Bagian Satu

104 14 0
                                    

RUMAH sakit tempat Miwa meninggal butuh satu jam perjalanan dari pusat kota. Tobio mengamati cahaya kendaraan yang berkelebat di balik jendela mobil. Semakin jauh dari kota, semakin sepi jumlah kendaraan yang lewat di sampingnya. Semakin pekat pula warna malam yang menemani mereka.

Tobio memejamkan mata. Bayangan Miwa langsung menyerbu kepalanya. Gadis itu berdiri dengan punggung bersandar pada pagar balkon. Rambut panjangnya berkibar pelan karena angin malam, asap rokok mengelilingi sosoknya yang tampak rapuh. Tobio ingat dia melirik jam dinding dan menemukan waktu menunjukkan pukul empat pagi.

Tobio melirik asbak di atas meja dan menemukan terlalu banyak puntung rokok di sana. Terlalu banyak jejak yang menunjukkan Miwa tidak tidur sama sekali. Dari gelas kopi, dari kedua matanya yang memerah, dari senyum tipis di wajahnya yang luar biasa lelah. Perpaduan jam empat pagi dan Kageyama Miwa membuat pemandangan yang tampak melankolis.

Hampir seperti depresif.

Tobio teringat pada pukul empat pagi yang berbeda. Malam di mana Miwa memilih menghampiri Tobio di ruang makan alih-alih tampak depresi di balkon seperti biasa. Miwa yang telah memotong pendek rambutnya dan memiliki senyum di wajahnya. Miwa yang memiliki percikan kehidupan yang terlihat untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun yang melelahkan dan penuh duka. Miwa yang berkata kalau dia ingin pergi dari kota.

Bagi gue kota bukan tempat tidur, Tobio. Terlalu rame, terlalu berisik, terlalu tergesa-gesa. Gue butuh tempat yang lebih sepi dan tenang, yang lebih cocok buat rebah dan pulang.

"Tobio?" Tooru memanggil.

Tobio membuka mata, bertemu dengan wajah khawatir Tooru yang duduk di kursi penumpang depan. Tobio hanya perlu menggeser sedikit tatapannya untuk bertemu dengan mata Hajime lewat spion tengah.

Keduanya sama.

Simpati, kekhawatiran, dan sendu.

Tobio tidak tahu bagaimana menanggapinya.

"Gue enggak tau," kata Tobio, pelan dan menyedihkan. "Gue enggak tau harus ngerasain apa."

Wajah Tooru meredup dan Hajime mengalihkan pandang ke jalanan. Mobil yang mereka kendarai memasuki terowongan dan Tobio menatap lurus ke depan.

"Ini emang kabar yang bikin kaget," kata Hajime dengan suara beratnya. "Wajar kalo lo masih meraba-raba."

Meraba-raba.

Tobio berpikir tentang jemari lembut yang dulu suka bermain di rambutnya, tetesan air laut yang dipercikkan ke wajahnya, suara ombak yang berkejaran di dekat mereka. Tobio berpikir tentang rambut hitam panjang dan mata sebiru langit, senyuman yang lebih terang dari matahari, tawa yang lebih merdu dari suara ombak itu sendiri.

"Kak Miwa suka laut," kata Tobio tiba-tiba.

Tidak ada yang menjawab. Tobio tidak membutuhkan jawaban.

Dia cuma butuh meraba-raba kenangan yang tiba-tiba lewat di kepalanya.

***

Kageyama Miwa meninggal dikelilingi sepi. Tidak ada keluarga atau teman di sisi. Tidak ada suara tangis dan teriakan yang menyayat hati. Miwa meninggal dengan senyum tenang dan penyakit yang telah lama menggerogoti.

Nanti, Tobio menemukan segalanya berjalan dengan tergesa-gesa, dia tidak sempat meraba apa-apa. Tooru dan Hajime bergerak di sekelilingnya, berfungsi seperti tameng yang kokoh dan pijakan bagi Tobio yang tidak bisa berdiri. Mereka mengurus segala sesuatu yang seharusnya Tobio urus, tapi Tobio tidak bisa karena dia merasa seperti seluruh kekuatan ditarik dari tubuhnya.

MIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang