[1-28] How Could We Ever Just Be Friend

17.2K 1.3K 77
                                    

Jelita tersenyum menatap tubuh tinggi Jordan yang memasuki area restoran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jelita tersenyum menatap tubuh tinggi Jordan yang memasuki area restoran. Dibalut hem hitam kasual dan sebuah topi sewarna, ketampanannya bertambah. Kadang jantungnya masih berdesir tidak tahu diri begini setiap kali melihat Jordan. Meski harus dia akui itu hanya rasa kekaguman. Betapa pun semakin mempesona Jordan di matanya. Jelita tetap lebih excited pada pernikahan impiannya yang sudah di depan mata. Oh, dia sudah tidak sabar. Dia sudah mempunyai Evan.

Kinna menjerit. "Jor, Jor. Finally lo jadi dateng! Nih, bantuin Jeje milih dekor besok!"

Senyuman Jordan meluntur. "Maksudnya dekor buat acara resepsi lo besok, kan, Je?" dan Jelita mengangguk membuat Jordan tertawa hambar. "Gue nggak jago milih gituan, sih, Je. But If I'm not wrong you like purple, right? So, the theme color is purple!"

Jelita tertawa geli. "Ih, bisa aja lo, Jor! But, you're right!"

"Nah, pilihan lo pasti oke! Jadi, fix, ya!" putus Kinna.

Meski Jordan tidak tahu hatinya mendadak nyeri begini. Setiap kali membahas seputar pernikahan Jelita yang di depan mata. Meski dia coba untuk tidak mempedulikannya. Lalu bunyi dering ponsel Kinna menyeruak.

"Ah, si Kaleng jemput!" Kinna menggigit bibir, "dia pasti ngomel kalau gue kelamaan! Duh, kayaknya gue harus cabut sekarang, deh, beb," diliriknya Jordan panik. "Jor, it's okay? Tolong antar Jeje pulang, ya? Sekalian bantu dia pilih souvenir, tuh! Beb, you can discuss it with Jordan! Gue yakin pilihan dia lebih oke dari gue!"

"Okay!"

Jelita meringis. Lagi-lagi terjebak berdua dengan Jordan. Tadi dia masih sempat membayangkan Jordan dan boncengannya. Lalu menit-menit  selanjutnya tahu-tahu dia sudah di sini. Duduk di boncengan super tinggi CBR bendera merah putih ini tanpa bicara apa-apa. Meski beberapa kali Jordan mengajak bicara hal tidak penting, seperti:

"Je, masih inget warung choipan itu, nggak?" atau hal-hal aneh lainnya. "Kok tiba-tiba rasanya beda boncengin lo gini, ya?"

Jelita merajuk tidak suka. " Aneh gimana, sih, Jor?"

Jordan mengedikkan bahu. "Bentar lagi lo nggak bisa nebeng gue," kekehnya.

Jelita meringis. Ya, tidak bisa karena sebentar lagi dia akan berubah status menjadi istri orang. Jordan hanya teman baiknya. Sekarang mungkin sudah jadi sahabatnya karena mereka berbagi banyak hal. Bahkan opini tentang sederet list perempuan yang dijodohkan dengan laki-laki itu dan selalu berakhir gagal. Kadang Jelita masih membercandainya begini.

"Hei, how about Briana?"

"Briana, ya? She is nice and cute..." jawab Jordan.

"But?" gumam Jelita mendengar nada keraguan Jordan.

"She talks a lot and making jokes everytime."

"Jadi, Briana ini cocok sama lo, Jor," Jelita setengah bercanda, "cause you're too serious."

Jordan menghentikan motornya ke tepi jembatan. Hanya untuk mengirim jitakan dan tertawa puas saat Jelita manyun kesal. Berusaha membalasnya sepanjang jalan, Jordan terus menambah gas motor.

"Be careful, Jor! Awas! Marah, nih, gue!"

Jordan terkekeh, "gue emang membosankan. Briana pasti nggak betah hidup sama gue."

"Ya, tapi nggak perlu mukul pala gue, ih!" omel Jelita lagi, "poni gue berantakan, nih!"

Jordan tertawa melihat Jelita terus mengomel dan menggerutu. Oh, dia akan sangat merindukannya nanti. Selama tahun-tahun terakhir, Jelita adalah tempat ternyamannya untuk berbagi segala hal. Sahabatnya, bak sampah seluruh curhatannya, tempat dia merasa cukup, dan menjadi diri sendiri. Kalau dia bisa mengatakan jokes itu terus menerus. Dia ingin mengatakannya setiap hari di depan Jelita. Je, nikah, yuk. Jordan ingin mengatakannya setiap hari.

Nikah, yuk, Je? Rasanya kalimat itu selamanya hanya akan menjadi jokes.

"Jor," bisik Jelita lagi, tiba-tiba berperang di antara keberisikan lalu lintas di antara mereka. "Sebenernya lo itu asyik banget. Kalau lo berada di tempat yang 'tepat'."

Jordan hanya terkekeh melirik dari kaca spion. Berarti berada di samping lo itu tempat yang tepat buat gue, kan, Je? Karena gue bisa jauh lebih bebas. Rasanya Jordan ingin mengatakannya. Meski itu hanya akan tercekat di tenggorokannya saja.

"Hei, Je, I want to ask you something."

"Hmm?" gumam Jelita nyaris menabrak pundak Jordan dan segera menjauh. Kadang dia masih sering berpikir pundak Jordan adalah tempat terbaik untuk bersandar di kala lelah. Meski itu tak akan pernah dia lakukan.

"Waktu Kinna nikah, lo yang pegangin tangan gue," canda Jordan, "terus besok giliran lo nikah, siapa yang pegangin tangan gue? Gue bakal kehilangan one and only my sister... Don't forget, I'll always be your bro!"

"Briana, Jor... Briana bakal pegang tangan lo. Believe me, Jor. Lo harus buka hati lo buat Briana."

Dan Jordan merasakan tatapan matanya mendadak kosong. Hampa.

____tbc____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____tbc____

Question

1. Ada yang pernah di posisi ini? Punya pacar, tapi sayang sama sahabat pake banget?

2. Harus pilih sahabat atau doi yang akan menjadi suami?

______

An:

Terima kasih sudah mampir baca gaes..
Vote komen yang kenceng yaa

Thanks

Jetty JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang