Taksi biru itu sampai di depan pintu gerbang rumah Elana lebih larut dari dugaan Elana sebelumnya. Beruntung, tidak ada wartawan di sana. Mungkin mereka sudah jera mengekori Elana yang tak pernah mau membuka mulutnya bahkan sepatah kata. Anggara mengikutinya setelah turun dari sisi pintu yang lain. Sementara taksi biru tidak beranjak sebab Anggara memintanya untuk menunggu sejenak.
"Terima kasih untuk malam ini. Maaf merepotkanmu," ujar Elana. "Maaf aku tidak bisa menawarimu untuk mampir ke dalam karena sudah larut, Anggara."
"Tidak masalah. Aku yang seharusnya meminta maaf atas kejadian tak terduga tadi dan membuatmu pulang terlambat," jawab Anggara. Ia kemudian meminta Elana segera masuk ke rumahnya.
Begitu taksi yang dinaiki Anggara pergi, Elana masuk melalui pintu gerbang kecil yang khusus dilalui orang tanpa harus membuka pintu gerbang yang besar dan terkejut saat melihat mobil SUV hitam yang tidak asing terparkir di garasi mobilnya yang lapang.
"Pak, itu mobil siapa?" tanya Elana pada satpamnya. Pria itu tengah mengunci kembali pintu gerbang yang dilalui Elana sebelumnya.
"Oh itu, mobil Tuan Marco, Nyonya."
Elana mengerutkan dahi, "Oh, terima kasih, Pak."
"Siap, Nyonya."
Elana bergegas masuk dan terkejut kembali saat melihat Marco sudah berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Dengan model rumahnya, Elana tidak bisa melihat pria itu dari luar, jadi ia tidak tahu keberadaan Marco begitu tiba bersama Anggara tadi.
"Apa yang kaulakukan di rumahku, Marco?" Wajah Elana ketus menatap tamu tak diundang yang balik menatapnya dari atas ke bawah.
"Apa kau meninggalkan putriku hingga malam untuk berkencan, Bellissima?" Ada nada sindiran dalam kalimat itu yang membuat Elana tersinggung.
"Jaga mulutmu, Marco! Di mana putriku?!" Elana masuk melewati Marco. Meninggalkan pria itu yang mengekorinya kemudian.
Di ruang keluarga, Elana melihat seseorang membelakanginya tengah membelai rambut putrinya yang tertidur di sofa lagi seperti tadi siang. Karena suara langkah keduanya, orang itu berbalik dan Elana berbinar mengetahui sosok itu. "Paolo?!"
Sebuah pelukan teman lama terjadi di hadapan Marco yang diam-diam cemburu melihatnya. Ia bahkan tidak mendapatkan sedikit pun sambutan hangat dari Elana kecuali emosi yang membara.
"Ciao, Elana! Apa kabar?" bisik Paolo pada Elana. Ia mencoba agar tidak mengejutkan Rene yang baru saja tertidur.
Melepaskan pelukan, Elana tersenyum pada pria yang dulu sering membantunya di Italia jika Marco tidak ada. Ia seperti saudara bagi Elana yang hanya anak tunggal. "Kau sudah bisa berbahasa?"
Paolo mengangguk antusias. "Dia yang memaksaku kursus." Kepalanya mengendik ke arah Marco yang mengamati mereka dengan tangan bersilang dada. Membuat Elana menyadari keberadaan mantan suaminya yang sedetik lalu sempat terlupakan karena antusias.
"Kabarku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
Meski dengan aksen khas Italia, Paolo dengan lancar melafalkan kalimat berbahasa Indonesia untuk menjawab pertanyaan Elana.
"Harusnya sedari dulu aku memaksamu untuk belajar, bukan?" ejek Elana mendapati Paolo begitu banyak bicara dengan berbisik-bisik.
"Paolo, bisakah kau membawa Dolcezza ke kamarnya di sana?" Marco menginterupsi reuni kedua teman lama itu dengan memintanya memindahkan Rene.
Elana menatap Marco tak percaya. "Bukankah kau Ayahnya?"
"Tidak masalah, Elana. Aku akan membawanya ke atas jika boleh. Kalian harus berbicara berdua." Paolo tersenyum dan mengangguk, meminta agar Elana tidak membantah permintaan Marco.
Mau tidak mau, Elana diam. Ia memperhatikan Paolo menggendong putrinya ke kamar yang ditunjuk Marco. Lalu, ia beralih menatap Marco yang balas melihatnya dengan serius. "Ikut denganku, Marco."
Elana berjalan ke luar taman samping rumahnya, di mana terdapat kursi-kursi yang sengaja diletakkan di sana untuk sekadar menikmati kesunyian. Ada sebuah meja bulat kecil membatasi kursi-kursi itu. Masing-masing dari mereka menempatinya tanpa bersuara dalam beberapa detik sebelum Marco mulai berbicara.
"Apa kau sekarang bersamanya, Elana?"
"Bukan urusanmu, Marco." Mata Elana menatap lurus ke arah tanaman di depannya. Enggan bersitatap dengan pria tampan memesona yang dulu kerap ia lihat di majalah-majalah internasional.
"Itu urusanku, Elana. Semua pria yang mendekatimu adalah urusanku." Suara dalam Marco penuh tekanan. Jelas menginginkan Elana mendengarkannya baik-baik.
"Kita sudah bercerai, Marco." Kali ini Elana menatap mata sebiru lautan di seberangnya.
"Aku ingin kita kembali, Elana. Aku akan melakukan apapun untuk mewujudkannya," tekad Marco.
Elana tersenyum miring. "Kau bahkan tidak memperjuangkan kami dahulu dan lebih memilih kariermu, jika kau lupa."
Mengeratkan gigi, Marco mengulang penjelasan yang lalu pada Elana. "Tidak akan ada hal semacam itu lagi di masa depan. Aku akan mengumumkan hubungan kita pada semua orang. Pada dunia, Elana."
"Apa hanya ini tujuanmu datang ke Indonesia, Marco? Jika iya, aku kurang tertarik." Elana menaikkan dagunya. Menolak terintimidasi dengan pria yang masih membayangi malam-malam panjangnya yang sunyi. Namun, ada ego dalam dirinya yang menolak untuk dikalahkan.
"Aku bersungguh-sungguh, Elana." Marco menarik tangan Elana begitu wanita itu beranjak berdiri hendak pergi meninggalkannya. Tubuh mereka berhadapan dan Marco sengaja membuat tangan Elana menempel tepat di dadanya. Tepat di jantung yang tengah memompa kuat dan berdetak begitu cepat saat kedua pasang netra mereka beradu.
"Lepaskan, Marco!" Elana berusaha menarik lengannya, namun gagal. Getaran cinta itu masih ada, namun bertumbuk dengan getaran benci yang juga masih menguasainya.
"Berikan aku kesempatan untuk membuktikannya, Amore."
"Lakukanlah sesukamu!" geram Elana.
Marco melepaskannya dan Elana segera berbalik. "Ti amo, Elana."
Elana masih mampu mendengar bisikan dalam pria itu yang penuh kerinduan walau kakinya terus melangkah menjauh. Ia tidak melihat Paolo di ruang keluarga dan di kamar Rene, jadi Elana memutuskan untuk berdiam di kamarnya. Membiarkan mereka begitu saja, tak peduli jika ia dicap menjadi tuan rumah yang tidak sopan.
Elana sangat lelah hari itu, namun ia berdebar..
Bersambung
Footnote
1. Ti amo: Aku mencintaimuCihui, si Marco udah tak tertahankan pada Elana, si Anggara juga ngebet merindu..
Kalau kamu, mending pilih yang mana?
Pasti kepikiran jawaban Elana untuk Anggara malam itu, 'kan?
Temukan di chapter-chapter selanjutnya, ya.
Bakal ada yang lebih heboh lagi..
Hihi-rr wulandari
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND TRY ✔️ (Sudah Terbit)
RomanceKau membuatku bahagia dengan cara yang orang lain tak bisa melakukannya. Mungkin itu adalah kata-kata yang pas untuk Elana Maggia, sang desainer kondang Indonesia ketika dibebankan pada dua pilihan masa lalu yang bersedia memulai kembali kisah mere...