Dengan yakin yang berada di puncak kepala, Alif memilih Hanna. Wanita itu adalah jawaban atas doa-doa yang selalu ia senandungkan lebih keras akhir-akhir ini.
"Terima kasih karena sudah bertahan hingga sekarang, Na. Makasih. Saya nggak tau akan bagaimana jika kamu pergi. Seutuhnya, seutuhnya hati saya milik kamu," lirih Alif, mengukir senyum untuk pilihannya.
Lelaki itu ingin menyimpulkan bahwa Hanna tengah menunaikan sholat tahajud, namun ia ingat bahwa mukena wanita itu bahkan masih ada di kamar. Entah Hanna lupa, atau entah karena ia tidak tidur sampai bisa sesantai ini meninggalkan sholat sunnah yang tidak pernah ia tinggalkan satu hari pun, kecuali jika ia sedang berhalangan. Namun Alif tidak mau mengganggu dengan mengetuk kamar di mana wanita itu berada sekarang. Dia juga tidak akan tidur, melainkan turun ke lantai dasar untuk mengerjakan sesuatu.
Tubuhnya diregangkan, Alif menyalakan lampu dapur, membuka kulkas melihat bahan makanan yang tersedia. Ia mulai menyalakan kompor, ingin memasak makanan yang bisa ia masak demi menyenangkan istrinya. Walau dia sadar, masakannya tak mungkin seenak milik wanita itu.
Keringat mulai bercucuran di dinginnya pagi ini. Keringat yang membuat Alif menyadari, bahwa menjadi wanita sangatlah sulit. Dia baru diserang panas api kompor saja rasanya ingin menyerah. Apalagi ditambah dengan lelah badan atau bahkan rasa kantuk karena harus bangun pagi buta untuk membuat sarapan yang bahkan habis tidak lebih dari sepuluh menit.
Cah kangkung dengan ayam goreng ala Alif telah siap. Seraya menunggu Hanna bangun, yang pasti akan sebentar lagi karen adzan subuh sudah berkumandang, Alif bergegas ingin naik ke atas untuk mengganti pakaiannya yang kotor.
Tepat di depan tangga, ia berpapasan dengan Hanna. Kaget, tentu. Ia diam sejenak sebelum akhirnya memeluk tubuh Hanna yang tampak lemas. "Na, maafin saya untuk yang semalam. Saya salah. Saya menyadari itu. Saya ingin meminta maaf, tapi kalau kamu belum mau memaafkan, tidak masalah. Yang penting jangan lama-lama ya, marahnya."
"Oh, ya. Makasih karena kamu sudah bentak saya. Bentakan kamu bikin saya sadar akan sesuatu."
"Lif, bisa tolong lepasin saya."
"Na, kamu kenapa," heran Alif karena Hanna terlihat berusaha keras untuk melepaskan diri, pun berusaha untuk menghindari kontak mata dengannya.
"Lif, saya minta tolong. Tolong jauhi saya sampai kamu tau jawabannya. Untuk sementara kita juga lebih baik pisah ranjang. Selama apapun saya akan tetap menunggu, asal kamu tau dan yakin bahwa jawabannya memang dari petunjuk yang Allah berikan."
"Satu lagi. Saya tidak tau ini akan menyakiti kamu atau tidak. Tapi saya tebak kamu pasti akan bersikap biasa saja. Saya hanya ingin memberi tahu, kalau saya bertahan dalam rumah tangga ini karena Allah membenci perceraian. Cinta saya pada kamu masih ada, tapi semenjak terkahir kali kita ribut besar sampai saya harus pergi, saat itu juga saya menghentikan laju cinta saya pada kamu. Itu karena saya takut, kalau selepas bisnis kamu usai, kita akan berpisah. Saya tidak mau menanggung sakitnya lebih dalam."
"Lif, saya tidak akan memaksa. Jadi kalau kamu keberatan, lepaskan saja tanpa merasa tidak enak hati, hanya karena saya sudah membantu kamu. Kalau bahagia kamu bukan sama saya, saya ikhlas. Lebih baik melepaskan, dibanding hanya dijadikan bayang-bayang. Saya mau jadi peran utama, bukan peran pembantu."
"Maksud kamu apa sih, Na. Siapa yang bilang kalau saya nggak akan sakit hati. Sakit, Na. Sakit denger kamu bilang cinta kamu buat saya seolah berhenti. Saya tau itu memang salah saya. Tapi boleh kan, Na, saya minta kamu untuk mencintai saya lebih banyak lagi."
Alif seperti dua orang yang berbeda. Semalam dia menjerit keras memakinya bahkan menghina Tuhan dengan lantang. Namun pagi ini, suaranya bahkan lebih pelan dari miliknya. Sikapnya begitu lembut, merengkuhnya kembali dengan pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PHOSPHENES (END)
Spiritual"Gue, jatuh cinta sama lo? Mustahil!!" --Alif Jenggala Putra "Saya serahkan rumah tangga kita sama kamu. Kamu kepala rumah tangganya, kamu juga yang menentukan kita akan berakhir menjadi seperti apa." --Hanna An Nazwa. "Saya menyesal." --Alif Jengga...
21. Memilih Dia
Mulai dari awal