Mata Taksa terbuka ketika suara barang terjatuh terdengar. Ia langsung keluar kamar, berdiri di tepi besi pembatas lantai dua. Kedua orang tuanya tengah bertengkar di ruang keluarga tepat tengah malam. Kakinya melangkah lebar menemui orang tuanya, berteriak meminta mereka untuk berhenti bertengkar. Taksa lelah dengan semuanya! Kiranya sudah cukup mereka membuatnya terluka!
"Ma, Pa, berhenti! Gak capek berantem terus?!" Sorot mata tajamnya menatap Soka dan Johan bergantian. "Taksa yang dengerin, yang lihat aja capek, Ma, Pa! Enggak malu sama Bi Roh dan Mbak Fah?! Kalian udah dewasa, seharusnya menyelesaikan masalah dengan kepala dingin!" teriak Taksa frustasi.
Plak! Tangan besar Johan menyentuh pipi sebelah kiri Taksa dengan keras. Pipi itu merah seketika. "DIAM KAMU! Papa gak akan tinggal diam saat orang yang papa sayang berani-beraninya selingkuh!" sentak Johan, wajahnya merah padam.
"Kamu sendiri yang memulai! Sadar, Mas!"
Plak! Johan menampar pipi Soka merasa tidak terima. Kemudian menarik paksa tangan Soka, menyeret wanita itu lalu di dorong ke depan, Soka tersungkur, jidatnya menghantam lantai.
Kepala Soka menunduk, air matanya berjatuhan di lantai. "Papa jahat!" Taksa menghampiri Soka dan memeluknya. "Ma, ada Taksa di sini," lirih Taksa. Soka berdiri. Taksa pun ikut berdiri di samping Soka.
"Memang seharusnya aku gak kembali ke rumah untuk sementara, Mas!"
"YA SUDAH SANA! KALAU PERLU ENGGAK USAH KEMBALI SELAMANYA!"
"OKE!"
🔪
Di bangku kelas empat sekolah dasar Taksa kecil berada. Duduk di pojok kelas sambil membaca buku PPKN. Mata pelajaran yang ia suka saat itu. Setiap hari ia harus belajar dan les private di rumah. Menjadi anak Johan dan Soka membuat dirinya dituntut untuk pintar dan serba bisa. Bahkan, ia harus bisa materi yang akan dipelajari di kelas selanjutnya. Di saat teman-temannya jajan di kantin, main di lapangan, Taksa harus di kelas mempelajari materi-materi di buku.
"Enggak usah sok pintar deh! Kamu gak sadar udah merebut semua yang pernah aku dapat?!" teriak anak perempuan berambut panjang yang dikucir kepang.
Taksa menatap temannya. "Aku enggak ambil milikmu. Aku cuma belajar," jawab Taksa apa adanya. Ia tidak pernah mengambil apa yang dimiliki teman perempuannya yang bernama Gendis.
"Iya, gara-gara kamu belajar aku enggak pernah ikut lomba lagi, aku enggak pernah dapat juara satu lagi! Aku dimarahi bunda! Aku diejek sama keluarga aku! Puas kamu?!" teriak Gendis tidak terima.
"Itu salah kamu, kamu sendiri enggak mau belajar!"
"Kok kamu nyalahin aku sih!"
Brak! Taksa menggebrak mejanya. "Kamu yang nyalahin aku! Kamu, bukan aku!"
"Gara-gara kamu! Salah kamu!" Gendis mendorong Taksa, tubuh Taksa jatuh ke belakang.
"Kamu kok dorong aku?!"
Tak sampai hanya disitu. Gendis menjambak rambut Taksa, menendang perut Taksa, melempari Taksa dengan buku-buku yang ia bawa. Gendis murka. Gendis benci dengan kepintaran Taksa.
"Mama, haaaaaa, sakit Gendis!" Tangis Taksa menjadi-jadi.
"Taksa cemen!" caci Gendis. Taksa tak bisa melawan karena sekujur tubuhnya sudah sakit semua. Tak ada yang memisahkan mereka karena keberadaan teman-teman mereka di luar kelas semua. "Awas aja kalau kamu ngadu ke mama papa kamu! Akan aku buang semua buku kamu! Aku sobek buku catatan kamu!" Setelah mengatakan itu Gendis keluar kelas. Taksa bangkit dan duduk di kursinya.
🔪
"Ini nilai kamu enam puluh?! Nilai macam apa?!"
Plak!
Soka menampar Taksa. "Memang kamu gak les semalam? Hari ini ada ulangan, tapi kamu gak les?"
Taksa mengangguk lesu.
"Jangan jadi anak pemalas kamu!"
"Aku capek, Ma ...."
"Alasan saja! Pasti kamu tidur kan?!" Mata Soka berapi-api. Ia murka melihat nilai Taksa di bawah KKM. Hasil yang sangat memalukan!
"Aku capek, Ma. Tadi pulang hampir Maghrib, soalnya harus belajar buat lomba Minggu depan," jelas Taksa.
Perjuangannya mendapatkan nilai bagus, sering mengikuti lomba, seperti apa yang diharapkan Johan dan Soka telah membuahkan hasil. Taksa sering tidur larut malam, dimarahi hampir setiap hari karena masalah tidak les. Taksa telah merasa lelah jika harus berkutat dengan buku sepanjang hari, ia butuh hiburan, liburan, dan istirahat.
"Enggak peduli!"
"Taksa janji enggak dapat nilai jelek lagi, tapi mama juga harus janji mau ajak Taksa liburan di akhir tahun ini. Janji, ya, Ma?"
"Dapat peringkat satu dulu sama dapat juara satu saat lomba nanti!" ucap Soka, lalu kembali ke kamarnya.
"Yeayyy!" sorak Taksa.
🔪
Tak terasa Taksa sudah naik ke kelas lima. Apa yang ia perjuangkan di kelas empat membuahkan hasil. Semua nilai yang didapat nyaris sempurna. Ia mendapat peringkat satu. Semua juara lomba diumumkan saat pengambilan nilai rapot. Sayang, waktu itu Johan dan Soka tidak bisa datang untuk mengambil rapot. Andai mereka datang, pasti mereka akan bangga dan Taksa akan sangat bahagia.
Di awal tahun pembelajaran ini, wali kelas memulai pertemuan. Struktur kelas dibentuk, dibimbing wali kelas. Bu Ainun—wali kelas kelas lima—sangat bangga memiliki anak didik bernama Taksa. Akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menjadi orang tua di sekolah kali ini.
"Ibu akan menunjuk salah satu dari kalian untuk jadi ketua kelas," ucap Bu Ainun.
"Pasti aku yang jadi ketua kelasnya! Karena aku yang paling aktif di kelas ini!" ucap Gendis. Memang, Gendis satu-satunya murid paling aktif di kelas, mulai saat masih duduk di bangku kelas satu sampai kelas empat kemarin. Hal ini membuat dirinya menjadi ketua kelas.
"Iya, pasti kamu!" jawab anak perempuan berkulit putih, bertubuh kurus, yang duduk satu meja dengan Gendis.
"Ketua kelasnya, Taksa."
Mulut Gendis terbuka lebar, matanya terbelalak. "Taksa?" Ia pun menatap Taksa, masih tidak percaya dengan kenyataan ini.
Taksa terkejut. Ia tidak percaya apa yang dikatakan Bu Ainun. "Bu Ainun enggak salah?" tanya Taksa.
"Seharusnya Gendis, Bu!" seru Didin—anak laki-laki yang duduk di depan meja guru.
"Iya, Bu!"
"Iya!"
Seru murid yang lainnya. Bu Ainun tersenyum. "Iya. Gendis memang aktif selama ini, Gendis juga bisa menjalankan amanah dengan baik, tapi kalau Gendis terus yang jadi ketua kelas, teman-teman yang lainnya gak akan bisa jadi pemimpin. Enggak akan tahu apa itu amanah. Jadi, untuk tahun ini, Taksa dulu yang jadi ketua kelas," ujar Bu Ainun menjelaskan.
Hati Taksa gelisah. Ia takut menjadi pemimpin. Nanti kalau ia tidak bisa bagaimana? Kalau ia bolak-balik disuruh ke ruang guru karena ada temannya yang bertengkar bagaimana? Kalau ia melakukan kesalahan bagaimana? Apa Taksa bisa? Taksa menjadi takut saat ini. Taksa takut memulai kesempatan baik ini. Taksa tidak yakin.
"Maaf, Bu. Taksa enggak bisa," cicitnya.
"Loh, kenapa? Taksa pintar, Bu Ainun yakin kalau Taksa bisa," ucap Bu Ainun meyakinkan hati Taksa.
Taksa terdiam. "Memang Taksa bisa? Ah, enggak, Taksa takut salah ...." batinnya.
Sering dimarahi, melihat orang tuanya bertengkar, juga dibully di kelas, membuat Taksa takut salah. Ia tidak mau kalau dimarahi terus, pasti dirinya akan semakin takut.
"Enggak, Bu. Gendis saja," jawab Taksa.
"Bu Ainun yakin, Taksa bisa. Dan, Bu Ainun enggak suka kalau keputusan Bu Ainun tidak di terima. Bu Ainun melakukan ini, karena Bu Ainun yakin kalau anak-anak ibu bisa. Nanti, yang jadi wakil kamu Gendis. Gendis akan bantu kamu kok. Iya 'kan Gendis?" Gendis hanya bisa mengangguk walau sebenarnya tidak terima dengan keputusan Bu Ainun.
"Gendis?"
"Iya, Gendis."
Taksa menatap Gendis. "Apa Gendis terima?" batinnya. Rasa takut pun semakin menjadi-jadi di dalam hatinya. Jantung mulai berdegup kencang.
"Selanjutnya, yang jadi sekretaris ...."
Setelah struktur kelas selesai dibentuk, Bu Ainun mempersilahkan anak didiknya istirahat. Saat itulah Gendis memiliki kesempatan untuk membully Taksa.
"Kalau enggak karena Bu Ainun, kamu gak akan jadi ketua kelas! Gak kayak aku! Karena aku aktif!"
"Betul tuh!" sahut temannya.
"Taksa mah enggak bisa apa-apa! Bisanya rebut kebahagiaan orang doang!" ucap Didin tidak terima.
"Iya, betul tuh betul!"
Hinaan pun meluncur dari mulut teman-temannya. Tidak ada hentinya mereka memaki Taksa, bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan dan membawa-bawa orang tua.
"Kita mah enak ya? Orang tua selalu datang saat ambil rapot, enggak kayak orang tua Taksa! Atau jangan-jangan Taksa gak punya orang tua? Dia anak pungut?" ucap Gendis menusuk-nusuk batin Taksa.
Taksa menunduk, matanya memerah karena ingin menangis.
"Iya benar! Orang tua Taksa gak sayang mungkin!" sahut Didin.
"Huuuh! Kasian!" tekan Gendis di telinga Taksa.
"Memang benar, seharusnya Taksa jadi anggota kelas saja," batinnya, lagi.
🔪