Chapter 2 - Akhirnya Selesai

300 55 18
                                    

         "Lama tak jumpa, Herman.", ucap orang misterius yang baru turun.

         Dia terlihat sangat tua dengan tubuh yang tinggi, berwajah garang, janggut lebat, rambut hitam gimbal, kulit coklat, serta memakai setelan serba hitam, lusuh, dan kotor. Dia pasti tidak pernah mandi dan sangat bau. Dari gelagatnya, dia pasti pimpinan perompak dan cukup mengenal Herman.

      Dari dulu aku curiga dengan kapal ini, selalu lolos, ternyata kau pemiliknya".

        Eh, tunggu dulu, jadi perompak-perompak yang selalu mengganggu perjalananku itu ternyata akibat ulahnya, sialan, mengapa sih kalian harus melakukannya?.

      "Bisa kau singkirkan mereka dari kapalku?", tanya Herman.

"Tidak", jawab dengan tegas. "Kau tau aturannya, kan?", menarik pedangnya.

      "Aku sudah tak terikat aturan konyol itu"

      Tunggu dulu, jadi dia dahulu adalah perompak, berarti para awak juga sama dong, tidak salah jika saat pertama kali menginjakkan kaki di kapal ini terdapat sesuatu yang mengganjal di pikiranku, ternyata ini toh. Mengapa aku tidak menyadarinya, ya? Para awak tidak begitu garang sih, macam pelaut biasa.

          "Kita lanjutkan pertarungan ini?", memprovokasi.

           "Tentu", dengan penuh kemantapan. "Kau tak pernah menang dariku",

          "Melihat banyak bawahanmu mati dah cukup"

         "Walau bawahanmu binasa semua?", sedikit gentar.

         "Ya"

         "Kacungmu aja mau abis", heran.

         "Kau pikir cuma mereka saja? masih ada sepuluh kapal"

          Masih ada sepuluh? Ya ampun, mulai besok ini akan menjadi pelayaran yang sangat melelahkan. Yang paling aku khawatirkan adalah kapal ini, dengan umur yang sangat tua, mana mungkin dapat bertahan jika dipaksa untuk menjalani pertempuran di laut melawan sepuluh kapal.

       "Sial, baiklah, gimana kesepakatannya?", raut wajah kesal, sangat kesal, seperti orang yang dicurangi, jika aku akan dicurangi, pasti akan seperti itu juga.

        "Kau menang aku pergi, aku menang, kapal ini milikku"

        "Apa-apaan itu?!!!", marah. "Kau pasti akan kembali lagi"

        "Kau selalu tak bisa memercayaiku, baiklah, aku tak akan kembali lagi kalau kau menang"

      "Bagus, ayo kita duel", mencoba menenangkan diri.

      Mereka semua mulai menyingkir, membawa yang terluka ke dalam kapal masing-masing untuk mendapatkan pengobatan, hingga tercipta ruang kosong berbentuk persegi di tengah kapal. Mereka terlihat sangat antusias, para awak berkumpul di belakang Herman, sedangkan para perompak ada di belakang Nathan, belum juga duel dimulai tapi mereka saling bersorak dan memberikan dukungan, tidak lupa juga menghina dan memprovokasi lawan. Namun, aku merasa ini tidak lah menarik, inginku menyingkir ke belakang untuk mencari tempat yang sepi dan tenteram, tapi diriku harus berjalan menuju dekat anjungan, mencari tempat tinggi hanya untuk mengawasi jalannya pertandingan, siapa tahu Herman akan dicurangi.

        Pertarungan pun dimulai, apa yang aku kira membosankan, ternyata cukup menarik. Diiringi oleh sorakan dan dukungan dari para bawahan, keduanya melakukan pertarungan yang sangat intens, dengan pedang di tangan, mereka saling jual-beli serangan, tangkis-menangkis mewarnai jalannya pertarungan ini tanpa memberikan salah satu pihak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tidak berkedip sedikit pun, keduanya terlalu fokus dengan lawan yang dihadapi, sampai-sampai api pun memercik tatkala pedang mereka saling beradu. Selain itu, mereka tidak tetap berada di tengah, baik Herman maupun Nathan saling mendorong lawannya, membuat lawannya terpojok, tapi karena keduanya terlihat imbang, alhasil keduanya hanya mondar-mandir ke kanan, kiri, depan, belakang, atau bertukar posisi.

Kamu akan menyukai ini

          

      "Segini saja?", Nathan mencoba memprovokasi.

      Setelah beberapa puluh menit berlalu, pertarungan yang awalnya terlihat imbang dan sangat sengit mulai berubah, Herman kali ini hanya dapat menahan serangan yang diluncurkan secara bertubi-tubi tanpa dapat membalas sedikit pun. Ini sangat gawat, mungkin akibat banyaknya tenaga yang telah terkuras lah yang membuatnya hanya bisa bertahan sekarang. Melihat dia tidak dapat melakukan apa-apa, membuat awaknya menjadi diam dan khawatir, sedangkan di sisi yang berseberangan terlihat sebaliknya, sorak-sorai yang bergemuruh terus terdengar. Namun, tiba-tiba semuanya diam tatkala kedua senjata yang digunakan rusak sacara berbarengan, bilah pedang milik mereka patah menjadi dua dan sudah tidak dapat digunakan lagi. Para penonton pun kecewa, tapi kekecewaan itu hanya sebentar setelah keduanya mendapatkan pedang pengganti, kerumunan pun menjadi ramai kembali.

        Kini giliran Herman yang mendominasi dengan pedang barunya, dia terus-menerus melakukan serangan bertubi-tubi, membuat Nathan kesusahan untuk menangkis, sampai-sampai tidak sekali pun dibiarkan untuk menghirup nafas. Dia mulai menggoreskan luka, mulai dari menyayat pipi, lengan, dan kaki, membuat Nathan menjadi semakin panik karena tidak dapat berbuat apa-apa, hingga akhirnya dia keluar sebagai pemenang tatkala berhasil membuat pedang yang digenggam oleh Nathan terhempas ke udara dan masuk ke laut, seketika para awak pun bersorak kegirangan. Rupanya apa yang dilakukan sebelumnya hanyalah untuk menghemat tenaga dan mencari celah, setelah mendapatkan momentum yang tepat, dia tidak menyia-nyiakannya.

      "Sekarang pergi!!!", Herman menyentak.

        "Baiklah", dia pun mengakui kekalahannya dan berjalan pergi dengan rasa malu yang dipikul.

        Di saat para perompak mulai kembali ke kapalnya, hal tidak terduga terjadi, tiba-tiba Nathan berlari menuju Herman dan bersiap mengayunkan pedang, Herman yang tidak siap hanya bisa terkejut, dan para awak terlihat berusaha berlari secepat mungkin untuk menolong. Dia berengsek sekali, melakukan tindakan pengecut dan memalukan ini, untungnya aku sudah mengantisipasi sejak awal. Dengan cepat aku melemparkan serpihan es yang aku genggam dari tadi, es itu berhasil mengenai bilah pedang milik Nathan, seketika es itu tumbuh dengan cepat dan menyebar ke samping, menciptakan sebuah dinding yang memerangkap pedang milik Nathan. Walau lantai kapal harus rusak, setidaknya aku dapat menyelamatkan Herman tepat waktu.

      Nathan mulai panik, dia mencoba menarik pedangnya yang tersangkut pada dinding es, tapi itu sia-sia saja, dia tidak akan bisa karena bilah pedang itu seakan menyatu dengan tembok itu. Alhasil dia terkepung oleh para awak yang telah siap merenggut nyawanya, dalam keadaan tidak berdaya itu para bawahannya hanya dapat menonton tanpa dapat menolong akibat beberapa awak yang dengan sigap memblokade datangnya perompak.

     "Hentikan!", seketika para awaknya tidak jadi membunuh. "Claudia, bisa singkirkan benda ini?!"

     "Bisa", jawabku. Seketika tembok itu pun runtuh dan menguap tanpa tersisa.

     "Terima kasih", lalu berjalan menghampiri Nathan. "Kau sungguh memalukan"

     "Tolong, ampuni aku", ucap Nathan sambil memelas, bahkan sampai meraih kaki Herman dan menciumnya.

     "Baiklah, ku ampuni kau"

      Mendengar perkataan itu, Nathan terlihat semringah dan senang.

     "Teri- argh...", belum juga dia berterima kasih, tapi kepalanya sudah copot terpenggal.

     Mungkin Herman tidak mau jika Nathan kembali mengkhianatinya lagi dan membawa seluruh bawahannya, syukurlah dia mengambil pilihan itu, pelayaran ini tidak akan menjadi semakin buruk. Dengan hilangnya pimpinan perompak, biasanya terjadi perang saudara untuk memperebutkan posisi ketua.

      "Tak guna membiarkannya hidup, apalagi kacungnya, ya kan?"

      "Ya", ucap kebanyakan bawahannya.

      "Kalian tau apa artinya?"

     "Maksudnya seperti masa lalu?", salah seorang berinisiasi menjawab, karena pada kebingungan.

     "Benar sekali, bunuh mereka semua!"

      "Baik", semua secara serempak dan bersemangat.

      Segera mereka berlari menuju para perompak, kasihan yang masih tertinggal, akan menjadi pelampiasan pertama mereka. Dengan tidak ada pimpinan, para perompak menjadi tidak terkoordinasi dan bingung harus berbuat apa, yang bisa mereka lakukan hanya lari dari serangan para awak. Satu persatu perompak mereka habisi dengan kejam, seperti menggorok leher hingga putus, mematahkan persendian hingga terdengar suara tulang patah, menusuk perut berkali-kali walau isi perut telah tercecer, memotong-motong tangan lawan yang sekarat, menghantam wajah dengan tongkat hingga menjadi gumpalan daging yang tercerai berai, bermain dengan bagian tubuh yang terputus, dan hal-hal bengis lainnya yang tidak bisa aku jabarkan semua. Sifat para awak yang berubah drastis membuatku terkejut, aku tidak kuasa melihat ini semua, bahkan hampir muntah jika aku tidak segera menutup mulutku erat-erat menggunakan kedua tangan, syukurlah mereka sudah bertobat.

       Setelah semua perompak yang berada di atas kapal habis tanpa sisa, para awak mulai mengarahkan pandangan pada mereka yang telah menyelamatkan diri ke kapalnya, agar dapat kabur mereka berusaha memotong tali yang mengikat pada jangkar-jangkar yang mereka lemparkan sebelumnya. Sayang sekali, semua tali berhasil dipotong dengan cepat, sehingga kapal perompak mulai berlayar menjauh. Terliat beberapa perompak yang mulai mengejek, dengan kesal beberapa awak melemparkan tombak yang sebelumnya tergeletak di lantai, dengan itu mereka menombak perompak-perompak yang mengejek, membuat sebagian besar mati di tempat dengan luka di kepala dan dada, sedang sisanya langsung bersembunyi.

       Tidak ingin mangsa kabur, salah satu awak melemparkan jangkar besi ke kapal perompak, membuat kapal perompak kembali terhubung dengan ini, padahal jangkar itu berat lho, bisa-bisanya melempar benda itu sebegitu mudahnya. Dengan tali yang mengait mereka naik ke atas kapal lawan, tapi aku tidak berniat untuk melihat apa yang akan mereka perbuat, pasti tidak jauh berbeda dengan yang mereka perbuat sebelumnya. Aku memutuskan untuk pergi ke belakang, pergi ke tempat yang tenang, tenteram, dan bersih akan noda darah.

       "Claudia, terima kasih", ucap Herman.

       "Sama-sama", berhenti dan langsung menengok, tidak lupa sambil tersenyum. Padahal tadi sudah, mengapa dia melakukannya dua kali?.

        "Mulai sekarang kau bisa naik dengan gratis, kapan-kapan mampir lah!"

      "Baik, kapan-kapan aku akan mampir"

       Duh, mengapa aku tidak berbicara sejujurnya saja sih? Aku tidak akan naik kapal ini lagi karena tempat-tempat yang nantinya ingin aku lalui tidak menyertakan jalur yang dilewati kapal ini. Namun, dipikir-pikir tidak ada salahnya menerima kebaikan orang lain, siapa tahu di tengah jalan terjadi perubahan rencana.

(Drop) KEPINGAN-KEPINGAN ES YANG MEMANDU KE SEBUAH JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang