NEXT GUYS!
______________________________
"Delapan lawan satu itu pengecut namanya." Kata seseorang itu sambil melepas jas hitamnya.
"Anda sudah berani ikut campur. Jangan menyesal." Ujar pria tua yang telah kembali bangkit.
"Saya akan lebih menyesal membiarkan satu orang menghadapi delapan orang pengecut seperti kalian semua." Sahutnya dengan tersenyum miring.
"Serang dia!"
Beberapa dari tukang pukul itu seketika maju melawan seseorang tersebut dengan marah. Melihat hal itu, Aldebaran berusaha untuk kembali bangkit dengan susah payah. Di tengah kepayahannya itu, salah satu dari tukang pukul melihatnya dan hendak menendang tubuhnya kembali, namun Aldebaran langsung menangkap satu kaki itu dan membalas menendangnya dari bawah.
Tukang pukul itu terpelanting keras saat Aldebaran sudah mampu bangun. Pria tua yang sedang dijaga ketat oleh dua anak buahnya nampak kaget dengan kekuatan Aldebaran yang telah kembali, hingga mengisyaratkan para anak buahnya untuk waspada.
"Al, kamu tidak apa-apa?" Tanya sang penolong yang bernama Ferdinand itu saat sudah berhasil melumpuhkan beberapa lawannya.
"Saya nggak papa, Pak. Terima kasih sudah menolong saya." Balas Aldebaran sambil waspada terhadap serangan-serangan tukang pukul yang mungkin saja menyerangnya tiba-tiba.
"Syukurlah. Mereka siapa?"
"Saya tidak tahu, Pak."
//BUGG!!//
Aldebaran menendang tongkat kayu yang hampir saja akan melayang di punggung Ferdinand oleh salah seorang tukang pukul. Dengan cepat, Ferdinand membalas serangan itu. Begitu pula dengan Aldebaran yang kembali berhadapan dengan beberapa orang sekaligus serangan demi serangan mengincarnya lagi.
"Beraninya dia mengacaukan rencana kita." Tutur pria tua yang dengan buru-buru masuk kembali ke dalam mobilnya dibantu oleh dua anak buahnya.
Sementara di luar mobil, Aldebaran dan Ferdinand masih bertarung melawan sisa-sisa tukang pukul yang masih sanggup melawan. Hingga sebuah suara sirine menggema dari kejauhan membuat semua tukang pukul itu terbirit-birit menuju mobil mereka karena menyangka sirine itu berasal dari mobil polisi yang akan menghampiri mereka.
"Sial, ada polisi. Kita pergi sekarang." Perintah bos tersebut. Begitu seluruh anak buahnya sudah masuk di kedua mobil mereka, tanpa menunggu lagi dua mobil itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi.
"Woyy!" Seru Aldebaran dengan nafas yang tersenggal.
"Polisi?" Tanya Ferdinand saat melihat sebuah mobil sedan mendekat ke arah mereka, yang mana mobil itulah sumber dari suara sirine tersebut.
"Tommy, Pak. Asisten saya." Sahut Aldebaran yang begitu mengenali mobil tersebut. Tak lama kemudian, si pemilik mobil itu pun keluar dengan raut panik seraya menghampiri atasannya.
"Bapak terluka, Pak?" Tommy terlihat cemas melihat kondisi bosnya itu, dimana kemejanya terlihat kotor dan terdapat bercak-bercak darah. Ditambah wajahnya yang terdapat beberapa lebam bahkan sampai mengeluarkan cairan merah.
"Saya tidak apa-apa." Jawab Aldebaran.
"Asisten kamu pintar juga memanipulasi musuh." Ujar Ferdinand pada Aldebaran membuat Tommy menyengir, salah tingkah.
"Tadi Pak Al sempat bilang soalnya kalau beliau sedang dibuntuti. Jadi, sejak berangkat saya prepare dengan sirine ini." Jelas Tommy membuat Ferdinand tertawa dan Aldebaran terkekeh.
"Terima kasih, Tommy." Ucap Aldebaran membuat asistennya itu mengangguk, patuh.
"Dan Pak Ferdinand, sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena Anda datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin sekarang saya sudah kehilangan nyawa saya."
"Sama-sama, Al. Kebetulan saya juga sedang lewat dan saya mengenali kamu saat mereka semua mengeroyok. Saya tidak mungkin tinggal diam." Balas Ferdinand.
"Tapi Anda tidak apa-apa, kan, Pak?"
"Saya tidak apa-apa, Al. Paling hanya memar-memar kecil."
"Ya."
"Kalau begitu, biar saya antarkan bapak pulang. Bapak tidak mungkin kan menyetir sendiri." Usul Tommy.
"Tidak perlu, Tom. Saya masih bisa menyetir sendiri."
"Tapi kondisi bapak sekarang..." Tommy terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan bosnya itu yang tetap keras kepala.
"Saya baik-baik saja, tidak usah khawatir." Melihat Aldebaran yang tetap kekeh pada keputusannya, membuat Ferdinand terkekeh.
"Kamu keras kepala juga ya, Al." Cetus Ferdinand membuat Aldebaran beralih menatapnya.
"Begini saja. Kalau Al tetap tidak ingin diantar, kamu pantau bos kamu saja dari belakang, Tom. Jadi kalau ada apa-apa, kamu bisa sigap menolongnya." Usul Ferdinand membuat Tommy berpikir sesaat, kemudian mengangguk setuju.
"Ya terserah kamu saja, Tom."
"Siap, Pak."
Selama di perjalanannya, Aldebaran tak henti-hentinya memikirkan komplotan tukang pukul yang baru saja menyerangnya secara membabi buta tadi. Siapa mereka? Sejauh yang ia ingat, ia tidak pernah memiliki musuh besar, kecuali yang terakhir kali pernah membuntutinya adalah orang suruhan yang pernah ingin menjebaknya melalui secangkir kopi waktu itu. Apa mungkin mereka disuruh orang yang sama?
Aldebaran menggelengkan kepalanya. Sepertinya bukan. Orang yang ingin menjebaknya melalui kopi tempo hari nampaknya rivalnya dalam urusan bisnis, yang sejauh ini ia menduga adalah Pak Bakti, rekan bisnis papanya sendiri. Sementara komplotan tadi sempat berbicara perihal dosa papanya di masa lalu. Apakah sang papa pernah melakukan kesalahan besar sehingga membuat orang itu menaruh dendam yang begitu dalam?
Tidak mungkin. Lagi-lagi Aldebaran menggeleng. Aldebaran kenal papanya, sangat mengenal. Ia tahu sang papa sejak dulu tidak pernah memiliki musuh besar. Dan Aldebaran yakin papanya dari dulu adalah orang yang baik, sangat baik. Ia rasa tidak mungkin jika sang papa melakukan kesalahan besar yang kemudian berefek pada keluarganya sendiri, termasuk Aldebaran.
"Kalau bukan papa, lalu siapa yang mereka maksud?" Gumam Aldebaran, berpikir keras.
Aldebaran memegang kepalanya yang mendadak terasa nyeri, sedangkan satu tangannya lagi tetap berada pada setir. Sebuah kilasan memori tiba-tiba menghampiri ingatannya. Suara seseorang yang pada saat itu cukup membuatnya ketakutan.
"Setelah melakukan beberapa kali penyelidikan, sepertinya kecelakaan itu mengandung unsur kesengajaan."
"Kesengajaan?"
"Iya, Pak. Tim kami menemukan kejanggalan pada salah satu kabel rem mobil itu. Seperti sebuah pembunuhan berencana."
//CIIITTT!!//
Aldebaran mengerem mobilnya secara mendadak dengan posisi yang sedikit meminggir. Tommy yang sejak tadi terus mengawasi atasannya itu sontak merasa kaget dan segera menginjak rem. Karena merasa khawatir, Tommy pun turun dari mobilnya untuk memeriksa kondisi Aldebaran.