrel?" gumamnya. Melihat luka dan darah Jirrel, membuat Nessi mengepalkan tangannya kuat.

Nessi langsung menoleh ke arah Jeno. "Lo gila?! Kenapa diam aja, hah? Lo tau kan mereka saudaranya Inara."

"Hm, gue tau. Maka dari itu gue diem," ucap Jeno santai.

"Cowok brengsek!!!" umpat Nessi. Ia kembali menoleh pada Jirrel, lelaki itu sudah banyak luka. Ia sangat khawatir. "Apa yang harus gue lakukan?!" erang Nessi mengusap wajahnya.

Selanjutnya, Nessi berlari, mencari seseorang yang dapat menghentikan semua itu. Ia menelusuri kelas sebelas satu persatu. Mencari keberadaan Inara.

"Dimana cewek itu?!" keluh Nessi.

"Nar, lo suka stroberi?"

"Hm ... lumayan."

"Eyy, masa sih?"

"Serius, Shila..."

Nessi lantas berlari ke asal suara. Dan benar, itu Inara dan Ashila. Nessi bernapas lega. "Ikut gue!" Nessi menarik tangan Inara.

Inara sontak menepis hal itu, "Ngapain lo? Gue udah gak ada urusan lagi sama lo."

"Lo pikir ini masalah kita berdua, heh?!" sentak Nessi. "Ini masalah saudara lo tau gak?! Mereka berantem."

Susu kotak dalam genggaman Inara sontak terjatuh, "A-apa maksud lo? Jangan bercanda."

"Lo pikir disaat seperti ini, gue bisa bercanda? Bodoh, cepat pergi kesana dan hentikan mereka. Atau gak, nyawa mereka berdua melayang."

Inara yang sudah menitikkan air matanya langsung berlari diikuti Ashila dan Nessi di belakangnya.

Keributan itu masih berlanjut, benar-benar tidak ada yang peduli. Bahkan tidak ada yang melapor pada guru.

Inara menutup mulutnya tidak percaya. Tapi, ada satu hal yang membuat Inara kecewa. Yaitu Jeno. Lelaki itu hanya diam saja, tanpa melakukan hal apapun.

"Gue akan lapor sama guru," ucap Ashila yang langsung diangguki Nessi.

Sedangkan Inara langsung menerobos kerumunan itu. "Hentikan!!"

Jirrel dan Harvin saling menghentikan pergerakan mereka.

"Kalian kenapa kayak gini, hm?" Inara terjatuh ke lantai, menangis tersedu. "Kalian janji sama gue gak bakal berantem. Tapi apa...?"

Inara terisak pilu melihat darah di wajah kedua saudaranya. "Kalian gak pernah dengerin omongan gue," lirih nya pelan.

Jirrel dan Harvin menjauhkan tangan masing-masing.

"Gue cuman punya kalian tau ga? Kalau kalian gini, nanti gue sama siapa hah?" Inara menatap satu persatu Jirrel dan Harvin. "Gue gak mau terus-terusan kehilangan orang yang gue sayang."

Hening. Baik Jirrel maupun Harvin menatap Inara dengan rasa bersalah.

"ADA APA INI?! KENAPA KALIAN BERANTEM?! IKUT SAYA KE RUANG BK." teriak Guru yang baru saja datang.

©©©

"Nara, lo gak papa, kan?" tanya Ashila khawatir. Ia memberikan botol minuman pada Inara, "Minum, Nara. Lo syok, ayo minum dikit aja."

Perlahan Inara meminum minuman itu walaupun sedikit. Mereka kini tengah berada di ruang UKS, karena ia yang mendadak lemas dan pusing.

Nessi yang tadi hanya menyimak pun berdeham, "Ekhm, gue pergi dulu kalau gitu."

"Iya, gak papa," balas Ashila.

Setelah Nessi pergi, datanglah Devan yang berseru dengan wajah khawatir. "Nara?!"

Devan mendekati Inara, "Lo gak papa, kan?"

Inara menggeleng. Kembali terisak menatap Devan. Hal itu membuat Devan sontak membawa Inara dalam pelukannya.

Ashila yang peka pun beralih meninggalkan mereka berdua.

"Gak papa," Devan mengelus kepala Inara dalam pelukannya.

"Gue khawatir banget, Van," lirih Inara yang terisak.

Devan terus mengusap rambut Inara. "Semuanya baik-baik aja. Gak papa, Nara."

Bagaimana bisa baik-baik saja? Hal yang selama ini Inara takutkan akhirnya terjadi. Jelas di depan matanya sendiri. Dan hal itu benar-benar menyayat hatinya.

"Gue cuman punya mereka di dunia ini. Gue gak punya apa-apa lagi, selain mereka, Van."

Devan hanya diam, membiarkan Inara terus mengeluarkan unek-unek di hatinya.

"Mereka jahat banget bikin gue kecewa."

"Nggak, mereka gak jahat sama lo. Hanya terkadang manusia gak bisa menahan nafsu amarahnya."

"Nara?!" seru Ashila tiba-tiba kembali datang. "Maaf ganggu, tapi ... saudara lo udah keluar dari ruang BK."

"Mereka kemana?" tanya Inara cepat.

"Gue gak tau."

Inara mengusap wajahnya, dan dengan sisa tenaganya ia berlari mencari Jirrel dan Harvin.

"Nara!!"





"Gimana ini, Van? Mereka gak ada di sekolah. Mereka kemana?"

"Hey, tenang dulu lo nya. Lo masih lesu, Nar," sahut Devan menenangkan Inara. "Mungkin mereka butuh waktu sendiri."

"Tapi mereka bikin gue khawatir."

Devan menghela napas kasar. "Gue tau. Tapi dengan keadaan lo saat ini..., lo yang bikin gue khawatir."

"Van...?"

"Semuanya akan baik-baik aja. Percaya sama gue. Mereka gak akan melakukan apapun, gue percaya mereka tidak akan melakukan hal yang buruk."

"Karena mereka juga sayang lo, Nara," lanjut Devan.

Jeno tersenyum getir menatap Devan dan Inara dari kejauhan. Ya, inilah kenyataan, Jeno tidak berhak ikut campur urusan Inara. Ia bukan siapa-siapa.

©©©

Three SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang