BERSAMA dinginnya akhir tahun, malam telah kembali singgah. Salju turut turun memenuhi ruang terbuka dengan butiran halusnya. Sang rembulan bersinar indah di atas cakrawala yang sepi akan awan. Lampu-lampu telah hidup dan menerangi setiap sudut kota. Sungguh indah Shiganshina malam ini dan hal tersebut membuat ketiga pemuda-pemudi yang sedang terjebak sebuah misi enggan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Eren, Mikasa dan Armin memutuskan untuk duduk di tepi sungai yang sering mereka datangi dulu usai berkeliling Shiganshina. Lelah terbayarkan dengan keindahan Shiganshina pada malam hari. Meski dingin menyerang, hal tersebut tak membuat mereka beranjak.
Rasanya hari ini sangat menyenangkan bagi Eren. Meski tak satu pun memorinya dapat ia ingat kembali. Padahal sudah banyak kisah yang Mikasa dan Armin ceritakan padanya.
"Dulu, seberapa seringnya kita melakukan ini?" Tiba-tiba Eren bertanya.
Mikasa segera menoleh. "Maksudmu?"
"Duduk di sini," tambah pemuda Jeager tersebut.
Armin yang melihat Eren dan Mikasa kontan mengulas senyuman tipisnya. "Sangat sering asal kau tahu! Bahkan ...." Armin menggantung kalimatnya karena ingin berdiri. "Kau dan Mikasa sering kemari tanpaku," ungkap Armin dengan nada jahilnya.
Selagi dirinya di kampung halaman dan bertemu dengan kedua sahabat dekatnya, tak ada salahnya menjadi menyebalkan untuk sesaat. Sebab jika sudah kembali ke dunia perkuliahan, maka Armin harus memasuki mode seriusnya dan itu memuakkan. Jadi tolong biarkan Armin menjadi sosok menyebalkan malam ini.
Wajah Mikasa bersemu kala Armin menggodanya. Tatapan tajam dengan wajah kelabakan itu terlihat jelas di mata Armin sehingga membuatnya terkekeh. "Kenapa, Mikasa?" Pertanyaan Armin membuat Eren menoleh ke arah wanita tersebut.
Refleks Mikasa menyembunyikan wajahnya di balik syal merah yang terlilit pada lehernya. "Bukan apa-apa," tepis Mikasa cepat.
Eren memperhatikan Mikasa kemudian beranjak berdiri. Dirinya tidak terlalu bodoh untuk menyadari jika wanita bersurai legam ini sedang salah tingkah. "Aku selalu berharap ingatanku cepat pulih." Kalimat tersebut mengudara dan menghampiri titik permintaan.
***
Pikirannya berkecamuk. Satu malam suntuk Eren tidak bisa tidur sebab ada begitu banyak penglihatan yang menyerang ingatannya. Dan lagi-lagi penglihatannya masih seputar sepasang insan. Pria di dalam penglihatannya sekilas terlihat seperti dirinya dan wanita yang turut ia lihat tampak mirip seperti Mikasa. Dalam salah satu penglihatan yang ia dapat, Eren dapat melihat masing-masing mata mereka dengan jelas.
Hijau dan Biru.
Dua pasang mata yang saling bertatapan itu tampak seperti menaruh sebuah harapan pada masing-masing dari mereka. Dirinya tidak tahu harapan seperti apa, hanya saja harapan yang terpancar dari masing-masing tatapan mereka tampak begitu berbeda.
Penglihatan ini pun kadang membuat kepalanya sakit dan kian mengganggu. Apa sebaiknya ia melapor pada ayahnya yang seorang dokter untuk mengetahui apa penyebab dari hal yang ia alami? Barangkali dirinya mengalami halusinasi akibat cedera di tengkorak kepala.
Tok! Tok! Tok!
"Nak, kau di dalam?"
Eren tersadar saat suara Carla memasuki pendengarannya. Dengan segara ia beranjak dari ranjangnya dan membuka pintu kamar untuk sang ibu. Carla sudah berdiri dengan pakaian yang rapi membuat kening Eren berkerut.
"Ada apa, Bu?"
Senyuman di wajah cantik Carla Jeager mengembang sempurna. Tangan wanita paruh baya itu segera memegang kedua tangan Eren lalu memeluk anak bungsunya dengan erat. "Zeke sudah sadarkan diri!"
Setelah memberitahu Eren mengenai kabar Zeke, Carla membawa Eren ke rumah sakit. Mereka pergi dengan cara menaiki mobil uap. Mobil uap yang beberapa tahun ini semakin dikembangkan oleh ilmuan dan diproduksi secara terbatas. Eren tidak tahu entah dari mana Grisha mendapatkan mobil ini hingga menjadi hak milik pribadi keluarga Jeager. Namun, dengan adanya mobil uap ini, perjalanan menjadi lebih terbantu.
Carla yang tengah mengendarai mobil uap melirik Eren sejenak. Wajah Eren terlihat kusut.
"Apa yang kau lamunkan, Nak?" Pertanyaan Carla berhasil membuat Eren menatapnya. "Kau tampak begitu setres."
Pemuda bermanikan hijau zamrud itu menatap Carla sejenak. "Bukan apa-apa, Bu."
Kening Carla berkerut. "Eren, kau itu selalu terbuka kepada ibu. Kau juga sering bercerita mengenai harimu pada ibu. Jika memang ada yang mengganggumu tolong cerita saja," ucapnya. Carla tahu jika ada yang mengganggu pikiran anaknya.
Eren menarik nafas lalu hembusan nafasnya berubah menjadi asap di udara yang dingin. Asap tersebut tercipta saat karbondioksida bertemu dengan udara dingin di luar tubuh. Proses ini disebut pengembunan atau kondensasi. Saat kita berada di tempat yang dingin, kita akan mengeluarkan asap saat bernapas. Sebenarnya asap itu merupakan cairan dari hasil pengembunan tadi.
"Sejak aku sadar dari komaku, aku selalu mendapatkan penglihatan. Penglihatan tersebut selalu berhubungan dengan sepasang insan yang mirip denganku dan Mikasa. Tadi malam, penglihatan yang kudapatkan begitu bertubi-tubi," ungkap Eren. Tanpa ragu ia bercerita kepada ibunya.
Carla refleks melirik anaknya lalu mengarahkan stir untuk berbelok ke arah kanan karena sebentar lagi mereka akan tiba di rumah sakit.
"Bagaimana kau yakin jika orang di dalam penglihatanmu itu mirip dengamu dan Mikasa, Nak?" Carla bertanya, turut penasaran dengan cerita anaknya.
Eren menatap lurus. "Dari salah satu penglihatan yang kudapat. Bentuk mata mereka mirip dengan bentuk mataku dan Mikasa. Terlebih bentuk mata wanita di dalam penglihatanku. Ada bekas luka di bawah matanya dan itu mirip seperti milik Mikasa."
Sejenak Carla berpikir mengenai cerita anaknya. Tampaknya ada berbagai momok menghantui pikiran orang yang baru sadar dari koma lamanya.
"Sepertinya ayahmu tahu jalan keluar dari masalahmu."
***
Kamar inap ini terasa canggung untuk Eren. Terlebih hanya diisi oleh dirinya dan Zeke. Ayah dan ibu mereka pamit pulang ke rumah sebentar dan Eren diminta oleh Grisha untuk menjaga Zeke sebentar. Zeke, pria berjanggut pirang yang terbaring di atas brangkar rumah sakit tampak masih lemas. Wajahnya pucat dan tubuhnya terlihat sedikit kurus.
Jari-jemari Eren berketuk di atas paha lantaran rasa canggung kian membuncah. Apakah karakter Zeke memang seperti ini? Apakah Zeke itu pendiam akut? Sehingga untuk berbicara saja enggan. Ugh, Eren tidak ingat apapun tentang kakaknya. Dasar amnesia sialan.
"Aku tidak betah jika harus terus berdiam saja." Pada akhirnya Eren bersuara, membuat Zeke menatapnya.
Pria berpangkatkan Jendral terhormat itu mengulas senyuman tipisnya. Bibir pucatnya itu mengembang secara perlahan. "Akhirnya kau mengajakku bicara lebih dulu."
Kening Eren berkerut. "Kau gengsi untuk mengajakku bicara sehingga harus aku yang mulai?" Kontrol emosi Eren itu memang lemah. Terlebih jika sudah berinteraksi dengan Zeke.
Kekehan kecil lolos dari bibir pucat Jendral Zeke. Pria itu bergeleng pelan lalu berusaha untuk mendudukkan dirinya. Melihat sang kakak yang tengah berusaha, spontan Eren langsung membantu Zeke untuk duduk. Barangkali Zeke adalah pemancing emosi Eren yang sempurna, tetapi di tengah kondisi yang lemah seperti ini dirinya harus dengan sigap menolong kakaknya.