9. MALAM PERTAMA
Setelah melihat kondisi Ipunk yang sangat mengkhawatirkan, Malekha menolak saat aku mengajaknya pulang. Dia masih mau jalan-jalan karena selama ini dia jarang sekali melakukannya. “Buat apa jalan-jalan juga kalau cuma sendiri mah? Sekarang, kan, berdua sama kamu, jadi ada teman,” jawabnya saat aku bertanya kenapa.
Aku memang tak bisa menolak permintaannya, bukan?
Senja sudah merangkak naik saat kami keluar dari rumah sakit. Langit jingga keunguan tampak indah dalam pandangan mataku sore ini. Sayup-sayup orang mengaji terdengar jelas dari speaker masjid-masjid di sekitar.
“Ah, sebentar lagi Maghrib. Bisa antar aku ke masjid dulu untuk shalat?” ujarnya yang membuatku diam membisu untuk beberapa jenak.
Namun, aku memang selalu tak bisa menolak apa yang dia inginkan dariku selama beberapa hari ini. Meski aku tak mau, nyatanya sekarang motor besarku sudah terparkir rapi di pelataran masjid yang tak jauh dari rumah sakit. Adzan Maghrib pun menyambut kedatangan kami barusan.
“Kamu tidak apa-apa tunggu di sini?” tanyanya memastikan.
Aku hanya mengangguk dan mempersilakan gadis itu melaksanakan ritual ibadahnya. Namun, Malekha belum juga beranjak. Tampaknya dia masih mengkhawatirkan aku yang akan ditinggalnya seorang diri.
Kulihat ke sekitar dan dari luar sana berdatangan beberapa orang yang tampak tergesa menuju masjid. Para lelaki itu memakai pakaian rapi, beberapanya bahkan mengenakan sarung. Ada juga beberapa orang yang baru masuk ke pelataran masjid dan memarkirkan kendaraannya. Barangkali mereka akan shalat juga seperti Malekha.
Seorang bapak-bapak dengan penampilan religius—memakai sorban, kopiah, baju koko dan juga sarung—tampak mendekatiku sebelum masuk ke masjid. “Assalamualaikum,” sapanya ramah yang langsung kami jawab dengan salam serupa. “Ayo kita berjamaah, Nak. Sebentar lagi shalatnya akan dimulai,” ajaknya padaku dan juga Malekha yang masih bergeming di tempat.
Aku melirik Malekha yang mengangguk dan tersenyum pada bapak-bapak itu. Dia lalu menoleh ke arahku, tampak sedang meminta jawaban. Tanpa bisa kucegah, diri ini turun dari motor dan mengangguk padanya, juga pada bapak itu yang langsung berlalu pergi.
Aku dan Malekha berpisah di dekat pagar masjid. Dia hendak ke toilet wanita dan berwudhu di sana. Ragu, aku pun mengikuti jejak Malekha dan masuk ke toilet pria. Haruskah aku pura-pura membasahi diri agar terlihat seperti orang selesai berwudhu?
Sudah lama sekali rasanya aku tidak membersihkan diri dengan berwudhu. Apa aku masih ingat urutannya? Namun, buat apa aku melakukannya? Toh, nanti di dalam juga aku tidak akan shalat betulan, bukan? Bagaimana bisa orang sepertiku masuk ke masjid dan ikut shalat berjamaah dengan mereka?
Nyatanya, meski aku sudah hampir lupa caranya berwudhu, tetap saja aku mencoba melakukannya meski dengen gerakan terbata. Selesai berwudhu, aku langsung ke luar dan menghampiri Malekha yang tampak menungguku di sisi masjid. Dia melengkungkan bibirnya ke arahku.
“Memangnya tidak apa shalat dengan baju begini?” Aku menunjuk celana jins belel dan juga jaket kulit yang kukenakan. Untung saja tadi aku tak memakai celana jins robek favoritku.
Malekha bergumam pelan, “Tidak apa. Ayo cepat masuk. Sudah mau mulai.”
Kami pun berpisah di sana. Dia menuju pintu masjid bagian kanan, ke tempat khusus shalat wanita. Sementara itu, aku masuk lewat pintu depan menuju ke barisan pria yang sudah rapi di sana. Kupikir mereka akan mengolok atau mengabaikanku, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Mereka memberi ruang untukku dan mempersilakanku dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Kesucian Malekha
Romance"Aku seorang monster jalanan yang tidak pernah mendapatkan kepercayaan dalam hidup dari siapa pun. Bagaimana mungkin seorang gadis shalihah seperti dia memercayakan hidupnya padaku?" -Mahardika- "Aku tidak akan pernah bisa percaya pada siapa pun sel...