Chapter 15

2 0 0
                                    

Devdas yang keluar dari portal memiliki wujud kepala ular dan memiliki 4 kaki. Mereka mulai mengendus-endus tanah sekitar. Jumlah mereka tidak banyak, tapi dengan ukurannya itu sudah cukup untuk membunuh manusia biasa. Tubuh mereka dipenuhi sisik berwarna hitam legam dengan ujung ekor membulat seperti sebuah palu yang sangat besar. Mereka memiliki mata yang dapat bercahaya merah di malam hari. Aku dapat merasakan ketakutan mengalir di seluruh tubuhku. Setiap kali aku melihatnya, bayangan mayat orang tuaku selalu muncul di pikiranku.

Kreeeekkk.... Salah satu rumah membuka pintunya dan menyebabkan bunyi yang sangat nyaring. Salah satu Devdas yang mendengarnya langsung menoleh dan berlari dengan sangat kencang ke arah orang itu. Rahangnya dibuka lebar-lebar dan menunjukkan 2 pasang taring yang sangat tajam. Menghilang. Aku mengarahkan belatiku dan menebas secara vertikal, aku berhasil menggores cukup dalam di lehernya. Devdas itu menoleh dengan mata merahnya. Dia menembakkan cairan racun dari mulutnya. Aku berusaha menghindar, tapi tanganku terkena beberapa tetes racunnya. Cuiih.... Aku menembakkan api dari tanganku dan mengarahkannya ke mulut Devdas yang masih terbuka lebar itu.

DUAAAARRR.... Mulutnya yang terbakar meledak seketika. Napasku mulai sesak, sepertinya racun itu mulai menyebar di tubuhku. Aku tertunduk lemas, racunnya bereaksi dengan darahku. Penyembuhan. napasku masih belum stabil, sepertinya aku harus menggunakan skill penyembuhan lagi. Penyembuhan. napasku mulai stabil tapi kakiku masih sedikit lemas. Telekinesis. Aku mengayunkan tanganku ke kanan dan ke kiri, Devdas yang jaraknya 2 meter dariku terpukul mundur. Aku memaksakan kakiku dan melompat sambil mengarahkan belatiku ke depan.

ARRRRRGGGGHHH.... Belatiku ke ayunkan ke atas sampai kepalanya terbelah menjadi dua. Aku menoleh ke Devdas terakhir yang menatapku dengan sangat tajam. Baru kali ini aku melihat Devdas yang ketakutan. Keempat kakinya gemetaran seperti sedang menghadapi kematian. Aku mendekatinya sambil memutar belati di tangan kananku.

"Apa kau takut? Apa ini pertama kalinya kau berhadapan dengan kematian?" Tidak ada jawaban darinya, hanya suara mendesis yang dikeluarkan. Aku memberi kekuatan pada kedua kakiku dan melompat ke tubuhnya.

"Aku akan mengakhirinya dengan cepat." Aku menusuk dan merobek leher hingga ke badannya.

Ketika semua Devdas berhasil kubunuh, portal tempat dia keluar mulai menutup. Apa aku sudah berhasil, Ayah-Ibu? Suara pintu terbuka mulai terdengar dari setiap rumah yang ada. Sepertinya mereka penasaran dengan keributan yang terjadi. Menghilang. Aku menyelip di antara keramaian orang yang sibuk menyaksikan 3 mayat Devdas yang sudah tidak berdaya.

Aku berbaring sambil mengamati tanganku yang terkena racun tadi. Bagian kulit yang terkena racun mulai memucat. Skill penyembuhanku tidak dapat mengatasi perubahan warna ini, tapi untung saja cuman beberapa tetes.

Knock Knock.... Knock Knock.... Aku terbangun karena suara ketukan itu. Aku langsung bangkit dari tempat tidurku dan membukakan pintu. Aku mengira jika yang mengetuk pintu kamarku adalah Helen, tapi aku salah. Seorang prajurit kekaisaran dengan zirah lengkap berdiri tepat dihadapanku. Dia menunjukkan selembaran berita mengenai Devdas yang kubunuh tadi malam.

"Apa kau tahu mengenai ini?"

Aku mengangguk. "Iya aku tahu, bagaimana mungkin aku tidak tahu mengenai Devdas yang muncul di depan penginapan yang kutempati."

Dia memegang dagunya. "Apa kau tahu siapa yang sudah membunuh mereka tadi malam."

Aku memasang wajah datar, aku tidak boleh menunjukkan ekspresiku. Aku menggeleng. "Aku tidak tahu sama sekali. Aku keluar ketika mendengar suara teriakan dan ketika aku keluar sudah tidak ada siapa-siapa disitu selain warga di sini. Yang tersisa hanyalah 3 mayat Devdas itu."

          

Prajurit itu masih menatapku dengan curiga, tapi akhirnya dia menghela napas pasrah. "Baiklah, terima kasih atas informasinya."

Aku mengangguk.

Helen mendatangiku dengan tampang penasaran. Dia menoleh ke arah prajurit yang pergi meninggalkan kamarku. "Ada apa, Eric?"

"Dia hanya menanyaiku tentang tadi malam." Aku menjawab dengan santai.

Helen menatapku dan tersenyum jahil. "Bukankah yang membunuh Devdas itu adalah kamu?"

Aku langsung menutup mulutnya dengan tangan kananku. "Tssstt.... Tssstt.... Ba... bagaimana kau bisa tahu?"

Helen mendorong tanganku dari mulutnya. "Aku kan menontonmu tadi malam, hehe..."

"Serius?"

Helen mengangguk. "Bagaimana mungkin aku tidak menonton pertarungan yang menarik seperti itu. Walaupun aku sempat panik ketika tiba-tiba kamu tertunduk."

Aku menyentil kepalanya. "Kamu bilang itu menarik, aku hampir mati tahu."

Helen menggerutu kesal. "Sebenarnya aku ingin membantu, tapi aku hanya akan jadi beban jika ikut bertarung bersamamu."

Aku tidak bisa membantahnya. Sebenarnya dia bukan beban, hanya saja aku tidak bisa bertarung dengan leluasa jika sambil melindunginya. Kurasa sebelum perjalanan kita nanti, aku akan mengajarinya beberapa cara bertarung. Aku mengelus kepalanya pelan.

"Ayo kita pergi ke Elder Arena sekarang."

Wajah kesalnya sudah berubah menjadi senyuman. "Ayo, Eric."

Kami berjalan bersama barisan warga yang berantusias dengan acara ini. Tempat yang dipakai untuk Elder Arena adalah sebuah bangunan besar yang berbentuk setengah lingkaran. Bagunan ini adalah aula besar kekaisaran Zandrenth. Setiap ada acara besar kekaisaran maka akan di adakan di bangunan ini. Aku mengamati bangunan yang memiliki tinggi 20 meter ini dengan sangat takjub. Dindingnya yang berwarna cokelat terang membuat bangunan ini terlihat kokoh dibandingkan dengan bangunan-bangunannya. Kami memasuki sebuah pintu besar yang menjadi satu-satunya jalan masuk dan keluar di bangunan ini. Para kontestan yang ikut bertanding sudah masuk terlebih dahulu ke dalam, sehingga hanya tersisa para warga yang tertinggal diluar.

Aku dan Helen memilih tempat duduk paling depan, sehingga kami bisa melihat seluruh pertandingan dengan lebih leluasa. Ini pertama kalinya aku datang di acara Elder Arena. Jantungku berdegup sangat kencang, bukan karena melihat sesuatu yang mengerikan tapi justru adrenalinku yang meningkat karena tidak sabar melihat pertarungan antar hunter.

Seorang pria berpakaian zirah lengkap dengan sebuah pedang panjang di tangan kanannya masuk ke dalam arena. Dia menusukkan pedang tersebut ke sebuah batu hitam besar. Semua perhatian penonton tertuju kepadanya ketika pria itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Mohon perhatiannya para penonton sekalian. Saya Baldric Wilxes akan menjadi wasit yang memandu jalannya acaranya ini dengan adil." Semua penonton bertepuk tangan dengan meriah.

Dia menyentuh pedang yang di pegangnya dan membuka gulungan kertas yang dipegangnya. Dia membacakan mantra yang tertulis di kertas itu dan cahaya yang sangat terang keluar dari pedang yang tertancap itu. Semua mata takjub dengan apa yang terjadi di dalam arena, tidak ada kata yang keluar dari mulut para penonton, kami hanya diam terkesima sambil terus menatap ke pedang yang cahayanya mulai memudar itu.

Pria itu mengembalikan gulungan kertas itu kembali ke tasnya. "Ini adalah pedang suci, Calibur. Ini akan menjadi hadiah bagi yang memenangkan Elder Arena ke-12."

Sontak penonton kembali bertepuk tangan dengan meriah. Kegembiraan penonton semakin menjadi-jadi ketika memanggil 2 petarung pertama.

"Mari kita sambut 2 kontestan pertama kita Druettus dari Tarold dan Albert dari Zandrenth."

Wajah bahagiaku langsung berubah ketika nama Albert disebut. Kurasa aku akan melihatnya lagi setelah waktu yang lama. Aku akan mengamati cara bertarungnya dan mencari tahu kekuatan apa yang dia peroleh. Aku kembali teringat kata-kata Gordon, kalau memang Albert adalah salah satu dari para raja palsu, maka aku harus segera membunuhnya.

Seorang dengan tubuh yang besar memasuki arena. Semua penonton bersorak sangat keras menyambutnya dan meneriakkan namanya.

"ALBERT.... ALBERT.... ALBERT...."

Aku satu-satunya orang yang tidak menyambut kedatangan kontestan itu dengan kebahagiaan. Aku menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Jika saja ini bukanlah sebuah acara, aku pasti sudah melompat masuk dan menyerangnya. Aku harus bisa menahan diri, kalaupun aku menyerangnya sekarang itu sama saja dengan bunuh diri.

Dari pintu yang sama, seorang pria dengan ukuran badan lebih kecil dari Albret memasuki arena dengan senyum lebar yang terkembang diwajahnya. Seolah dia sudah yakin sama akhir pertandingannya.

Ketika mereka sudah berdiri saling berhadapan, wasit langsung mengangkat tanan kanannya. Dari tangannya muncul lapisan pelindung transparan yang menutupi arena. Pelindung ini bertujuan untuk melindungi penonton dari dampak serangan yang ditimbulkan peserta. Wasit memberikan tanda-tanda untuk memulai.

"1.... 2.... 3.... Mulai."


The King of Eden : The RisingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang