BAB 8

20.2K 1.4K 35
                                    

Neina masuk ke ruangan dosen dimana ada beberapa dosen disana, namun ruangan Pak Farraz memang ada sekat tersendiri di dalam sana. Seketika ia mengikuti Pak Farraz masuk sambil memberikan senyumnya untuk dua dosen yang tampaknya hendak mengajar karena dilihat mereka sudah bersiap-siap ke luar ruangan.

Neina duduk tepat di depan Pak Farraz dan menanti apa yang ingin dikatakan oleh Pak Farraz.

“Kamu sudah memikirkan yang saya katakan?” tanyanya serius dengan mata menatap tepat di mata Neina, sehingga gadis itu tidak berkutik sama sekali.

“S-saya takut, Pak,” jawabnya pelan. “Apalagi hubungan kita saat ini adalah dosen dan mahasiswa.”

Ya, Neina memang takut hubungannya ini diketahui oleh anak-anak kampus sehingga ia nanti akan dijadikan bahan gosip.

“Tidak ada yang perlu ditakuti. Kalau kamu memang mau menjalani keseriusan sama saya, maka saya akan datang bersama orang tua saya untuk melamar kamu.”

Mata Neina melebar ketika Pak Farraz mengucapkan kalimat itu dengan gamblang. “P-pak, b-bisakah kita jalani pelan-pelan terlebih dahulu? Maksud saya, Kak Adel dan Mas Vano juga akan menikah, bukan?”

Mata Farraz seketika berkilat mendengar pernyataan itu. “Kalau begitu, maka kita duluan yang akan menikah. Saya bisa menikung mereka karena pendekatan mereka terlalu lama.”

“Bapak!” seru Neina tanpa sadar dengan suara yang lumayan keras. Ia lalu menutup mulutnya dan meringis. “Maafkan saya.”

Untung saja tidak ada dosen lain di ruangan ini sehingga Neina tidak menahan malu saat keluar ruangan nanti.

“Jadi, Akifah Neina Clemira, apa jawaban kamu?” tanya Pak Farraz seketika. “Saya bukan orang yang sabaran melakukan pendekatan terlebih dahulu dan berujung gagal. Kita bisa melakukan pendekatan setelah menikah kemudian baru memikirkan urusan rumah tangga kita ke depannya.”

Neina tampaknya memang tidak bisa menghindar lagi. “Apa Bapak yakin dengan keputusan Bapak memilih saya? Saya bukan cewek cantik dan juga modis. Saya juga banyak kurangnya.” Ya, tentu saja Neina merasa minder apalagi setelah melihat adik ipar Pak Farraz kemarin, membuatnya benar-benar merasa menjadi perempuan yang tidak layak untuk dipandang.

“Saya tidak peduli bagaimana kamu dimata orang lain, tapi kamu cantik di mata saya. Tidak hanya fisik, namun hati kamu juga.”

“Bapak tahu dari mana saya baik hati?” Mata Neina menyipit seketika.

Terlihat Pak Farraz menipiskan bibirnya. “Kamu tidak perlu tahu. Sekarang, apakah kamu bersedia menjadi pendamping hidup saya selamanya?”

Neina masih terlihat ragu. “B-bagaimana dengan orang tua Bapak? Atau orang tua saya? Lagi pula, saya masih kuliah.”

“Semester depan sudah semester akhir, bukan? Kamu tetap akan kuliah setelah menjadi istri saya.” Kini mata Pak Farraz terlihat menajam. “Apa ada alasan lain lagi? Atau kamu punya pacar?”

Neina dengan sigap menggeleng. “Saya nggak pacaran, Pak, soalnya saya benar-benar ingin menjadi seorang dokter bedah yang ahli dan hidup saya hanya saya dedikasikan untuk belajar dan belajar.”

“Bagus. Kalau begitu ada alasan lain kamu menolak saya?”

Neina menelan salivanya kemudian menggeleng pelan. “Nggak ada, Pak.”

“Jadi, kamu bersedia atau tidak?”

Tampaknya memang Neina benar-benar akan berakhir dengan Pak Farraz yang sama sekali tidak ada dalam ingatannya sedikit pun bahkan terbayang pun tidak.

“S-saya akan mencoba.” Neina menjawab gugup lalu menatap ada seringai puas di wajah tampan Pak Farraz. “Tapi, saya harap Bapak tidak pernah menyesal telah memilih saya.”

My Husband is Duda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang