Mae: Rahasia Diana

128 16 12
                                    

Sepeninggalan Nurjanah, aku langsung naik ke kamar utama di lantai dua rumah kami dan terlelap dalam tidur siang yang panjang. Saat bangun beberapa jam kemudian, aku mendapat ide untuk mengajak Alena ke kafe es krim sepulang sekolah. Dengan membawanya bersenang-senang dan mengobrol ringan, mungkin saja gadis kecil kami itu dapat mulai membuka diri dan kembali ceria.

Sambil memandangi pemandangan jalan raya dalam perjalanan, aku memikirkan Nurjanah, menanti-nantikan munculnya perasaan bersalah, menyesal ataupun kehilangan. Namun, rasa itu tak kunjung datang. Mungkin belum, dan akan datang kemudian. Entahlah. Bagaimanapun, wanita itu adalah saudara kandungku satu-satunya. 

"Itu Non Ale, Bu." Suara Pak Luthfi menyadarkanku bahwa kami telah berada di area Pancasila Academy.

Aku segera menurunkan kaca jendela dan melambai pada gadis kecil yang langsung masuk ke mobil itu. Ia masih belum kembali menjadi pribadi cerianya yang biasa, lebih banyak berdiam diri dan memandangi pemandangan kota lewat jendela.

"Mam, kok ke sini?" tanyanya heran ketika mobil kami sampai di kafe es krim. Aku memang sengaja tidak memberitahunya, berniat memberi kejutan.

"Iya, Mamam pengen makan es krim dulu nih sama Ale, sambil curhat. Boleh, ya?"

"Curhat?" ulangnya dengan mata keheranan, kujawab dengan anggukan.

Kami memilih meja di dekat jendela, lalu Alena memesan es krim rasa vanilla, sementara aku rasa mangga.

"Ale tahu gak? Mamam lagi sedih banget."

"Kenapa, Mam? Es krimnya Mamam gak enak?" tanyanya dengan mulut berlepotan es krim.

"Bukan itu. Tapi, Mamam lagi sedih karena kesepian. Semua sahabat Mamam menghilang."

"Emangnya sahabat Mamam siapa? Tante Tami, ya?"

"Mamam punya tiga sahabat. Sekarang ketiganya gak bisa nemenin Mamam."

"Tiga?" ulangnya.

Aku mengangguk. "Iya. Tante Tami, Tante Diana, dan Ale."

Mata indahnya berbinar, mulut membulat tanda ia tidak menyangka namanya akan disebut. "Ale kan, ada di sini, Mam. Gak menghilang."

"Tapi, Ale dari kemaren murung terus. Pendiem. Gak pernah cerita-cerita lagi sama Mamam. Mamam sedih banget, tahu." Aku menampakan wajah cemberut dengan ekspresi sesedih mungkin.

Ale tidak langsung menjawab, malah menundukan kepala lalu sibuk memain-mainkan topping taburan remah biskuit pada es krimnya. Setelah beberapa saat, barulah terdengar suara lirih, "Maaf, Mam."

"Ale juga lagi sedih, ya?"

Ia menggeleng.

"Gimana kalau kita sahabatan lagi? Jadi, Mamam gak kesepian kayak kemarin."

"Kalau Papap, bukan sahabat Mamam ya? Pacar, ya?"

Aku tertawa. "Papap juga kan, lagi ke kerja, jadi Mamam tetep kesepian. Makanya, Ale jadi sahabat Mamam lagi dong."

"Iya, Mam. Ale sahabat Mamam, kok."

"Makasih, Sayang." Aku mencubit pipinya gemas. "Sahabat itu harus cerita loh, kalau lagi sedih. Ale lagi sedih, ya?"

Ale terlihat tidak nyaman. Ia menggeleng gusar.

"Ale gak mau cerita?"

"Mau, tapi gak boleh."

Aku segera menyambar kesempatan itu. "Gak boleh sama siapa?"

Gadis kecil itu melirik ke kiri dan ke kanan, ia terlihat mulai ketakutan. Aku tetap bertahan dengan aktingku.

LifeocadoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang