❥ ljn x hrj omegaverse au;
mengabdi dengan keluarga keturunan alpha mungkin tidak seburuk yang Renjun pikir. apa Renjun terlalu positif thinking?
"𝙖𝙠𝙪 𝙥𝙞𝙠𝙞𝙧 𝙠𝙖𝙪 𝙩𝙞𝙥𝙚 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙥𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙥𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙮𝙖�...
"APA mungkin jadwal rut tuan Jeno mulai sebentar lagi ya?" Jisung yang tengah mempersiapkan barang bawaan, berandai-andai mencari penyebab sang tuan dengan wibawa yang terkenal tenang bisa berkata demikian.
"Kalau mendekati rut, memang dia jadi menyebalkan begitu?"
Jisung menaruh telunjuknya ke pelipis sembari mengingat-ingat kembali. "Nggg, tidak juga sih. Sepertinya penyebab penyebab dia seperti itu ya memang karena konfrontasimu." sang beta menarik kesimpulan.
"Kau tahu..." Jisung menoleh ke sekitar memastikan tidak ada yang mendengar. "Alpha mana yang tidak murka kalau didudukkan seperti itu, hyung. Apalagi dengan yang tak sekasta dengannya seperti kita para beta. Wajar saja kalau dia tidak terima." bisiknya.
'Huh? menyakiti harga diri mereka para alpha maksudnya? Ck dasar berlebihan.' cibir Renjun.
"Kau beruntung masih berada disini."
Beruntung?
Apa Jisung tidak salah ucap? sejak pertama kali menapakkan kaki sampai dengan saat ini, tidak sekalipun Renjun merasa dirinya 'pernah' beruntung. Yang ada Renjun tidak henti menyalahkan dewi fortuna karena menelantarkannya begitu saja terhempas dengan derita. "Haha, sebentar lagi juga aku pergi seperti yang lainnya. Tunggu saja."
Jisung langsung mendengar jawaban pesimis yang keluar dari mulut Renjun. "Jangan berkata begitu, hyung. Aku yakin kau akan tetap disini." bantah sang beta dengan nada yang membuat Renjun ingin memeluknya.
Kedekatan yang terjalin antara Renjun dan Jisung yang baru beberapa minggu bekerja bersama, membuat ia 'agak' sedih kalau pada akhirnya Jeno benar-benar mengusirnya. Jisung sudah Renjun anggap sebagai adik kandung. Serba-serbi mengenai Jeno yang seringkali diingatkan Jisung, amat sangat berguna bagi Renjun dalam memudahkan menuruti permintaan sang tuan.
Sedih sih. Tapi kalau dibilang menyesal, menurut Renjun tidak ada yang perlu disesalkan. Menurut Renjun, Jeno memang pantas mendapat 'a piece of mind' setelah meninggalkan kata yang kurang berkenan di hatinya.
"Lain kali jangan biarkan emosimu meledak-ledak lagi ya hyung. Aku tak mau kehilangan teman terdekatku di mansion ini." bisik Jisung sembari menggelendoti Renjun dan menempelkan wajah berparas hamsternya dengan raut yang memelas.
"EHM."
Suara dehaman disertai aroma familiar Cedarwood sontak membuat kedua insan yang tengah berdekatan itu menbentang jarak.
"Selamat pagi, tuan." sapa Jisung seraya membungkukkan badan yang langsung diikuti Renjun kemudian.
"Pagi, Ji." balas Jeno singkat sebelum berlalu melewati keduanya.
Melihat sang alpha sudah berjalan kearah pintu depan tanpa bertegur sapa, Renjun bergegas meraih barang-barang yang sudah Jisung siapkan, lalu berjalan mengekori Jeno dari belakang.
"Hati-hati di jalan, tuan." sahut Jisung yang langsung dibalas lambaian tangan oleh Jeno. Renjun turut menoleh dan melambaikan tangan kearah Jisung setelahnya, dan sang beta langsung membalas dengan gestur mengepalkan tangan sembari berkata tanpa suara, "Good luck, hyung!"
ミ★
SEPERTI yang Renjun duga, tidak terucap satu patah kata pun yang keluar dari mulut tuannya. Renjun merasa tidak biasa akan hal itu. Walaupun biasanya juga tidak banyak bertukar suara, Jeno selalu memastikan tidak ada kesunyian tidak nyaman yang terjadi selama dalam perjalanan.
Sang alpha sealu menginisiasikan small talks. Entah tentang cuaca, berita, ataupun hal tidak penting dan tidak berhubungan dengan pekerjaan lainnya.
Berbeda sekali dengan pagi ini. Jeno dan Renjun bahkan sama sekali tidak bertukar pandang padahal keduanya sama-sama duduk di bangku penumpang. Jeno sibuk melihat kearah jalanan entah apa yang menarik di luar sana, sedangkan Renjun, tidak tahu harus menghadap kearah mana karena otaknya tidak berhenti mengeluhkan tensi yang dirasakan.
'ugh, menyiksa sekali.' keluh Renjun.
Sepertinya Jeno sudah memantapkan hati untuk menyingkirkan Renjun hari ini. Ya kalau itu memang sudah rencana dan keputusan Jeno, sebagai pihak yang dipekerjakan, Renjun harus menerima dengan ikhlas hati.
"Ma-maaf tuan, kau terlihat lelah. Mau kupesankan kopi sebelum pertemuan?" Renjun mengorbankan diri untuk memecah keheningan yang membuatnya ingin teriak dengan kencang. Namanya juga bawahan. Mana mungkin atasan menurunkan ego untuk memulai duluan.
"Ice americano."
Jawaban Jeno menyematkan sedikit senyum karena tidak berekspektasi sang alpha akan membalas dengan segera. "Ba-baik, apa mau ditambah extra shot, tu..." belum selesai Renjun bertanya, Jeno sudah memasangkan wireless earphone di telinganya seakan mengisyaratkan Renjun untuk tidak mengajaknya bicara.
Luntur sudah senyum yang tadi sempat Renjun sematkan. "Ah....oke...baik tuan." Renjun tetap menjawab meskipun ia sadar Jeno juga tidak akan mendengar. Melihat reaksi Jeno barusan sepertinya sang alpha belum bisa memaafkan atas konfrontasi yang Renjun tumpahkan.
'Haaaaah' Renjun menghela napasnya dalam. Kali ini giliran Renjun yang memalingkan wajah dan menatap kearah jendela sembari menatap rontokan sakura bermekaran yang menghinggapi kaca mobilnya.
'Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang melelahkan'
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
JUNG Jeno melepas wireless earphone yang sejak tadi digunakan untuk menghindari segala kontak dengan sang bawahan sesampainya mobil yang mereka tumpangi memasuki area gedung perkantoran.
Bukan karena Jeno belum memaafkan? bukan. Tapi karena Jeno merasa malu dengan sikapnya kemarin malam yang setelah semalaman dipikir ulang, amat kekanakkan. Mana Jeno pakai acara meninggalkan ruangan dan membiarkan feromon dominannya menyebar. Duh, tak henti-henti menepok jidat kalau Jeno ingat-ingat.
Entah apa yang merasuki sang alpha sampai seseorang dengan sertifikasi advance dalam manners, speaking, dan etiquette sampai mengatakan hal yang menyinggung hanya karena terbawa suasana. Terlebih yang dikatakan bukanlah sebuah fakta. Kalau di masa sekolah sebelum dia menapaki usia dewasa mungkin dibiarkan. Namanya juga masa transisi dan pubertas menuju kedewasaan. Tapi kalau untuk sekarang, sepertinya hal itu tidak lagi diwajarkan. Jeno sudah tidak lagi muda. Pemilihan kata yang keluar dari mulutnya berasal dari kesadaran penuh alam bawah sadarnya. Kalau sampai sang kakek tahu, beliau pasti merasa kecewa.