.
.
.
.
.
.
Naruto merasa serba salah sekarang. Keberadaan Shizuka di sampingnya membuat ia tak nyaman. Shizuka yang terus berusaha mengajaknya berbicara sangat mengganggunya. Berkali-kali Naruto melihat keadaan sekitar berharap Hinata cepat menyusul.
Naruto melihat kedatangan Ino dan Temari, tapi dia tidak melihat keberadaan Hinata. Naruto jadi semakin gelisah. "Mana Hinata? Masih belum selesai cuci muka?" Raut wajah Naruto terlihat tak sabar.
"Hinata pulang duluan Kak, emm katanya dia ada acara keluarga." Temari menjawabnya dengan ragu-ragu.
Naruto melebarkan kelopak matanya. Bagaimana bisa Hinata pulang tanpa bilang dulu padanya. Naruto bangkit dari tempat duduknya, mengambil tas seraya menyampirkan ke pundaknya.
"Loh Kak Naru mau kemana?" Shizuka terkejut dengan pergerakan Naruto yang tiba-tiba, ia melihat pemuda itu tergesa-gesa. Naruto sudah melenggang pergi tanpa sempat menjawab Shizuka. Meninggalkan raut kecewa dan kebingungan di wajah oval Shizuka.
Naruto setengah berlari kelabakan menyusul Hinata. Napasnya naik turun tak beraturan. Dia menoleh ke segala arah, berharap segera menemukan sosok Hinata. Ia memicingkan matanya, ia melihat Hinata di tempat parkir bersama Toneri. Hinata terlihat menunduk, sedangkan Toneri dia menepuk-nepuk punggung Hinata.
Naruto tidak asing dengan kejadian ini, di masa yang dulu ia juga pernah melihat Hinata bersama Toneri di tempat parkir supermarket. Api unggun menyala di dadanya. Membakar kecemburuannya dan kepalanya. Ia terbawa emosi. Hinata yang pergi seenaknya, mengabaikan dirinya yang jelas sudah menunggunya. Sekarang gadis itu malah minta di antar pria bersurai perak yang ia waspadai.
Naruto menyusul keduanya, mendorong Toneri untuk menjauh dari Hinata. Ia mencengkeram kerah Toneri. Toneri yang tidak terima di perlakukan seperti itu membalas mencengkeram kerah Naruto.
Rahang Naruto mengeras. Toneri mendengus kasar. "Apa-apaan ini. Lepaskan!" Toneri berkata dengan suara ketus. Naruto melirik ke arah Hinata yang terlihat panik.
Naruto melepas baju kerah milik Toneri. Ia tidak bisa mengontrol kemarahannya. Ingatan buruk yang pernah ia alami terus membayangi kepala hingga menembus sumsum tulangnya.
Naruto menyentak lengan Hinata.
"Kenapa pergi begitu saja? Aku menunggumu seperti orang bodoh."
Toneri yang merasa diabaikan setelah diperlakukan kasar berdecak mengejek."Cih. Kenapa kau sok peduli sekali dengan Hinata. Harusnya kau bersikaplah tidak peduli seperti yang kau lakukan dari dulu."
Naruto kesal sekali dengan mulut pedas Toneri, ingin sekali ia melayangkan tinjunya dengan keras di wajah menyebalkan itu. Naruto mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri. Berusaha mendinginkan kepalanya yang mendidih.
Hinata diam tak berkutik. Ia merasa di ambang kebingungan, kenapa Naruto marah. Bukankah bagus jika ia tidak mengganggu kebersamaannya dengan Shizuka. Hinata juga merasa sangat jengkel karena Naruto terang-terangan salah tingkah saat melihat Shizuka.
Ya, Shizuka memang cantik dengan tubuh yang ideal. Pasti banyak yang terpikat ketika melihatnya, apalagi mata emerald nya yang indah bagai batu mulia zamrud. Penampilan Shizuka terlihat berkelas.
Hinata hanya diam tidak menyahut. Kecemburuannya masih bercokol dengan kuat. Naruto dibuat tidak sabar dengan tingkah Hinata.
"Ayo ku antar pulang." Naruto berujar selembut mungkin."Hinata akan pulang bersamaku. Dia yang menelepon untuk diantarkan pulang." Toneri menyela, ia harus lebih tegas.
Naruto menahan kekesalan hatinya. Ia mengatupkan rahangnya menimbulkan gemeretak pada giginya. Hinata tidak tahu apa yang membuat Naruto semarah ini.
"Na-Naru.." Hinata memanggil Naruto dengan takut. "Apa kamu marah karena aku--tidak mengabarimu jika ingin pulang duluan?"
Naruto menghirup udara di sekitarnya, mengatur emosinya agar tidak meletup. Ia tak boleh membuat Hinata takut kepadanya.
"Hinata, ayahmu akan marah jika aku membiarkanmu pulang dengan orang lain. Paman Hiashi sudah menitipkanmu padaku, dan Paman sudah berpesan agar aku menjagamu. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan tanggung jawabku begitu saja."
Hinata manggut-manggut, Naruto hanya merasa bertanggung jawab karena ayahnya mempercayakan Naruto untuk menjaganya. Padahal Hinata berharap jika Naruto mulai menyukainya, dan melakukan itu karena benar-benar menginginkan dirinya.
Hinata memalingkan wajah, berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Maaf, tapi aku sudah terlanjur menelepon Toneri untuk mengantarkan aku pulang. Ayah tidak akan marah jika Toneri yang mengantar."Naruto lagi-lagi harus menelan kekecewaan, sebenarnya sedekat apa Toneri dengan keluarga Hyuuga. Naruto tidak rela membiarkan Hinata berduaan dengan Toneri. Naruto ingin memaksakan kehendaknya pada Hinata, tapi Naruto sadar Hinata malah akan semakin memandang buruk dirinya. Jadi haruskah ia mengalah dulu untuk sementara?
Naruto mengusap wajahnya dengan kasar. "Baiklah. Hubungi aku setelah kamu sampai, oke!" Naruto mengusap poni di dahi Hinata.
"Jangan lakukan ini lagi nanti, karena ini yang terakhir kalinya aku membiarkan dia mengantarmu." Naruto melirik sebentar ke arah Toneri yang memasang wajah santai.
Hati Hinata sedikit menghangat dengan perlakuan lembut Naruto. Ia menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan Naruto. Sejujurnya ia ingin pulang dengan pria itu, tapi Hinata sudah terlanjur meminta tolong Toneri untuk mengantarnya. Hinata merasa tidak enak hati jika harus menarik ucapannya.
***
Sesampainya di mansion Hyuuga, Hinata segera mengirimkan pesan kepada Naruto.
'Aku sudah sampai'
Tidak sampai semenit pesannya mendapatkan balasan, sepertinya pemuda di seberang sana menunggu pesan Hinata sejak tadi.
'Jangan lakukan ini lagi. Kau membuatku frustasi Hinata.'
'frustasi apanya, aku tadi pulang duluan karena tidak ingin mengganggu waktumu bersama Shizuka, sepertinya kamu tertarik dengannya.'
Naruto yang menerima pesan itu jadi bertambah frustasi. Ia mengacak rambutnya menjadi berantakan. Kenapa Hinata malah membawa nama Shizuka, sepertinya gadis itu salah paham. Ia segera menekan tombol memanggil di smartphone miliknya. Tak lama operator menyambung sambungan telepon yang langsung diterima Hinata.