12.

27 1 2
                                    

Ponselku berdering terus-menerus. Nama Kak Ian tertera sangat jelas disana. Aku berusaha mengambil ponselku yang terletak dinakas.

"Kamu tuh ya, baru bangun udah bucin." Ucap Bang Varo yang membantuku mengambilkan ponsel.

Kemoterapiku sudah selesai sejak sore tadi dan sejak itu aku tertidur.

"Salahin Kak Ian yang telfon terus. Lagian Bang Kana apa nggak bilang ke Kak Ian, jadi dicariin terus kan."

Aku mencoba untuk menelfon Kak Ian kembali yang tanpa butuh waktu lama langsung diangkat olehnya.

Belum sempat ku menyapanya, sudah terdengar suara ocehan dengan beribu pertanyaan.

"Ola, kemana aja? Kok baru diangkat. Udah gitu tiba-tiba ilang waktu aku balik. Kenapa nggak ngabarin?"

Aku hanya bisa menghela nafas panjang saat mendengarnya.

"Maaf kak, aku ada urusan mendadak sama abang." Ucapku berbohong.

"Lah, Arkana kenapa kaga ikut?"

"Soalnya Bang Kana emang nggak diajak." Jawabku dengan sedikit tertawa yang juga dibalas sebuah tawa dari Kak Ian.

"Maaf kak, papa dateng dan aku sama abang ada acara bareng papa." Ucapku dengan sedikit berbohong. Memang benar papa datang tapi hari ini akupun belum bertemu dengannya. Papa sedang menghadiri seminar terlebih dahulu.

"Lah Om Andra dateng? Kok nggak bilang, besok aku ke rumah yaa. Mau ketemu calon mertua." Ucapannya sukses membuat pipiku merona.

"Apaan sih kak. Maaf kak, tapi papa ada seminar. Kalau mau pas weekend aja ke rumahnya."

"Bener ya. Awas aja kalau ternyata cuma prank." Aku tertawa pelan begitu mendengar jawabannya. Gemas.

"Iya kak. Udah ah, lagi sibuk. Aku matiin yaa. Assalamualaikum kak." Aku langsung mematikan telfon tanpa menunggu jawaban dari seberang sana.

Aku menghela nafas pelan. Berat. Berbohong seperti ini bukanlah suatu hal yang mudah bagiku.

"Kenapa?" Tanya abang begitu aku memutuskan sambungan telfon dengan Kak Ian.

"Nggak papa."

"Dicariin ya?" Aku hanya menganggukkan kepalaku.

"Ola kenapa nggak jujur aja sama Ian?" Pertanyaan abang membuatku terdiam sejenak dan berpikir.

"Ola nggak mau Kak Ian khawatir. Ola juga nggak mau ngerepotin."

"Tapi kamu juga akan buat dia merasa bahwa dia nggak berarti. Kalau nanti Ian tau pasti dia juga akan merasa bersalah La, karena dia merasa kalau dia nggak memberikan perhatian dan menjaga kamu dengan baik."

Ucapan abang memang ada benarnya. Tapi aku tetap tidak ingin memberitahunya. Aku tak ingin rasa khawatirnya padaku akan mempengaruhi kehidupannya. Karena aku tau Kak Ian akan lebih mementingkan suatu hal yang berkaitan dengan orang yang ia sayangi dan melupakan segala hal tentangnya. Perasaannya, tubuhnya, dan kebahagiannya. Egois memang, tapi itulah yang terbaik untuk saat ini.

"Aku nggak bisa bang." Jawabku yang mengakhiri percakapanku dengan abang.

Hening. Abang sibuk dengan dirinya. Bersiap untuk pergi bekerja dan meninggalkanmu sendiri.

"Ola, bentar lagi papa dateng. Kamu pulang sama papa ya? Abang harus kerja." Pamit abang yang sebenarnya membuatku ingin melarangnya untuk pergi.

Terkadang disaat seperti ini aku akan menjadi lebih manja dengan abang. Bahkan terkadang aku akan menangis saat akan ditinggal sendiri oleh abang.

GYPSOPHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang