BAB 4. ANCAMAN

722 24 0
                                    

       Olivia, gadis malang itu kembali masuk kerumah sakit dengan kecelakaan yang berbeda. Urat nadinya hampir saja terputus akibat perbuatan nekadnya melukai diri sendiri.

      Almira pun tak bisa menghentikan aksi adiknya, tak bisa menyalahkannya juga. Ini terlalu berat bagi gadis berusia 16 tahun itu. Lebih menakutkannya lagi, jika suatu saat nanti Olivia hamil efek dari pemerkosaan sadis itu.

       Dokter menghampirinya, mengatakan jika Oliv terselamatkan. Namun kondisinya masih kritis, selain mengeluarkan banyak darah, ada masalah di urat nadinya yang menyebabkan gadis itu tak kunjung sadar.

      Lalu apalagi setelah ini? Belum juga mendapat perawatan dari psikeater, kini seolah Almira harus mengulang masa pemulihan Olivia dari awal.

     "Kak Almi kalau mau makan di kantin, biar Bian sama Geha yang jaga di sini". Ucap Bian pada Almira. Namun mendapat gelengan kepala dari wanita dewasa itu. Bian tahu, pasti berat menjadi Kak Almi. Apalagi kondisi Oliv yang sedang down-down-nya sekarang.

      Sedangkan Geha, ia hanya terduduk menunduk menatapi lantai sembari mengingat kembali betapa jahatnya ia pada Olivia. Gadis itu baik, ceria, bahkan sangat masuk kriteria Geha. Namun dirinya tak ingin Olivia mengacak acak fikirannya hingga membuatnya tidak fokus pada pendidikan.

      "Apa pelakunya belum juga ketemu Kak?". Tanya Bian memulai lagi percakapan.

      "Belum, jejak pun nggak ada. Karena Oliv nggak mau ngasih keterangan apapun. Kalau menurut Kakak, Oliv ini di ancam, biar nggak buka mulut sama polisi Bi".

      Bian menganggukan kepala tanda setuju. "Bisa jadi, makanya Oliv se-drop ini. Kalau dia nggak mandapat ancaman, nggak mungkin Oliv tutup mulut begini. Kak Almi pasti tahu, Oliv gimana anaknya".

     Almira menoleh ke arah Geha, menatap cowok remaja itu kasihan. "Geha kalau mau pulang, sama Bian juga. Udah malam, besok kalau mau jenguk sepulang sekolah nggak apa apa".

     "Tapi Kak Almi kan sendirian, Kak Arkhan juga belum pulang dari kantor".

     Almira mengulas senyum sembari menggeleng "Nggak apa-apa, paling bentar lagi juga pulang".

     Akhirnya Geha dan Bian memutuskan pulang duluan. Meninggalkan Almira di kursi tunggu sendirian.

*

    "Sialan! Kasus kayak gini bisa masuk ke televisi nasional?!". Batin seorang lelaki matang berusia 23 tahun bertubuh tinggi. Lelaki itu sedari tadi mengumpat berkali kali, saat melihat semua berita di tv menayangkan perkembangan kasus gadis kecil itu.

    "Gue nggak akan tinggal diam, lihat aja kalau sampai keberadaan gue terendus polisi. Rupanya dia nggak bener bener gunain kesempatan yang gue kasih dengan baik!".

    Lelaki itu mengambil jaket levisnya, memanasi motornya dan akan membuat perhitungan pada gadis itu. Tak sulit menemukan gadis polos yang masih seperti anak SMP itu, apalagi memberinya sedikit ancaman.

     Sesampainya di rumah sakit, Arfi langsung bertanya pada petugas bagian informasi, dimana letak kamar gadis itu. Nama lengkapnya pun sudah tersebar di berbagai media, jadi tak sulit untuk mencari jejaknya. Dengan berpura pura sebagai kerabat, mudah sekali mendapat informasi dimana Olivia di rawat.

     "Nama yang cukup manis". Batin Arfi sembari mengulas senyum jahat.

    Ia menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari ruangan Olivia. Setelah menemukannya, terlihat sosok perempuan berhijab tengah tertidur pulas di kursi tunggu luar, karena gadis itu masih dalam perawatan di ruang ICU.

     Pukul 11 malam, lorong cukup sepi untuk sekedar menyelinap masuk. Jadi sah sah saja bagi Arfi untuk melakukan hal itu.

    Terlihat, gadis manis itu terkulai lemah di atas bankar dengan tatapan nanar. Rupanya ia sudah siuman.

     Olivia terperanjat kaget, saat tiba tiba ada seorang lelaki berjalan mendekatinya tanpa terdengar bunyi langkah sepatu. Dengan cepat, Arfi melepas selang oksigen gadis itu dan membekap mulutnya.

     "Kalau lo berani teriak, lo mati sekarang juga! Dan Kakak lo yang lagi di luar itu, bakal ikut menderita selamanya!". Ancap Arfi cepat sebelum gadis itu membuka suara.

      Terlihat Olivia sudah bercucuran air mata, tubuhnya bergetar hebat sembari berusaha melepas tangan lelaki itu dari mulutnya. Sayangnya usahanya sia sia karena ia baru ingat bahwa ada luka di pergelangan tangannya.

      "Gue nggak main-main ya Olivia Alissya, pernyataan gue minggu lalu apa nggak lo gunakan dengan baik? Kenapa sampai polisi dan media tahu kasus lo ini?!". Introgasi Arfi dengan nada mengerikan.

      Olivia menutup mata rapat rapat, jantungnya terasa ingin lepas dari tempatnya, ia tak ingin kejadian minggu lalu terulang kembali.

     Olivia menghela nafas panjang, hampir tak sadarkan diri karena kehabisan oksigen, tapi buru buru Arfi melepas tangannya dari gadis itu, tapi justru beralih meremas luka pada pergelangan tangan Olivia.

    "Arrgghh, sakit!". Pekiknya di sela isak tangisnya. Oliv tak berani mengeluarkan suara kencang, atau lelaki itu akan bertindak lebih jahat lagi.

     "Gue udah lakuin apa yang lo mau, sampai sekarang, gue nggak buka suara di depan polisi. Apa itu kurang buat lo?". Tanyanya lirih sembari menahan perih. Mau tak mau, Olivia harus melawan, entah bagaimana caranya, namun jangan sampai membuat lelaki itu bertindak lebih gila lagi.

     "Apa ada media atau polisi yang nyebut nama lo? Atau ciri ciri lo? Nggak ada kan? Terus dimana gue nggak gunain kesempatan dari lo itu?". Lanjutnya dengan nada menekan, walau air mata terus membanjir, namun Oliv berusaha menatap kedua mata lelaki itu agar ia percaya.

     Arfi terdiam, menatap Olivia agak kasihan. Gadis itu begitu berantakan. Wajahnya pucat, bibir kering, dengan keringat dingin yang sudah membasahi kedua pelipisnya. Ia meregangkan remasan tangannya, tanpa sadar sudah membuat luka Olivia kembali bercucuran darah.

     "Lo mau apa lagi? Lo udah ngambil hidup dan masa depan gue. Apa itu masih kurang? Padahal kita nggak kenal, dosa apa sih gue sama lo? Gue cuma anak kecil biasa, kalau lo jadi korban kekalahan taruhan sama temen temen lo, cari perempuan yang mau sama lo, jangan seenaknya mungut perempuan di jalan terus lo perkosa". Ucap Olivia dengan penuh penekanan di setiap katanya. Membuat Arfi tiba tiba terdiam menatapnya tanpa kata.

    "Lo itu bejat tahu nggak!".

Plakk!

     Satu tamparan itu tepat mendarat di pipi kanan Arfi. Rasanya panas, ya, Arfi merasakan panas di kulit pipinya, begitu pula di dadanya.

     "Lo bilang gue sampah kan? Sedangkan lo sendiri? Kenapa lo mau mungut sampah dari jalanan? Hm?".

     Arfi terdiam, merasa sesuatu menusuk dadanya. Kalimat gadis ini benar benar membuatnya terdiam seribu bahasa, kalimat-kalimat ancaman yang sudah ia siapkan waktu di jalan tadi tiba tiba hilang dari kepalanya.

     "Gue nggak akan bilang apapun ke siapapun termasuk keluarga gue sendiri, karena itu konsekuensi lo udah membiarkan gue hidup sampai detik ini. Walau rasanya gue ini udah mati".

     Mendengar hal itu, Arfi menarik mundur tubuhnya. Berbalik badan melangkah keluar dari ruangan ICU itu. Baru kali ini ada seorang perempuan yang membuat hatinya merasa aneh. Dan perempuan itu adalah seorang gadis 16 tahun yang baru saja ia nodai dengan keji.

*

OLIVIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang