9.Hujan di hari minggu.

132 25 5
                                    

Selamat pagi, siang, sore, malam Lupii♡

So, hw r u today?

Don't forget to smile :)

Hwaiting!!!

♡ Happy Reading♡

_________________________

-Hujan di hari minggu-

* * * *

Pagi hari tak bertemu mentari, karena sang bagaskara hirap tertutup mega hitam. Hawa dingin yang berhembus, masuk melalui celah jendela juga pintu. Kania semakin bergulung di dalam selimutnya, enggan untuk bangun dengan pagi yang dingin ini.

Drrtttt ... drrtttt ... .

Dering ponsel-nya membuat Kania harus mengurungkan niatnya untuk bermalasan di hari minggu yang basah. 

"Iya, halo?" tanya gadis itu, pada seseorang di seberang sana.

"Lo jadi panitia juga, 'kan?" seseorang dengan suara yang asing di seberang sana, membuat Kania melirik ponselnya heran. 

Nomor tak dikenal.

"Siapa?" 

"Gue Reani, yang waktu itu. Kita ketemu di dekat kantor guru."

Kania mengernyit tipis, hingga akhirnya mengangguk kecil.

"Panitia apa?" 

"Hari batik nasional, bakal ada acara di sekolah. Dan nama lo terdaftar sebagai panitia."

Kania semakin di buat bingung, pasalnya ia tak pernah merasa unjuk diri untuk ikut menjadi panitia acara. Karena Kania, tak begitu suka berada di tengah keramaian.

"Siapa yang ajukan nama gue jadi panitia? Gue gak ngerasa pernah daftar jadi panitia?" 

"Hehe, sebenarnya gue. Tapi gak ada maksud jahat kok, gue cuma mau kenalan sama lo lebih jauh lagi. Siapa tahu kita bisa jadi sahabat, 'kan?

"Gue gak ikut!!"

Kania memutus panggilan sepihak, selain diawali dengan pagi hari yang dingin, hari gadis itu juga dimulai dengan rasa kesal atas kelancangan Reani. Siapa dia? Bahkan Kania tak tertarik menjadi temannya, apalagi sahabat?.

Kania bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menuju meja belajar, menulis sesuatu di sana.

Gue kesel! Pen bunuh! 

Setelahnya, Kania menusuk-nusuk kertas tersebut dengan mini cutter, dan mencoretnya dengan spidol berwarna merah. Sebagai salah satu manusia dengan cilent treatment, hal ini cukup sedikit membantunya melepaskan kekesalan. 

Setelah emosinya teredam, gadis itu meneguk habis segelas air putih di meja, lalu berjalan menuju balkon kamar. 

Hujan masih terlihat lebat, bau petrichor sudah pasti menguar. Angin yang berhembus, membuat hujan ikut membasahi separuh lantai balkon kamarnya. 

Karena Dia Perempuan. | END |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang