53. Heksa

378 71 3
                                    

Tujuh tahun yang lalu.

Tangan Helix gemetar tapi dia harus fokus untuk memecahkan password dari kunci brankas di ruang kerja Ayahnya. Total sudah percobaan ke lima dan brankas itu belum terbuka.

"Jangan pura-pura nggak tahu," ucap laki-laki yang menodongkan pistol ke kepala Helix. Dan ini selalu dia lakukan setiap kali Helix gagal memecakkan kode untuk membuka brankas Ayahnya.

"A..aku..aku benar-benar nggak tahu apa passwordnya Oom," ucap Helix terbata-bata dan suaranya gemetar. Tangannya yang mengutak-atik angka juga gemetar, Helix bingung untuk mencoba angka apalagi.

"Sekali lagi kamu salah, nyawa dua orang ini melayang," ancam perampok satu lagi yang menodongkan pistol di kepala Heksa. Heksa kelihatan lebih takut di banding Helix. Dia memang penakut dan lebih lembut dibanding kembarannya. Dalam gendongan Heksa ada Grace yang menangis tetap membekap mulutnya supaya tangisnya tidak mengganggu. Terakhir kali dia menagis dengan suara jelas, pistol di kepala Heksa berpindah padanya.

"Kak, takut..." bisik Grace yang memeluk kakaknya dengar erat.

Helix menatap iba pada adik-adiknya. Mereka berdiri di balkon kamar dan ditodong degan pistol. Memang tidak jauh berbeda dengan keadaan Helix yang berada di bawah tekanan. Pistol di kepalanya dan dia harus memecahkan password brankas. Kalau dia gagal, nyawa mereka bertiga akan melayang.

Bagaimana Helix bisa tahu password brankas Ayahnya. Dia bahkan tidak tahu apa isinya sampai kedua laki-laki yang menyelinap masuk kerumah mewah ini di siang bolong mengancamnya untuk membuka brankas itu.

"Kamu nggak mau lihat adikmu mati, kan?" ucap si perampok untuk Helix dan memaksa Helix mencoba kombinasi angka lain untuk password brankas.

"Oom....tolong jangan sakiti adikku. Aku memang nggak tahu apa passwordnya." Helix memelas.

"Banyak bacot!"

Dan pistol dari besi itu memukul kepala Helix, memang tidak kuat tapi meninggalkan rasa perih yang luar biasa.

Dan percobaan Helix gagal lagi. Ini sudah sepuluh kali.

Dor!

Helix membeku di tempatnya setelah mendengar buyi kembakan yang nyaring diruangan.

Byur!

Suara benda jatuh ke dalam kolam renang yang tepat berada di bawah balkon.

Helix tidak ingin melihatnya dan memastikan apa yang terjadi. Tapi kepalanya perlahan-lahan menoleh dan betapa terkejutnya dia melihat hanya si perampok yang berdiri disana. Perampok itu meniup ujung senjata apinya dengan bangga. Seperti pemburu yang baru saja mendapatkan rusa cantik dan siap dijadikan santapan makan malam.

"Kami nggak pernah main-main dengan ucapan kami. Kamu kira kami Cuma mengancam? Tidak, bocah, ucapan bukan Cuma gertakan dan candaan saja."

Helix berdiri, tapi langsung di cegah oleh perampok yang dari tadi menodongkan pistol di kepalanya.

"Berani melangkah sekali lagi, aku pastikan kepalamu bolong."

"Cepat balik dan pecahkan password brankas ini. Kami janji akan membebaskanmu kalau kamu menemukan password brankas yang benar."

Helix tidak mendengarkan ucapan dan ancaman itu. hanya ada satu yang dia pikirkan, nasib kedua adiknya. Apa mereka baik-baik saja? Mustahil, dua-duanya tidak pandai berenang.

Helix tidak peduli kalau dia harus mati hari ini karena tembakan pistol di kepalanya. Dia hanya ingin memastikan adiknya aman di kolam renang sana.

"Aku bilang berhenti, atau kamu akan menyusul kedua adikmu," ancam si perampok yang kembali mengarahkan pistolnya ke Helix.

Secret Change {Proses Penerbitan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang