Berani jatuh cinta berarti siap untuk patah hati.
Itu kalimat bijak yang dulu pernah aku pikirkan sebelum mengangguk dengan wajah malu-malu ketika Jordy mengajakku berpacaran saat itu. Jordy mengaku menyukaiku, tepatnya tak lama setelah kami sering berkomunikasi dan jalan berdua beberapa kali. Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya.
Sebelum Jordy menyadari perasaannya, aku sudah lebih dulu jatuh hati. Ketika kami pertama kali bertemu dan berkenalan di pesta pernikahan Lingga dan Ardi, aku sudah tertarik pada Jordy. Wajah tampannya, sikapnya yang sopan hingga senyumnya yang mempesona benar-benar membuatku terbuai. Dia benar-benar lelaki impianku.
Jadi tidak ada salahnya kalau kami mencoba untuk bersama meskipun resiko untuk patah hati sangat besar kan? Itu pula yang aku pikirkan saat itu.
Namun pada akhirnya aku begitu terluka dan tak siap untuk patah hati ketika hubungan kami berakhir. Apalagi tak berselang lama setelah hari menyedihkan itu, Jordy mengajakku bertemu. Dia memberitahu kabar bahagia yang mengiris lukaku. Padahal luka karena perpisahan kami belum sembuh sepenuhnya.
"Pernikahan mereka berjalan lancar."
Kabar rencana pernikahan itu sudah aku ketahui sejak beberapa bulan yang lalu. Saat itu aku menangis, tentu saja. Siapa yang tidak patah hati mendengar rencana pernikahan mantan kekasih yang sudah dipacari selama empat tahun lamanya padahal belum lama putus?
Dengan tekad yang begitu besar bahwa aku tidak akan terlarut pada patah hati meskipun sedikit banyak aku menyayangkan waktu yang sudah dilewati bersama Jordy, aku meluapkan kesedihan dan juga rasa kehilangan tepat dihari aku mendengar kabar itu. Sehingga esok harinya aku mampu terlihat baik-baik saja didepan keluargaku.
Orang tua dan kedua adikku sama sekali tak mempertanyakan alasan kenapa mataku terlihat membengkak saat kami sarapan bersama. Karena alasan tangisanku sepanjang malam itu sudah mereka ketahui dari perempuan yang tengah berbicara denganku saat ini.
"Syukur kalau begitu. Semoga rumah tangga mereka bisa bahagia." Hanya itu yang bisa aku tanggapi dari kabar yang disampaikan Lingga.
Kehilangan kesempatan untuk bertemu lelaki lain yang cocok denganku selama empat tahun terikat dengan Jordy, itu salahku juga. Sejak pendekatan kami, aku tahu kalau kemungkinan besar kami tidak akan bisa bersama. Dalam artian berlanjut ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Ada dinding pembatas yang begitu besar untuk hubungan kami.
Tapi dengan bodohnya aku menutup mata dan telinga. Bersikap seolah-olah tidak ada hal besar yang akan menghalangi keinginan kami untuk bersama. Aku terlalu dibutakan rasa cinta. Aku berpikir pasti akan ada jalan untuk kami berdua.
Yah, nyatanya memang benar ada jalan untuk kepastian hubungan kami. Namun bukan untuk bersama melainkan perpisahan.
"Padahal aku berdoa mobil yang dinaikinya terbalik sehingga acara pernikahan itu nggak jadi berlangsung. Eh, ini malah berjalan lancar banget kayak jalan tol."
Dari kalimat yang diucapkannya, Lingga mungkin terdengar begitu kejam dan tak berperasaan. Itu hanya bentuk pelampiasan kekecewaan atau mungkin kemarahan. Tapi aku yakin di dalam hatinya doa itu tak pernah ada.
Namun begitu, aku tidak bisa untuk tidak menasehatinya. "Doa yang isinya keburukan pada orang lain nggak akan dikabulkan. Jangan sampai berbalik pada diri sendiri, Ngga."
Bibir Lingga mencebik. "Setelah dengar ini kamu nggak akan patah hati jilid kesekian kan, Na? Kalau iya, aku sudah siapkan tisu tuh. Mumpung cuma kita saja yang ada disini. Kamu bisa nangis sepuasnya."
Aku tertawa miris. Mendengar kabar lancarnya acara pernikahan Jordy tentu saja masih membuatku merasa sakit. Tapi tentu tak separah sebelum-sebelumnya karena bibirku bahkan dengan lancarnya mendoakan yang terbaik untuk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Billing My Promise
ChickLitTiga puluh tahun hidupnya terasa baik-baik saja meskipun Inayah Rubia sempat jatuh bangun dalam hubungan sosial dan percintaan. Tapi dengan hadirnya Haqla Fakhri Jahid, teman bermain adiknya sekaligus tetangganya yang dulu menghilang, kehidupan Inay...