"Jadi... Kau adalah putra dari paman Gajah Mada?" tanya Sri Sudewi sembari menatap Arya yang saat ini tengah duduk di bangku yang berada di sebrang Sri Sudewi, pria itu nampaknya tak ingin memancing amarah dari Hayam Wuruk dengan duduk berdekatan di samping Sri Sudewi.
"Sayangnya, iya. Kedatanganku kesini pun, sebenarnya, hanya untuk memenuhi permintaan terakhir Ibuku. Beliau sangat mencintai Mahapatih Gajah Mada, bahkan di akhir hayatnya, beliau masih menyebut nama Mahapatih dengan senyuman di wajahnya, padahal... Mahapatih tak pernah menghiraukan keberadaannya selama berpuluh – puluh tahun," terang Arya sembari mencoba 'tuk memberikan senyumannya kepada Sri Sudewi.
"Aku turut bersedih akan hal – hal menyakitkan yang telah menimpamu, Arya. Jujur, aku terkejut ketika mendapati paman memiliki anak dari wanita lain karena... karena aku sempat mengira bahwa paman adalah tipikal pria yang bertahan di satu wanita," terang Sri Sudewi yang berhasil mendorong Arya 'tuk tertawa geli.
"Itulah sebabnya kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja, putri," ucap Arya yang dibalas dengan sebuah anggukan ringan oleh Sri Sudewi.
Untuk seperkian detik, baik Arya dan Sri Sudewi sama – sama disibukkan oleh pemikiran mereka masing – masing. Jika Sri Sudewi bergulat dengan pikirannya sembari menyesap secangkir teh hangat, maka berbeda dengan Arya, pria itu lebih memilih 'tuk menatap lekat wajah Sri Sudewi.
"Lalu... sekarang, apa yang akan Arya lakukan?" tanya Sri Sudewi penasaran sembari meletakkan cangkir tehnya ke atas meja yang tengah menengahi dirinya dan Arya.
Arya mengendikkan bahu kekarnya dengan sekenanya, pria itu tampak tak berminat 'tuk menjawab pertanyaan Sri Sudewi, namun ketika kedua netra hitamnya menangkan binar kekesalan di kedua netra Sri Sudewi, bibir pria itu tergelitik untuk tersenyum.
"Istri Mahapatih menerima keberadaanku, ia juga sudah lama memiliki kerinduan 'tuk mempunyai seorang pewaris,"
"Arya akan menjadi seorang bangsawan?"
"Mereka ingin seperti itu, namun aku tidak. Persaingan antar bangsawan serta segala peraturan bangsawan yang begitu kaku tak begitu cocok untukku," ucap Arya sembari mengulum sebuah senyuman.
"Lalu?"
"Mereka hanya mengangkatku sebagai anak. Istri Mahapatih juga bersikeras untuk memberikan nama akhirnya padaku," ucap Arya sembari menatap wajah Sri Sudewi dalam – dalam.
"Arya Bebed?"
Sepotong kalimat itu dibalas dengan sebuah anggukan oleh Arya. Seketika, sebuah senyum lebar menghiasi wajah Sri Sudewi. Sungguh, wanita itu tak menyangka jika bibinya, Ken Bebed, dapat menerima keberadaan Arya dengan berbesar hati, padahal, Arya adalah putra dari hasil perbuatan suaminya dengan wanita lain.
"Sudahkah saya mengatakan jika anda terlihat begitu cantik ketika tersenyum lebar, putri?"
Pujian bernada formal yang baru saja dilontarkan oleh Arya berhasil menyita kemampuan Sri Sudewi dalam menghirup oksigen. Wanita itu menahan nafasnya ketika ia mendengarkan kalimat pujian yang berhasil menggetarkan aliran darahnya itu.
"Te... Terimakasih, Arya," ucap Sri Sudewi lirih sembari berusaha sekuat tenaga 'tuk menenangkan jantungnya yang terasa begitu menggila.
"Bolehkah saya memperjuangkan anda, putri?"
Deg. Deg. Deg.
Jantung Sri Sudewi berdetak berkali kali lebih cepat dari biasanya, kedua tangan wanita itu mengenggam erat sisi – sisi gaun berwarna coklat gelap yang tengah melekat pada tubuhnya.
"Apa maksud anda, Tuan Arya?" ucap Sri Sudewi dengan nada yang tak kalah formal. Hal itu dilakukan oleh sang putri, semata – mata agar pria yang berada di hadapannya saat ini tak sadar jika kegugupan tengah melanda sang putri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...